Itu adalah malam tercerah yang pernah dialami seorang gadis.
Gadis itu berdiri menatap langit, seperti biasa. Bulan tampak begitu bundar dan penuh di atas sana, menyinari taman itu dengan pendar sendu. Angin malam berhembus lembut, menyapu dedaunan dan rerumputan, menimbulkan suara gemerisik yang seolah mengisiki pendengarnya, 'hei, apakah kau ingin tahu sebuah rahasia?'
Kemudian, di tengah-tengah kekhusyukan itu, gadis itu merasa seseorang mengawasinya.
Hal yang pertama kali ditangkap si gadis dari sesosok lelaki asing yang berdiri tak jauh darinya itu adalah rambutnya. Rambut itu seputih salju, dengan garis-garis keperakan yang mewarnai helaian yang tumbuh di dekat pelipis-pelipisnya.
Selama beberapa saat, pemuda itu mengamati sekelilingnya dalam diam. Kemudian ketika akhirnya tatapannya bertemu dengan tatapan si gadis, laki-laki itu berjalan mendekat, hingga tiba pada jarak yang membuat gadis itu menyadari bahwa puncak kepalanya hanya setinggi dada pemuda asing itu.
Gadis itu belum pernah melihat sepasang mata yang begitu indah. Sepasang mata berbentuk almond itu berwarna hitam, hitam segelap langit malam, dihiasi titik-titik putih yang merupakan pantulan cahaya bulan. Sepasang mata itu menimbulkan perasaan ganjil menyenangkan yang membuat si gadis mendadak merasa begitu melankolis.
Dari bibir tipis pemuda itu, terucap sebuah nama.
"Mia."
Suara si pemuda, di luar dugaan, kontras dengan garis-garis wajahnya yang lembut. Suaranya tegas dan mantap. Mencerminkan rasa percaya diri dan keberanian. Seperti suara seorang prajurit.
"Oh... halo." gadis mungil itu balas menyapa agak bingung, memperhatikan seragam serba putih berkerah tinggi yang dikenakan si pemuda, "Kau orang baru?"
Laki-laki itu mengangguk sebelum menjawab, "Aku diutus untuk mengunjungimu mulai malam ini."
Mia menelengkan kepalanya.
"Nanna dan Selene sudah ke tempat lain? Biasanya mereka yang berkunjung." ucapnya sembari memainkan ujung-ujung sundress putihnya yang sebatas lutut.
Laki-laki itu mendongak ke arah langit.
"Ini sudah bulan penuh." dia memberitahu.
Mia mengangguk paham, "Ah."
Keduanya terdiam sejenak. Mia memperhatikan postur pemuda itu, yang berdiri dengan tegak dan tampak begitu formal.
"Jangan bersikap terlalu resmi, toh aku bukan siapa-siapa." Mia terkikik pelan.
Pemuda itu menunduk menatapnya dan berujar, "Tapi kau penting bagi kami."
Mia menggeleng-geleng, menyerah. "Siapa namamu?"
"Namaku Sîn."
Mia tersenyum cerah, "Selamat datang di rumahku, Sîn."
🌕
Sîn datang lagi keesokan malamnya.
Demikian pula malam-malam berikutnya.
Dan Mia selalu berada di taman, menunggu rekannya yang datang dari jauh itu. Sîn berbeda dari Nanna atau Selene yang gemar bercakap-cakap. Pemuda itu tidak banyak berbicara. Dan dia juga senantiasa memasang ekspresi datar. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Mia untuk mengobrol dengannya.
"Ada berapa banyak yang sepertimu di tempat asalmu?" tanya Mia, berjalan menyusuri setapak kecil sambil bertelanjang kaki.
"Cukup banyak." Sîn menjawab singkat, berjalan mengikuti Mia tak jauh di belakangnya dengan kedua tangan terlipat di punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight's Journal Of Tales
FantasySebuah jurnal berisi koleksi kisah roman-fantasi milik Midnight. Yang mana kisahmu? [Collection of Short Stories, Fantasy-Romance]