Setelah tragedi hujan dan apartemen Felix, tanpa disadari Kathy malah berusaha menghindar dari pemuda itu. Setiap menghadiri kelas, ia akan mengambil tempat duduk jauh dari Felix. Setiap melihat mini cooper merah itu melintas ataupun terparkir, dirinya menjadi was-was tanpa alasan. Bahkan apabila melihat Felix di kantin, ia akan memutar balik atau berjalan sambil membuang muka.
Malu? mungkin itu yang sebenarnya dirasakan oleh Kathy, meskipun ia sendiri tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Hingga pada akhirnya di suatu sabtu pagi, ia melihat Felix tengah berdiri di hadapannya, di depan kasir indomaret dengan setelan jasnya.
"Hey," sapa Felix seperti biasa.
Kedua mata Kathy berkedip lebih cepat dari biasanya, "Hai," balasnya canggung.
Perempuan itu menatap Felix dari atas sampai bawah. Dan satu kata yang terlintas dalam otaknya hanyalah 'rapi', berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya mengenakan hoodie dan celana training. Gembel.
"Rumah lu deket kan?" tanya Felix, membuat Kathy kaget karena mengira pemuda itu sudah pergi berhubung ia sudah menyelesaikan pembayaran terlebih dahulu.
"Mayan," jawab Kathy singkat.
"Kuy?" ujar Felix tiba-tiba.
Kathy kembali mengerjapkan matanya berkali-kali, gagal memahami ajakan Felix barusan. "Gua anter. Lu gak bawa kendaraan, kan?"
Perempuan itu menggeleng, "Gak usah. Kalo jalan deket kok, ada jalan pintas."
Tanpa berkata apapun, Felix merebut belanjaan pada tangan kiri Kathy. Memasukkan plastik berisi beberapa bahan makanan dan snack tersebut ke dalam mobilnya, mengisyaratkan Kathy untuk naik.
"Sumpah, gausah deh, Lix."
Sang lawan bicara malah terkekeh, "Sans aja sih, lagian bawaan lu banyak."
Kathy menggulirkan pandangannya ke sekelilingnya, hingga fokusnya terjatuh pada setelan yang tersampir dalam mobil pemuda di sampingnya. Diperhatikannya Felix dalam balutan kemeja putih dan celana setelannya, sementara sang objek pemandangan sibuk dengan jalan di depannya.
"Ini kemana?" tanya Felix, memecah keheningan di antara mereka.
"O-oh, ini belok kanan. Nanti di depan ada perempatan belok kiri," jelas Kathy sebelum sebuah getaran pada ponselnya terdengar.
Dddrrrtt dddrrrtt
Melihat nama pada layar ponselnya, rasanya perempuan itu ingin melempar benda berbentuk balok tersebut ke luar jendela.
Dddrrrtt dddrrrtt
Kali ini ganti Felix yang melirik pada ponsel Kathy, menatap sang pemilik sekilas lalu berdeham. "Gak lu angkat?" tanyanya.
Kathy menggeleng, "Gak penting kok."
"Rumah lu yang mana?" tanya Felix ketika melihat beberapa rumah yang bisa dikatakan sangat besar berjejeran. Kathy melayangkan telunjuknya pada sebuah rumah berwarna krem dengan pagar putih menjulang, "Yang pager putih."
Felix menghentikan mobilnya tepat di depan rumah tersebut, namun apa yang dilakukan Kathy sedikit di luar ekspektasinya. Perempuan itu tidak segera melepas seatbeltnya, melainkam malah menatap ragu Felix dan melontarkan pertanyaannya, "Lu.. mau pergi ya?"
Sang lawan bicara mengangguk, "Uh-uh."
Kathy terdiam, menggigit bibirnya lalu tersenyum. "Okay then, see ya. Thanks for the ride," ujarnya sembari melepas seatbelt dan berniat untuk keluar dari mobil tersebut.
Menyadari ada sesuatu, Felix menahan pergelangan tangan Kathy, "Is there something wrong?"
Dan Felix menemukan jawabannya setelah melihat seorang laki-laki berusia tak jauh darinya di halaman rumah Kathy, kedua tangan di depan dada dengan tatapan mengedar ke arah jalan seperti mencari seseorang, kakinya tak berhenti bergerak gelisah.
"Nothing. Makasih ya," Kathy melepas tangan Felix dari pergelangan tangannya. Beranjak dari mobil berwarna merah tersebut, meninggalkan Felix yang memerhatikannya hingga punggungnya menjauh dan menghilang bersama laki-laki tadi.
○●○
"So... how's uni?" sebuah pertanyaan dari ayahnya membuat Felix mengeluarkan ekspresi-aneh-khas-nya.
"Yaa, gitudeh. Nothing special," jawabnya seadanya.
"Really? Ohiya, temen-temen kamu apakabar? Bayu sama Fazrin udah skripsi ya? Jusuf juga masuk kuliah kan?" Felix menghela napas, membombardir dirinya menggunakan pertanyaan memang tipikal ayahnya. Terkadang pemuda itu merasa senang karena meskipun terpisahkan oleh jarak, orangtuanya tetap memerhatikannya. Tetapi kalau begini caranya, Felix menjadi bingung sendiri menjawab pertanyaan ayahnya.
"Iya, Bang Bayu sama Bang Fazrin udah skripsi. Kalo dad liat mereka bentukannya udah kayak zombie. Jusuf juga udah keterima, nanti Agustus paling masuk."
Sang ayah mengangguk-anggukkan kepalanya. Mengecek jam tangannya kemudian mengerutkan dahi, "Mom kenapa lama ya?" ujarnya heran.
"Udah yukkk," baru dibicarakan. Sang istri sudah keluar dengan membuat kehebohan, biasa.
Hari ini kedua orangtua Felix mengajak sang pemuda mendatangi pesta ulangtahun dari kenalan mereka. Acaranya memang dimulai nanti sore, tetapi ibunya bersikeras untuk mengajak Felix dan ayahnya mengabiskan waktu di luar rumah. 'Mumpung mom sama dad di sini kan?' katanya tadi.
Sehingga mereka berakhir berkeliling-keliling kota menggunakan mobil lalu berhenti pada sebuah café, menunggu waktu yang pas lalu pergi menuju tempat acara megah di mana Felix menginjakkan kakinya sekarang. Pemuda itu pasrah mengikuti sang ibu karena ia selalu ditarik kesana-kemari, dikenalkan pada beberapa kenalannya.
"Oh, kalian udah dateng? Apakabar?" seorang paman berusia sepertinya tidak jauh dari ayahnya itu menyambut mereka ramah. "Baik, and... congratulations, we wish you all the best. It's such a pleasure to be here."
"Haha, terimakasih. Oh ini..?"
"Ini anak kami, Felix. Dia kuliah di sini," ujar ayahnya. Felix pun tersenyum, sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Oh ya? Anak saya juga kuliah dekat sini. Kemana ya dia..."
"Ah, itu dia. Kathy!"
Mendengar nama familiar itu, Felix mengikuti arah pandangan paman di hadapannya. Hingga akhirnya terpampang jelas perempuan yang baru saja dilihatnya beberapa jam lalu tengah melingkarkan tangannya pada lengan laki-laki yang tak asing di matanya.
"Ini anak saya, Kathy. Kalo ini, semoga sih jadi, calon tunangannya, Rakha."
○●○
Hello everyone!! I'm back ^^