Jurnal 9 : Tujuh Kesempatan

281 55 60
                                    

Kalian telah terusir, wahai Para Penghukum.
Karena belas kasih terhadap jiwa anak manusia.
Karena nafsu akan jiwa anak manusia.

Waktu akan melekat pada dirimu.
Emosi yang telah menyentuhmu akan kekal bersamamu.

Pergilah ke Dunia Tengah dan renungkan selama kesempatan yang diberikan.

Tujuh.

Tujuh Kesempatan.

Dan salah satu akan menyambut di akhir perjalanan;

Pengampunan,
atau Ketiadaan.

Bila dilihat oleh mata awam, keberadaan sebuah restoran keluarga di tengah tempat itu merupakan pemandangan yang cukup aneh. Bagaimana tidak? Bangunan persegi itu berdiri dengan menonjol dan kontras di tengah-tengah tanah lapang yang suram. Pada atap restoran terdapat neon merah-kuning besar-besar yang membentuk tulisan 'Haven's Diner', dengan nyala berkedip-kedip. Ada spasi kosong di antara huruf 'h' dan 'a', yang apabila dilihat dari dekat, ternyata merupakan huruf berbentuk 'e' yang mati permanen dan setengah terlepas, seolah pemiliknya terlalu malas untuk mengganti bohlam atau sekadar membetulkan posisinya yang menggantung terbalik dari engselnya.

Ngomong-ngomong, suasana di dalam restoran itu pun tidak lebih baik. Pengunjung tidak terlalu ramai, seperti biasa. Sepasang pria dan wanita, mungkin pertengahan dua puluh atau tiga puluhan, duduk saling berhadapan di salah satu meja aluminium persis di tengah ruangan.

Si wanita mengenakan setelan formal serba putih dari atas ke bawah, yang necis dan berpotongan feminin, lengkap dengan pita hitam satin sebagai pengganti dasi serta sepatu hak hitam mengilap berujung lancip. Rambut sepunggungnya yang bergelombang itu berwarna merah seperti kobaran api, kontras sekali dengan pakaiannya. Dia duduk dengan tegak dan anggun. Matanya—yang juga semerah api—menatap laki-laki di depannya dengan serius.

Pria besar di hadapannya—dia sangat besar, bahkan dalam posisi duduk saja tubuhnya menjulang dua kepala lebih tinggi dari para pria normal di sekitarnya dan memblokir nyaris seluruh pandangan si wanita—berpenampilan seolah kebalikan dari wanita itu; dia mengenakan mantel panjang hitam di luar tunik warna abu-abu, ikat pinggang mencolok yang lebih menyerupai ukiran berbentuk ular berkepala gargoyle melingkari pinggangnya, serta celana kulit hitam yang dimasukkan ke dalam biker boots. Walaupun pria itu bersandar di kursinya dengan santai, dia balas menatap si wanita dengan seringai sinis pada bibir tipisnya. Sepasang mata dan rambutnya memiliki warna yang sama, serupa lelehan perak. Rambut sebahunya tampak liar dan memberi kesan seolah tidak pernah disisir.

Keduanya memancarkan aura yang begitu menekan dan mengintimidasi. Namun mereka juga tampak janggal dan konyol berada di sana pada waktu yang bersamaan. Penampilan mereka begitu mencolok bagi seluruh tamu Haven's Diner malam itu.

Seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam pramusaji dengan celemek polkadot menuangkan kopi ke dalam cangkir yang diletakkannya pada meja di antara si pria dan si wanita. Dia mengunyah permen karetnya dengan berisik sambil mencatat pesanan tamu dan memasang tampang bosan. Tapi khusus di meja itu, raut bosannya sedikit berganti ekspresi mengejek.

"Pesta kostum?" kekehnya sembari menuang kopi, "Apa temanya? Malaikat dan Iblis? Aku tidak tahu ini waktu yang tepat untuk melakukannya. Ini masih April."

Si pramusaji harus puas dengan keheningan yang menyambut cibirannya. Pasangan nyentrik itu tampaknya tidak repot-repot merasa perlu menanggapi komentar tidak bermutu itu. Mereka punya hal lain yang lebih sakral untuk dipikirkan.

Midnight's Journal Of TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang