Jimin mengusap wajah.
Tidak bisa tidur selepas kepergian Taehyung dari kamarnya. Padahal waktu sudah beranjak dini hari, dan Jimin harus membayar segala tindakan cerobohnya dalam waktu semalam.
Dia begitu bodoh. Terlalu berlebihan, terlalu menuruti nafsu daging. Tentu saja Taehyung akan kecewa. Siapa sih yang suka dipermainkan di belakang? Berkali-kali, pula.
Jimin lantas menutup mata. Pikirannya melayang kembali pada Taehyung. Ingin memeluknya malam ini, merasakan tiap embus napasnya saat ia terlelap. Tapi Jimin tidak bisa, karena di sini posisinya jelas-jelas salah.
Jimin sangat mengerti ketika Taehyung bersikukuh untuk tetap mengulur hubungan mereka. Memberinya batas waktu untuk memperbaiki diri sampai ke akar, bukan justru melampiaskannya ke mana-mana. Berusaha menjadikannya pilot yang baik dan patut untuk di contoh, bukan sebaliknya, merusak citra profesinya sendiri.
Sambil menghela napas dalam-dalam sekali lagi, Jimin belajar bagaimana pahitnya hidup mengajarinya tentang banyak pengalaman berharga. Tentu melalui orang-orang di sekitarnya. Ia begitu mencintai profesinya, dan Taehyung benar, lelaki yang gentle tidak akan pernah menggunakan pesona dan excuse dengan memuaskan emosinya pada wanita (sekalipun yang bersangkutan mungkin tidak berkeberatan).
Jimin sadar ia brengsek. Ia seharusnya adil dalam menghormati setiap wanita, seperti halnya ia menghormati almarhum ibunya. Saran Taehyung agar dia menemui dua wanita semalamnyaーawak cabin junior yang pernah ia tiduriーdan meminta maaf pada mereka akan Jimin catat dalam hati.
Genangan air pantai mulai membekukan jemari kaki Jiminーia memandang ke bawah, pada riak tenangnya yang berkilat oleh pantulan langit malam. Di sini dia butuh langit untuk memeluknya, butuh dinginnya air laut untuk menyejukkan pikirannya. Dan setelah menghabiskan hampir satu jam di luar penginapan, Jimin merasa kini kepalanya sudah lebih jernih dari yang sebelumnya.
Kemudian dengan berjingkat, Jimin mundur ke tepian, sedikit menggigil, lalu kembali memakai sandal dan berjalan menuju ke penginapan.
Tidak berapa lama ada siluet yang muncul sedikit jauh di depannya. Begitu mantap berdiri, dengan helaian pirang yang tersapu angin laut. Jimin tidak perlu waktu lama untuk mengenali siapa sosok itu. Langkahnya sendiri terhenti, memberi jarak di antara mereka, hanya untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya sungguh-sungguh manusia. Bukan sekadar imajinasi.
"Yoongi-hyung? Kau kah itu?" Jimin setengah berteriak.
Sudut bibir Yoongi tertarik ke atas, senang karena Jimin masih mengenali walau dari jarak jauh.
"Park Jimin. Ternyata memang aku tidak salah lihat. Bagaimana bisa kau ada di sini?"
Dengan suara beratnya yang masih terdengar seksi di telinga Jimin, Yoongi berjalan menghampiri sang pilot, menghilangkan jarak di antara mereka, dan memandang pria bermata senyum itu dengan segala pertanyaan yang siap untuk dimuntahkan.
.
.
."Apa yang dilakukan oleh pilot sepertimu di sini? Mangkir dari tugas?"
Jimin menggeleng atas pertanyaan ulang Yoongi. Tangannya sibuk membersihkan dudukan beton di bawah bokong, sementara Yoongi sudah duduk manis tanpa mempedulikan apa yang menjadi alas di bawahnya.
Mereka mengobrol di plaza kecil di tengah taman, dekat dengan penginapan, dengan view yang langsung mengarah ke laut. Kebetulan yang tidak disangka oleh Jimin adalah, bahwa Yoongi ternyata menginap di tempat yang sama dengannya. Sehari lebih dulu sebelum kedatangannya.
"Aku off dua hari, Hyung. Jam terbangku sudah hampir mencapai batas maksimal."
"Ah, seperti itu juga ada batasannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirushi [シルシ] ✔
FanfictionJimin felt the proofs that they were connected when he held on tightly to Taehyung's warmth, ーbut then, he choose to neglect it. #minv #topjimin #bottomtaehyung #hurt #romance #fiction