Eighteenth

1.2K 217 76
                                    

Empat hari lebih tujuh jam lamanya Park Jimin menghitung, Taehyung benar-benar mengabaikan semua pesannya tanpa tanggung-tanggung. Padahal sempat beberapa kali mereka berpapasan saat di bandara, tapi pria manis tersebut tak ubahnya seperti orang asing terhadap Jimin.

Ya Tuhan, memang kesalahan apalagi yang sudah ia perbuat? Jimin sampai tidak habis pikir jadinya.

Kalau kemarin-kemarin Jimin masih bisa menganggap cueknya Taehyung sebagai angin lalu karena beberapa pesannya sempat terbalas, namun sekarang sudah tidak lagi demikian. Sial memang. Padahal Jimin tahu, jadwal Taehyung tidaklah sepadat itu.

Selama empat malam belakangan Jimin jadi terus-menerus berpikir, kemungkinan apa saja yang bisa membuat sikap Taehyung berubah se-drastis ini padanya. Terlebih ketika otaknya dengan kurang ajar mengingat beberapa konten majalah mengenai sekian tanda jatuh cinta, Jimin makin tidak sanggup menahan diri untuk terus berdiam dan menerima begitu saja perlakuan Taehyung.

Tidak ketika dia juga mulai sadar, bahwa dirinya memiliki ketertarikan lebih pada junior berwajah rupawan tersebut.

Maka berbekalkan tekat 'maju terus pantang malu', Jimin melangkah dengan stabil sepanjang koridor apartemen tempat Taehyung tinggal. Perkara si Manis mau menerima kedatangannya yang begitu mendadak atau tidak, itu urusan belakangan. Yang terpenting Jimin bisa bertemu Taehyung terlebih dahulu, dan bertanya kepadanya kenapa ia menghindari Jimin belakangan ini.

Deru napas Jimin beradu dengan ketukan kakinya, tidak butuh waktu lama sampai ia tiba di kamar yang dituju. Merasa gugup, Jimin beberapa kali menarik udara sebelum akhirnya memberanikan diri memencet bel.

Ayo buka, Tae, ayo buka...

Dan dua menit kemudian sang pemilik langsung membukakan pintu dengan mata yang melebar kaget.

"Jimin?"

"Hyungie-ah," senyum Jimin merekah lega. "Boleh mengobrol sebentar? Apa aku mengganggu waktu kosongmu?"

Sedikit ragu, Taehyung melirik sekilas ke belakangnya, dan sesaat Jimin berpikir bahwa ia tidak sendirian. Tapi ternyata anggapannya keliru ketika Taehyung dengan bola mata yang menyipit, akhirnya menggeser langkah ke samping dan mempersilahkan Jimin masuk ke dalam terlebih dulu.

Setidaknya Taehyung benar-benar sendirian saat ini, Jimin menyapu pandang ruang tengah seraya mengayunkan kaki memasuki ruang.

"Ada apa sore-sore begini mendatangiku?" tanya Taehyung to the point, begitu usai menutup pintu dan bergegas menyusul Jimin yang sudah duduk manis di atas sofa. Sang pemilik rumah berdiri tegak di tengah ruang, memasang ekspresi bingung yang begitu kentara.

"Hanya mau...berkunjung?" Jimin tersenyum, balik menatap Taehyung, lalu tersadar bahwa Taehyung sedang tidak ingin berbasa-basi. Maka dengan hela napas berat Jimin berdiri, menggamit lengan pria yang lebih muda dan menuntunnya agar duduk di sebelahnya.

"Kau akhir-akhir ini tidak ada kabar sama sekali, Hyungie-ah. Aku telepon juga tidak pernah diangkat. Ketika kita ada kesempatan bertemu di bandara, kau malah mengabaikanku. Ada apa sebenarnya? Apa aku berbuat sesuatu yang salah hingga membuatmu marah lagi?"

Taehyung mendengus, pelan. Rasanya ingin tertawa melihat wajah memelas Jimin, namun urung ia lakukan. Begini-begini Taehyung juga tahu sopan santun. "Tidak ada apa-apa, kok. Kau saja yang terlalu sensitif, Park Jimin. Lagipula kita kan sudah punya aktivitas masing-masing, memangnya siapa aku sampai kau harus menghubungiku setiap saat?"

Jimin langsung tercubit oleh kata-kata spontan Taehyung. 

Ah, ya. Dia ada benarnya. Memang siapa Jimin sampai-sampai harus setiap saat Taehyung merespon semua pesannya?

Shirushi [シルシ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang