Fourteenth

1.3K 240 54
                                    

Park Jimin menghabiskan jam demi jam di dalam pesawat bersama Kim Namjoon dengan gelombang rasa takut dan panik yang membayang. Ucapan Taehyung serta tangisannya pagi tadi sungguh menamparnya telak. Dia tidak tahu bagaimana respons Namjoon nantinya jika mengetahui bahwa Jimin telah membuat adik kesayangannya menangisーbahkan lebih dari satu kali, jika boleh dihitung. 

Padahal niatnya Jimin hanya ingin yang terbaik bagi Taehyung, namun ternyata pemikirannya sama sekali salah.

Apa yang harus ia lakukan jika sudah seperti ini?

Bagaimana kalau memang Taehyung sungguh-sungguh ingin menghilang dari kehidupannya?

Sepertinya Jimin lupa pelajaran dasar, bahwa tidak semua yang kita anggap baik, itu juga akan menjadi baik bagi orang lain.

.
.
.

Ditengah kesibukan partnernya dalam memantau mesin navigasi, Namjoon tahu ada yang tidak beres dengan Jimin sedari keberangkatan mereka pagi tadi. Ini memang tidak berpengaruh besar karena Jimin tetap menjalankan tugasnya sebagai ko-pilot dengan amat baik, hanya saja perilakunya yang ganjil dan tidak bersemangat masih begitu mengganggu pikiran Namjoon.

"Kau yakin tidak mau beristirahat?" Ini sudah yang ketiga kalinya Namjoon bertanya.

Jimin menggeleng pelan, merenggangkan kaki yang terasa pegal dan tersenyum tipis. "Tidak, Kapten, terimakasih. Aku sungguh baik-baik saja. Tinggal sedikit lagi sampai kita tiba kembali di Seoul dan aku bisa segera beristirahat di rumah."

Namjoon melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangan dan membenarkan kata-kata Jimin. Walaupun dalam hati ia masih mempertanyakan keanehan juniornya tersebut, Namjoon tetap tidak ingin mengorek lebih jauh selama Jimin tidak berkeinginan untuk membuka hatinya sendiri. 

Guliran mata Namjoon lantas berpindah pada pemandangan di luar kaca kokpit. Hanya gelap di ujung sana, dengan segaris awan berwarna jingga tua bercampur ungu yang mengaburkan garis cakrawala. Di saat Namjoon memutar sedikit kepala untuk memperhatikan bagaimana Airspeed Indicator menampilkan data kecepatan pesawat, Jimin berdeham kecil dan membuatnya refleks menoleh pada sang ko-pilot.

"UmーKapten,"

"Hm?"

"Apakah menurutmu aku pantas untuk menjadi seorang pilot?"

 Pertanyaan dari Jimin begitu mendadak dan jujur, Namjoon butuh waktu untuk memikirkan jawabannya. Namjoon membetulkan posisi duduk saat pertanyaan balik meluncur dari mulutnya, "Kenapa kau bertanya demikian?"

Jimin tersenyum malu, menggaruk lehernya yang bahkan tidak gatal sama sekali.

"Aku seperti kehilangan semangat bekerja sehari ini. Ada suatu masalah dan itu benar-benar mengganggu pikiranku sampai sekarang, Kapten. Aku hanya tidak ingin ini berimbas pada kinerjaku ke depannya. Kalau terus-terusan seperti iniー"

Dahi Namjoon berkerut mendengar kalimat demi kalimat yang selanjutnya terlontar dari bibir Jimin. Tekanan nadanya stabil dan lancar, namun sarat akan frustasi. Namjoon tidak pernah menyangka bahwa Jimin akan secepat ini membuka hati padanya. Menunggu Jimin selesai berbicara, Namjoon akhirnya kembali memandang ke arah kaca dan melihat kilatan petir di luar sana.

"Jadi itu alasanmu terlihat murung seharian ini?"

Anggukan samar Jimin diterima oleh Namjoon sebagai jawaban. Postur Namjoon berubah, dia menoleh menghadap Jimin dan memandang pria muda itu lekat.

"Sejauh yang aku lihat, kau sangat potensial untuk menjadi seorang pilot, Jimin-ah," Namjoon mengemukakan pendapatnya dengan tenang dan santai. Ia dengan tulus memuji kecerdasan Jimin dalam menangkap cepat apa yang diajarkan, kecekatannya dalam bekerja dan Namjoon mendapati jemari Jimin mengepal kencang di atas paha.

Shirushi [シルシ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang