Twenty-fifth

1.3K 217 160
                                    

Hujan terlampau deras bagi Jung Hoseok untuk mempercepat laju kendaraan. Terlebih saat itu jalanan memang sedang padat-padatnya. Malam minggu, pula. Maka sepanjang turun dari mobil, bibir Hoseok terus saja mengumpat, menyalahkan hujan dan waktu dan kliennya sebelum ini, hingga dirinya bisa terlambat sampai ke tempat tujuan.

Tujuh menit berlari di sisi trotoar, berpacu dengan detik jam pada pergelangan tangan, Hoseok akhirnya tiba di salah satu coffeeshop ternama di kawasan Sinsa-dong. Ia mengusak rambut yang basah oleh sapuan air hujan dan napasnya terlihat begitu memburu.

Lima belas menit, gumam Hoseok, dan segera dibukanya pintu kaca frameless hingga menimbulkan gemerincing lonceng nan nyaring.

Beberapa waiter menyapa serentak. Kepala Hoseok menoleh ke kiri dan kanan, diam-diam merapalkan doa dalam hati agar klien yang satu ini mau memaklumi keadaannya. Dihampirinya salah seorang waiter yang berjaga paling dekat dengan pintu, dan Hoseok memamerkan senyum tampannya yang begitu cerah,

"Ah, Noona, meja atas nama Tuan Kim Seokjin, di mana ya?"

.
.
.

Jimin terbangun bukan oleh aroma tumisan, melainkan oleh denting piano yang mengalun pelan memenuhi ruang tengah. Jimin menyibak selimut, menangkap lantunan melodi sederhana yang terdengar kaku dan tidak selancar permainan piano Min Yoongi. Nadanya masih begitu meraba, dan Jimin mendengus kecil karenanya.

Di sudut ruang, persis di depan sebuah upright piano berwarna hitam pekat, duduk Kim Taehyung yang masih berbalutkan piyama baby blue semalam. Selimut bulu berwarna putih tersampir di sepanjang pundaknya. Jimin memutuskan untuk bangkit dari sofa, menguap sebentar, lalu melangkah menghampiri Taehyung.

"Setelah beberapa tahun tidak melihatmu menyentuh piano, ternyata kemampuanmu bermain tidak berkembang sama sekali, ya," Jimin mengacaukan permainan Taehyung dengan turut menyentuh tuts piano secara random.

Taehyung pura-pura tuli, menepis kesal jemari pendek Jimin, dan lanjut menekan tuts-tuts piano miliknya sembari berdendang kecil. Jimin yang kesal merasa terabaikan lantas meniup-niup daun telinga Taehyung. Dagu runcingnya ia letakkan manja pada pundak Taehyung yang berlapis selimut.

Sejauh yang Jimin ingat, Taehyung memang menyukai alat musik. Piano ini adalah piano tuanya, yang sering ia pamerkan melalui foto dan video saat mereka masih berada di akademi. Lapisan peliturnya sudah mulai kusam, di bagian bawah sedikit mengelupas, Jimin mau tidak mau terbawa nostalgia saat mereka masih akrab, dulu.

"Lagu apa yang kau mainkan?"

"All of me, punya John Legend. Sudah pernah dengar belum?"

Alis Jimin berkerut, sedetik kemudian ia menggeleng. "Baru dengar darimu. Memang bagus, ya?"

"Wajib dengar kalau begitu. Nanti kukirim ke ponselmu. Itu recommended banget, Jim."

Jimin tertawa. Lebih menikmati dendangan halus yang keluar dari bibir Taehyung sebenarnya daripada harus mendengar melodi setengah jadi yang dikeluarkan oleh piano. Taehyung baru hendak memasuki bait kedua, ketika perutnya diusap-usap lembut oleh tangan tidak bertanggung jawab. Ia berhenti bermain dan menoleh risih.

"Apa sih pegang-pegang?"

"Lapar, Tae."

Taehyung terdiam untuk sesaat. Ia ingat di kulkas masih tersisa telur dan selada segar, tapi roti dan daging asap-nya sudah habis gara-gara Jimin juga. Napasnya lantas dihembuskan berat.

"Aku lupa belum belanja, Jimin-ah. Roti sandwich yang di kulkas kan sudah kau makan tadi malam. Mau pesan online saja? Atau mau bikin telur dadar?"

Shirushi [シルシ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang