Park Jimin pulang ke apartemen setelah melalui delapan hari yang menjemukan di rumah sakit. Berjalan dengan arm sling sebagai penyangga tangan ia mengikuti Namjoon yang sudah lebih dulu melangkah, menyusuri pintu belakang rumah sakit guna menghindari beberapa awak media yang dengan sengaja menunggu di lobby utama.
"Demi Tuhan, Kapten, ini sudah delapan hari. Apa tidak ada berita lain yang lebih menarik daripada merecoki pilot yang habis mengalami musibah? Seperti skandal artis, atau pendemo yang meminta Presiden turun, mungkin?" Jimin bersungut kacau. Kacamata hitam yang menutupi mata membantunya untuk menghindari silau begitu Namjoon membuka pintu belakang lebar-lebar. Langkahnya masih tampak sempoyongan.
"Kau tidak tahu bagaimana tertekannya aku beberapa hari ini menghadapi mereka, Park. Persetan dengan media, aku bahkan belum sempat menikmati liburan paska kecelakaan kemarin gara-gara terus diminta keterangan."
Namjoon berbelok menuju mobil hitam miliknya, membenahi masker dan menyalakan mesin mobil begitu selesai melempar barang bawaan Jimin dalam bagasi. Dalam hati masih tidak paham bagaimana para awak media bisa mengetahui bahwa Jimin sudah diperbolehkan pulang hari ini. Pikirannya penuh dan yang menjadi fokus adalah bagaimana ia bisa membawa Jimin lekas sampai pada tujuan.
Sementara Namjoon fokus dengan kemudi, Jimin duduk hening di sebelah sambil memandang tempat-tempat yang mereka lewati dari balik jendela mobil. Selama sebulan mereka diberhenti-tugaskan sementara untuk memulihkan kesehatan dan trauma paska kecelakaan. Setelahnya, Namjoon sudah bisa dipastikan akan kembali mengudara, sedang Jimin sendiri tidak yakin dengan kondisi tangan dan cedera kepala minornya yang masih harus menjalani beberapa terapi penyembuhan.
"Apa pemulihannya bisa berjalan lancar, ya." Jimin merenung, memandang kosong pada tangan yang masih dibalut perban dan terbungkus arm sling. Sebuah bayangan yang menyedihkan karena sampai saat ini pun kondisi tangannya masih lemah dan sukar memberikan reaksi kecuali ngilu yang luar biasa. Begitu pula dengan kepala yang masih sering pusing tiba-tiba.
Namjoon belum memberi respon apapun, tangannya begitu terampil memainkan setir mobil ke kiri dan kanan. Sambil sesekali melirik dari arah spion, ia memastikan bahwa tidak ada yang nekat mengikuti mereka di belakang. Setelah mobil melewati belokan pertama barulah Namjoon bersuara.
"Turuti saja saran dokter. Ikuti terapi. Minum obat secara teratur. Positive thinking. Perbanyak istirahat. Jangan gunakan otakmu untuk berpikir berat. Itu akan membantu mempercepat proses pemulihanmu, Park."
"Tapi aku ingin kembali bertugas, Kapten." Bahu Jimin merosot turun. Ia lantas memejamkan mata, menyibukkan pikiran dengan kebisingan lalu lintas yang teredam oleh deru halus mesin. Mual menggerayangi dinding perut, pun telinganya kembali berdenging akibat cedera yang dialaminya. Setiap kali kepanikan menyetir pikirannya untuk mundur dari dunia penerbangan, Jimin mengingatkan dirinya sendiri bagaimana usaha Taehyung selama delapan hari belakangan yang terus mendukungnya tanpa henti. Progress hubungan mereka maju lebih pesat daripada sebelumnya. Yang Jimin sayangkan adalah, kenapa semua harus terjadi setelah adanya musibah yang menimpa.
"Aku tidak ingin meninggalkan dunia penerbangan. Menjadi pilot adalah hidupku."
"Aku tahu."
"Tidak. Kau tidak tahu," Jimin menggeleng sendu. "Apakah mereka mau menerima pilot yang bahkan untuk memegang kertas saja sulitnya setengah mati?"
Kali ini Namjoon tidak menjawab apa-apa. Sadar betul bahwa kemungkinan Jimin tengah mengalami fenomena catastrophizing. Dari seseorang yang awalnya selalu sehat, mendadak jadi tidak berdaya. Akibatnya ia terus-menerus memikirkan hal-hal buruk yang dapat terjadi dan menghubungkannya dengan peristiwa buruk yang akan membuat dirinya merasa down. Itu jelas memukul mentalnya telak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirushi [シルシ] ✔
FanficJimin felt the proofs that they were connected when he held on tightly to Taehyung's warmth, ーbut then, he choose to neglect it. #minv #topjimin #bottomtaehyung #hurt #romance #fiction