Partikel 39

35.8K 7K 442
                                    

"Mami hari ini di operasi. Minta doanya dari kamu."

Ya, seperti inilah kurang lebih pekerjaan yang bisa kami lakukan selama satu minggu terakhir. Memanfaatkan waktu yang ada untuk bercengkerama melalui benda pipih super canggih yang digemari orang-orang modern.

Setiap pagi ataupun malam hari selalu melakukan sambungan video call. Lebih banyak aku sebenarnya yang inisiatif. Tahu sendirikan bagaimana pasanganku? Manusia bon cabe yang satu itu tidak peka.

Seperti kali ini, saat aku melakukan aktivitas lain, ponsel yang sedang memunculkan wajah Dheo itu kusimpan di atas nakas. Disenderkan pada lampu tidur, sedangkan aku sedang duduk bermake up di depan cermin.

"Aamiin. Semoga lancar operasinya dan Tante bisa sembuh lagi!" teriakku dari kejauhan.

"Aamiin. Kamu mau berangkat ke kantor?"

Polesan liptik menjadi penutup dandananku. Di dekat lipstik ada gelang yang sejak lama kusimpan di situ, namun selalu terabaikan. Iya, gelang yang tiba-tiba diberikan oleh pedagang pernak-pernik di Bali waktu aku liburan tahun baru. Katanya sih gelang couple. Bibirku tersenyum mengingat kejadian itu, aku mengambil gelang itu sebelum kembali memperlihatkan wajah cantikku di depannya. Kuambil ponselku dan duduk di tepi ranjang.

"Iya, bentar lagi berangkat."

"Bawa mobil?"

"Nggak. Nge-grab aja. Lagi males nyetir."

"Oh, hati-hati."

"Siap! Eh, Yo. Masih ingat ini?" Aku memperlihatkan gelang berbandul kunci itu ke Dheo. "Pasangannya gelang ini masih kamu simpan kan?"

"Saya lupa menyimpannya di mana. Lagian gelangnya tidak terlalu penting."

Sontak saja aku mencibirnya. Bagaimana cara menyadarkan dia kalau terlalu serius itu membosankan. Harus sedikit ada gebrakan yang membuat hidup itu berwarna tidak lurus-lurus saja.

"Dih, kok gitu. Ini tuh kenang-kenangan," dumelku.

"Nanti saya cari kalau sudah ke Jakarta lagi."

"Oke. Ya udah. Saya mau sarapan nih. Tutup dulu, ya."

"Iya."

"I miss you." Senyumku yang mengembang ini mendadak luntur karena tidak kunjung ada jawaban dari Dheo. Dia malah diam saja. "Jawab kali!" sindirku sinis.

"I miss you too."

*****

Manisnya lama-lama hilang setelah tiga bulan berlalu. Komunikasi yang tidak lagi intens seperti di awal. Dia yang sering kali menghilang tanpa kabar. Terakhir kali, sore itu, dia mengatakan akan pergi ke rumah sakit untuk check up maminya. Sampai malam aku menunggu kabar darinya lagi, ternyata tidak pernah muncul.

Kabar baiknya, operasi yang dilakukan Tante Yurike berhasil. Sekarang, mungkin hanya tinggal pemulihan pascaoperasi saja.

Sedih? Tentu saja. Kesal? Sudah pasti. Sesak di dada? Pasti. Dia seolah mempermainkan komitmen di saat aku berusaha keras menjaganya. Hari-hari yang kujalani pun tidak lagi semangat, sering kali aku mengecek ponsel, siapa tahu notif dari Dheo datang. Ternyata tidak.

Ternyata ketakutanku di awal semakin lama semakin terlihat nyata. Boro-boro menunggu sampai enam bulan, baru tiga bulan saja, rasanya sudah berbeda. Ingin melampiaskan gejolak emosi yang terbenam ini, tapi sama siapa? Sama siapa? Objek yang ingin aku caci maki pun tidak ada di hadapanku. Jarak membentang, memisahkan raga. Namun kuharap hati kami tetap berada di jalur yang sama.

"Ya, gimana menurut lo? Cocok kan?"

Interupsi Lina membuyarkan lamunan. Netraku beralih menatap sahabatku yang akan melepas masa lajangnya dua minggu lagi. Ia sedang melakukan fitting baju pengantin di WO milikku. Katanya biar dapat diskon, jadi pakai jasa Leyaa Organizer saja.

Partikel Jodoh (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang