34

217 17 0
                                    

"Astaga nantaaaaa" pekik ria bunda nanta yang langsung berlari menghampiri nanta yang baru saja terkapar di depan pintu masuk. Wajah nya pucat.

Rano ayah nanta mendengar pekikan itu refleks berlari dari ruang kerja nya menghampiri suara itu.

"Astaga anta kenapa bun?" tidak ada sahutan dari ria, malah suara tangis yang menjawab itu semua.

Rano bangkit, menyambar kunci mobil dari dalam laci dan keluar menyiapkan mobil.

Setelah itu, rano masuk kembali dengan dirman supir keluarga nya.

"Mang tolong bantu angkat nanta kedalam mobil" mang dirman tidak berani bertanya dalam kondisi tegang seperti ini.

Mobil melaju dengan kecepatan diatas rata rata, Rano tidak memperdulikan suara klakson serta umpatan dari pengemudi lainnya. Yang ada dalam fikirannya sekarang adalah keselamatan nanta. Beruntung malam ini tidak macet hingga memudahkannya menyebut dijalan.

Sesampainya di rumah sakit, rano seperti kesurupan memanggil suster ataupun dokter agar cepat membawa anaknya kedalam ruangan untuk di tindak lanjuti.

Mondar mandir, berjalan ke kanan dan kiri dengan tangan di dagu dan nampak sekali raut wajah ke khawatiran. Mengacak rambutnya frustasi membayangkan yang tidak tidak dengan kondisi nanta. Baru membayangkannya saja sudah membuat hati rano bagai teriris pisau.

Ria masih sama, dengan air mata yang terus terjun dengan sempurna di pipinya. Menunduk dan memandang kosong telapak tangannya.

Pintu ruang UGD terbuka menampilkan laki laki yang sekiranya masih berusia 30an memamkai jas dokter dan bertengger Indah teleskop di lehernya.

"Bagaimana keadaan nanta dok?" rano langsung menghampiri dokter itu setelah menutup ruang UGD nya lagi.

"Bisa kita bicara? Mari keruangan saya" jawab pria yang di panggil dokter itu. Rano mengangguk dan mengekori dokter Dimas menuju ruangannya.

Dokter Dimas adalah dokter pribadi yang biasa menangani nanta ataupun keluarga nya.

Sementara itu. Ria masuk ke dalam ruang nanta, air matanya kembali jatuh melihat nanta yang terbaring lemah, bibir pucat sedang memandang langit atap rumah sakit.

"Sayang" ria berusaha menahan tangis nya agar tidak pecah mengakibatkan suaranya bergetar. Mengusap kepala nanta yang membuat pemilik kepala menoleh.

Nanta tersenyum"Bunda" suara parau nanta membuat ria lagi dan lagi harus menitikan Air mata yang berusaha ia tahan.

Alis nanta berkerut "bunda kenapa nangis? Nanta gapapa kok. Gausah nangis ah nanti maskaranya luntur" dengan suara yang masih parau nanta berusaha kembali ceria seperti biasanya walau sulit dalam keadaan seperti ini.

"Bunda tau ga? Nanta sayang banget sama bunda sama ayah. Kalian harus sehat terus, bang arga kan lagi di singapur dan sebentar lagi menikah, " nanta terbatuk kecil.

"Bunda sama ayah harus melihat anak bang arga" lanjutnya.

Ria menggeleng "kamu juga harus sembuh, kita lihat anak bang arga nanti bersama sama. Bunda dan ayah juga mau melihat kamu menikah dulu"

"Nanta mah gampang bun. Bunda, apa umur nanta gaakan lama lagi seperti yang dibilang dokter? Kalau iya. Nanta mau bunda dan ayah nerusin kegiatan nanta" ria lagi dan lagi menggeleng dan menjatuhkan air mata dengan deras.

"Kegiatan nanta gampang kok bun. Bunda terusin kegiatan nanta untuk memberi makanan kepada anak jalanan yang membutuhkan ya bun" ria semakin terisak, bagaimana ia bisa tidak mengetahui perilaku mulia anak nya ini? Sungguh menyesakkan hati perkataan nanta itu.

basketball in love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang