Blue

478 63 5
                                    

"Jusuf."

"Hm?"

"Gue... gue gak keterima."

Hari itu, Jusuf dengan seragam sekolahnya tengah berbaring di atas kasur Aji.

Nggak sanggup buka di rumah, ada bunda -Jusuf menjawab pertanyaan Bayu dan Fazrin yang sedang sibuk pada skripsi masing-masing di ruang tengah kontrakan.

Tubuhnya langsung menegak setelah mendapat kabar, panggilan dari seseorang tak terduga. Mereka tidak seasing itu terhadap satu sama lain, namun juga tidak sedekat itu untuk melakukan panggilan secara tiba-tiba.

"Lu di mana?" tanya Jusuf. Entah mengapa hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya.

"Rumah, kenapa?"

"Tunggu bentar."

Setelah memutuskan panggilan sepihak, di sinilah Jusuf. Dengan kantong plastik putih berlambangkan Indomaret di tangan kanannya dan motor hasil pinjamannya pada Fazrin setelah melewati tahap interogasi.

Matanya memicing, mencari sosok perempuan berseragam di antara rerumputan. Dilihatnya seorang satpam setengah berlari menghampirinya setelah berhasil memarkirkan motor Fazrin tepat di sebelah pos satpam, "Mas, temennya mbak, ya? Itu si mbak dari tadi nangis di situ."

"Oh, iya. Makasih pak," Jusuf melangkahkan kakinya mendekati punggung dengan ransel biru langit khas itu perlahan. Ini bukan pertama kalinya Jusuf mendatangi rumah bak istana di tengah kota tersebut, namun tetap saja otaknya seperti menolak apa yang selama ini dilihat oleh kedua matanya. Rumah ini selalu terlihat besar baginya.

"Heh, nangis di bawah pohon. Tiati lho," tegur Jusuf pada perempuan di sampingnya. Tak ada niatan dalam hatinya untuk mengintip wajah sang teman dari balik tangan dan rambutnya, tidak semua orang ingin dilihat dalam situasi yang kacau, kan?

"K-kok lu dateng beneran?" sebuah suara terbata keluar dari mulut gadis berkacamata itu. Dihapusnya air mata yang membekas pada pipinya menggunakan ujung lengan seragamnya sebelum kembali mengenakan kacamatanya dengan benar.

Jusuf memamerkan deretan giginya, menyodorkan plastik berisi beberapa buah eskrim. "Terus lu mau nangis sendiri di sini? Gua sih gapapa," Jusuf mengedikkan bahunya sembari menghempaskan diri pada bangku panjang berbahan kayu di mana gadis berkacamata itu duduk di sampingnya.

Tangan gadis itu terulur mengambil plastik dari tangan Jusuf, "Kok pake plastik? Go green dong," protesnya. Jusuf menatap teman sekelasnya itu tidak percaya, "Sempet ya bu, ngomel."

Keheningan mengisi ruang di antara mereka. Membiarkan panasnya matahari siang membakar kulit, eskrim dalam plastik meleleh sedikit demi sedikit. "Masuk aja kuy, panas lama lama."

Jusuf menggeleng, "Gak deh, Lun. Gua belom pulang," tolaknya halus dengan senyuman lebar khasnya. "Mirip rubah," kalau kata Haris.

Perempuan yang dipanggil "Lun" itu menangguk, "Thanks ya. Besok gua ganti," diangkatnya plastik berisi eskrim di tangan kanannya.

○●○

Bagi para murid yang sudah mendapatkan universitas, ujian nasional mungkin menjadi ujian terakhir sebelum memasuki dunia baru bagi mereka. Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu dengan berlibur atau mengurung diri di rumah. Seperti yang dilakukan Jusuf Nagara yang bolak-balik antara kontrakan Bayu dan Aji-rumah-masjid (kalau ada Esa yang mengajak).

Contohnya sekarang Jusuf tengah berbaring di atas kasurnya, menatap kosong langit-langit kamar. Tidak ada yang merespon chatnya, para abangnya sibuk kuliah. Teman-teman sekolahnya juga tidak berbeda jauh dengannya, tidak melakukan apapun di rumah. Ada juga yang masih sibuk berjuang untuk meraih universitas impian mereka. Berada di tempat les sejak pagi hingga matahari nyaris terbenam, sama seperti sekolah pada hari-hari sebelumnya.

Tring!

Dengan semangat, Jusuf meraih ponselnya. Mengecek apakah seseorang telah merespon chatnya.

Gojek
Gabut aja di rumah? Go-food pizza diskon 20%---

"Ish," dijatuhkan ponselnya begitu saja ke kasur sebelum akhirnya ia bangkit dari kasur. Sepertinya jalan-jalan sore bukan ide yang buruk.

Oleh karena itu, di sinilah ia berada. Di depan alfamart dengan mulut yang sibuk melahap eskrimnya. Kakinya menendang beberapa kerikil di sekitarnya, sementara matanya sesekali melirik pintu kaca tak jauh darinya.

Sebuah senyuman merekah pada bibirnya ketika melihat seorang perempuan berkucir tinggi keluar dari pintu kaca itu. "Luna!" panggilnya dengan semangat.

"Lho? Kok?" perempuan yang dipanggilnya Luna itu terkejut, memandangnya heran. "Ngapain ke sini? Kan udah gak les," ditatapnya Jusuf dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Jajan," jawab Jusuf seadanya sembari mengangkat eskrim di tangannya. Kedua mata Luna menjadi berbinar, "Ih, gue beli eskrim ah."

"Eh," Jusuf tanpa sadar memblokir jalan Luna, membuat perempuan di hadapannya kebingungan. "Kenapa, Suf?" tanya Luna.

Sementara yang ditanya malah menggaruk kepalanya, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Mmm... kalo beli Mcflurry sama gua, mau gak?"

○●○

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang