Jurnal 12 : Topi Pengabul Permohonan

209 52 68
                                    

Marie Denver merasa dirinya beruntung karena memiliki orangtua yang modern dan berpikiran terbuka. 

Sepanjang hidupnya, dia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri. Kamar yang ingin ditempatinya. Kursus yang ingin diambilnya. Jurusan yang diminatinya. Pekerjaan yang ingin dilakukannya.

Bicara soal pekerjaan, Marie menyukai rekan-rekan sekerjanya, dan pekerjaannya sebagai asisten dari kurator seni sebuah museum mungkin terdengar membosankan, tetapi dia cukup menikmatinya.

Intinya, Marie merasa cukup puas dengan hidupnya.

Hingga suatu sore di penghujung musim semi, di tengah jalan sepulang dari museum, Marie mendapati kepalanya pusing hebat. Ketika dia merasa tak sanggup lagi mempertahankan tubuhnya tetap tegak dan terjatuh di trotoar yang lembab karena gerimis, lalu orang-orang mulai mengerumuninya dengan wajah-wajah panik, hanya satu hal yang terbersit di pikiran Marie.

Ah, inikah yang dinamakan... nasib yang buruk?

🎩

Musim gugur, beberapa bulan kemudian.

Marie Denver berjalan tertatih-tatih di pinggir jalan siang hari yang mendung itu. Anginnya kencang, memporak-porandakan rambut auburn sepunggungnya. Dia merapatkan mantel panjangnya dan memperbaiki syal yang melilit lehernya sambil merutuk.

"Koper sialan!"

Salah satu roda kopernya lepas saat Marie turun dari bus, dan saat ini dia sudah berjalan nyaris tiga puluh menit menyusuri jalanan sepi Burford, Oxfordshire, sambil setengah menyeret kopernya yang berat, kelelahan dan kedinginan akibat cuaca mendung juga karena menempuh perjalanan panjang dari Florida.

Suara guntur terdengar dari langit.

"Oh Tuhan, tolong aku." dengan panik, Marie memicingkan matanya sekali lagi untuk melihat peta di ponselnya, meneliti nama jalan serta nama toko yang diberikan bosnya, Mr. Andrews. Dia sudah terlambat dari waktu janjinya dengan si pemilik toko.

Marie lalu menatap sekeliling. Dia bersumpah telah melewati jalanan ini lebih dari tiga kali, namun gagal menemukan toko bertuliskan 'Rosenberg, Hats & Antiques' di manapun. Dia bahkan menanyai beberapa orang yang berpapasan di perjalanan, namun semua hanya menggeleng-geleng dan meminta maaf karena tidak bisa membantu.

Suara guntur terdengar semakin keras dan mengacam, langit pun semakin menggelap.

Pasrah akan nasib sialnya, Marie menyeret koper beratnya ke pinggir dan mendudukkan diri di sebuah kursi kayu panjang di bawah kanopi sebuah bangunan tua. Titik-titik air mulai jatuh, dan Marie tidak dapat menahan diri untuk menyerukan sumpah serapah yang pasti akan membuat ibunya terkena serangan jantung bila mendengarnya.

"Hari yang buruk?"

Marie tersentak, kaget mendapati seorang pria telah berdiri di depan pintu bangunan tua itu. Si pria tengah menatapnya dengan perpaduan sorot bingung dan terhibur.

Pria itu tampak... sedikit janggal dengan setelan formal yang merupakan kombinasi dari kemeja abu-abu berkerah tinggi dengan cravat bercorak hitam-perak di leher, vest satin merah gelap, jas buntut hitam yang berpotongan mewah, serta celana hitam yang ujung-ujungnya dimasukkan ke dalam sepatu boots kulit bertali setinggi betis. Sebuah rantai emas tipis menggantung dari saku jas buntutnya dan mengait di salah satu kancing vest-nya.

Pria itu tampak seperti melangkah keluar dari sebuah novel bertema steampunk atau semacamnya, pikir Marie takjub.

Pulih dari keterkejutannya, Marie berdeham dan bertanya, "Um, maaf Sir... apakah Anda tahu di mana saya bisa menemukan toko antik ini?" Marie menunjukkan alamat yang tertulis di ponselnya kepada si pria, yang menelitinya dengan sepasang alis terangkat tinggi.

Midnight's Journal Of TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang