Yellow

308 50 9
                                    

Setelah pertemuan gak jelas di rumah Jusuf yang dilanjut main di apart Cal, Aji malah kepikiran sendiri. Ngapain juga ya dia dulu galau-galau gak jelas?

Padahal sekarang kayaknya fine fine aja tuh. Kayaknya, sebelum kejadian kurang mengenakkan kayak sekarang beneran terjadi.

Mereka lagi vidcall, meskipun kadang Aji gak connect diajak ngobrol karena nugas yang super banyak dan membutuhkan konsentrasi ekstra. Biasa, namanya juga anak dkv.

"Kok belum tidur?" Aji menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum kembali beralih pada laptopnya.

"Udah bangun kali, Ji."

"Lah, emang jam berapa sih?" Aji melirik jam pada kanan atas layar laptopnya.

"Kok udah jam segini aja," monolognya kesal. Tugasnya harus dikumpulkan pukul 9 pagi, dan ia masih dalam progress 80%

"Masih banyak?" suara dari ponselnya membuat Aji kembali menatap benda persegi panjang itu lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak juga sih, tapi pengen rebahan aja rasanya," keluhnya.

"Ih, nanti yang ada tidur. Cepet selesaiin, aku temenin."

Aji mengangguk lemas, kembali memasang posisi untuk menuntaskan tugasnya. "Ngomong dong, aku ngantuk."

"Ngomong apa?"

"Cerita apa gitu, kamu kemaren ngapain aja? Atau hari ini mau ngapain selain ke kampus? Atau temen-temen kamu gitu," oceh Aji yang masih terfokus pada layar laptopnya.

"Hmm... apa ya... aku kemaren jalan-jalan ke taman doang sih, terus nanti sore kayaknya diajak temen-temen jalan ke kota sebelah. Akhir-akhir ini aku gak ada kesibukan sih, jadi paling main ke rumah Nat. Kadang bantuin mamanya masak, atau gangguin adeknya yang lagi latihan drama. Akhir minggu ini diajak jalan sama kakaknya Nat-"

"Bentar, bentar. Nat punya kakak?" Aji menghentikan kegiatan mengerjakan tugasnya sejenak.

"Ji, kayaknya I've told you about this like three times??"

Aji memamerkan cengirannya, "Terus, terus?"

"Yaudah gitu aja, semalem Nat nginep di tempatku soalnya kakak sama adeknya lagi boy's night out."

"Kakaknya Nat cowok?"

Baru saja perempuan bersurai hitam legam panjang pada layar ponselnya membuka mulut, Aji langsung menyadari kebodohannya, "Ni-"

"Santai, lagian kamu gak mungkin nginget semua orang yang bahkan gak pernah kamu liat wajahnya, kan?"

"Ran, have you seen my earrings? Semalem gue taro di atas meja perasaan," terdengar suara Nat.

"Kayaknya aku harus siap-siap deh, Ji. Nanti lagi ya? Bye."

Aji mengacak rambutnya setelah melihat video callnya terputus begitu saja. "Pengen misuh," gumamnya.

Ini bukan pertama kalinya Aji seperti ini. Padahal Rania selalu mendengarkan ceritanya dengan seksama, saat-saat seperti ini sungguh membuatnya merasa bersalah.

Ia melangkahkan kakinya menuju dapur, mengambil segelas air mineral lalu menempelkan bokongnya pada sofa ruang tengah kontrakannya dan Bayu. Hingga tak lama kemudian, Bayu memunculkan kepalanya dari balik pintu kamarnya.

"Kusut amat muka lu," komentar Bayu sebelum menyambar gelas dari tangan Aji dan menenggak habis air di dalamnya. "Setrika dulu sono, ciumdoa gua masih banyak kalo lu mau."

Aji yang awalnya berniat melaksanakan sambat malah terdistraksi, menoleh ke arah Bayu. Menatap manusia lebih tua di sampingnya bingung, "ciumdoa apaan?"

Bayu menelan roti dari dalam mulutnya. Aji bahkan tidak sadar kapan Bayu mulai memakan roti yang kini nyaris hilang setengahnya.

"Kispray."

"Bang, kurang-kurangin deh main bareng Felix sama Kak Inonya."

○●○

Rasanya, Aji tidak ingat kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya pada bangunan di hadapannya.

"Aji? Tumben pulang?" sebuah suara menginterupsi lamunan Aji seketika.

"Suka-suka gua lah," jawab Aji ketus sebelum suara sang ibu terdengar dari dalam bangunan di hadapannya, "Aji? Kok gak bilang mau pulang?"

"Dia mah biarin aja bu, gak usah ditungguin."

"Diem deh, Bang."

"Apasih kalian, kalo gak ada saling cari, giliran ketemu berantem."

"Bang Eja tuh."

"Aji tuh."

.

Sesering apapun Aji dan Bang Eja bertengkar karena hal tidak penting, mereka masih sering menjalankan kegiatan tidak jelas yang selalu mereka lakukan bila keduanya sedang berada di rumah. Duduk di balkon rumah, ditemani segelas kopi, tetapi untungnya tidak sambil menunggu senja berganti kegelapan karena Aji memang tidak ada niatan untuk merebut predikat pecinta indie milik Esa.

"Diem mulu lu, sawan ya?" todong Eja sembari mengetikkan sesuatu pada ponselnya.

"Ngaco," balas Aji, "lagi BYP aja gua."

"Yaelah, mikirin apa sih bocah?" Eja mengalihkan perhatiannya pada Aji.

"Dulu waktu dia mau pergi, gua yang ngajak balikan. Giliran dia udah mau, gua gak bisa ngasih perhatian. Kalo sekarang gua minta putus, brengsek gak gua, Bang?"

Tanpa bertanya lebih lanjut, bibir Eja sudah membentuk huruf 'o'. Mengerti ke arah mana percakapan ini berlanjut.

"Kalo emang lu ngerasa bersalah, omongin dulu. Jangan kelamaan galau, keburu cewek lu diembat bule ntar. Adek abang masa gini doang goyah, LEMAH."

Sebuah tepukan pada bahu Aji pun membuatnya tersenyum, "Thanks, Bang."

○●○

Apasih aku ngetik apa :(

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang