Fifteenth

1.3K 245 47
                                    

Jimin menaruh memo biru muda yang berisikan jadwal penerbangan selama sebulan ketika mendengar ketukan halus pada pintu kamarnya.

Mungkin Ha Sungwoon, pikir Jimin, karena sahabatnya satu itu memang tahu Jimin belum akan terlelap jika jarum jam belum menunjuk ke angka dua belas. Apalagi besok libur, Jimin menduga Sungwoon pasti akan mengajaknya untuk mengunjungi Lee Taemin di Akademi Angkatan Udara.

Menarik napas panjang, Jimin menyeret langkah santai menuju pintu dan menarik tuasnya. Siapa yang ada di hadapan Jimin saat ini mendadak membuat pasokan udara pada paru-parunya terhenti. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa sosok tersebut akan datang menghampiri.

"Hyungie?"

"Maaf aku menganggumu malam-malam, Jim. Apa kau keberatan jika aku ingin berbincang sebentar?"

"Ohーah," Jimin sedikit terperanjat. Setelah tersadar oleh senyuman rikuh dan jentikan jari Taehyung di depan wajah, Jimin menggeser tubuh dan mempersilahkan Taehyung untuk masuk, sedang dia sendiri segera menyusul sang tamu setelah sebelumnya menutup pintu rapat-rapat.

"Maaf, berantakan." Bantal sofa disusun bertumpuk pada satu sisi dan Jimin terduduk di sisi lainnya dengan canggung.

Taehyung tertawa kecil. "Bukan masalah, kamarku juga sama saja, kok," ungkapnya jujur. Dipandangnya sekeliling ruang tamu milik Jimin, dan entah kenapa Taehyung tidak menemukan apa yang dimaksud dengan berantakan. Buku-buku milik Jimin tertata rapi pada lemari tanam di sudut ruang, pun tidak ada barang yang berserakan seperti halnya di apartemen Taehyung sendiri. Sedikit banyak pria bermarga Kim merasa malu dan membenarkan kata-kata Namjoon bahwa ia tidak telaten dalam mengurus rumah.

"Mau minum apa, Tae?"

"Eh?" Taehyung mengerjapkan matanya bingung, "ーum, tidak usah Jimin-ah. Aku hanya sebentar saja, kok. Hanya mau....mengobrol."

Jimin menggeleng dan memandang Taehyung lekat. "Aku memaksa, kalau begitu. Teh hangat? Atau mau susu cokelat? Ah, aku juga punya susu putih kalau mau. Kau itu kedinginan, dikiranya aku tidak tahu?"

Wajah Taehyung terlihat malu saat ia sadar bahwa tangannya sendiri memang bergetar kedinginan. Salahkan keteledorannya dalam meletakkan barang, Taehyung lupa di mana terakhir ia menaruh sarung tangannya. Taehyung lalu mendongak memandang Jimin dan tersenyum kecut. "Susu cokelat saja kalau begitu, maaf ya aku malah merepotkanmu."

Jimin hanya meresponnya dengan tawa renyah, menggumamkan bahwa itu jelas bukan masalah baginya dan segera beranjak untuk membuatkan secangkir susu hangat. Sementara Taehyung sibuk menghapal dalam hati apa saja yang harus ia katakan pada Park Jimin, pria yang lebih tua sudah kembali dengan secangkir susu hangat yang aroma cokelatnya begitu menggoda indera penciuman Taehyung.

Jimin mengulum tawa saat melihat Taehyung meneguk ludah.

"Jadi, darimana kau tahu alamat dan nomor kamarku?"

"Jeon Jeongguk," jawab Taehyung, menerima sodoran cangkir yang diberikan Jimin dan menggenggamnya erat untuk menghangatkan tangan yang beku. "Maaf aku lancang, Jim, tapi ada yang benar-benar ingin kutanyakan padamu."

Jimin merapatkan bibir karena tidak tahu harus berkata apa. Jika Taehyung rela mendatanginya tengah malam seperti ini, apalagi setelah perbincangan dingin mereka beberapa hari yang lalu, itu pasti karena ada sesuatu hal yang benar-benar menganggu pikirannya. Bohong kalau Jimin tidak senang, ia bahkan sedari tadi setengah mati menahan gejolak bahagia karena tahu Taehyung berinisiatif untuk mencari informasi tentangnya.

Jimin lantas menghembuskan napas perlahan dan mencoba untuk tidak terlalu banyak berbasa-basi.

"Tanyakan saja, Tae, aku mendengarmu."

Shirushi [シルシ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang