Twenty-sixth

1.1K 203 104
                                    

Namjoon berencana untuk membawa Seokjin pergi ke sebuah restoran Italia yang terkenal demi mengembalikan mood dan hubungan mereka berdua. Makanan lezat dan berkelas adalah salah satu kombinasi yang terbaik menurut Namjoon, tapi sayang itu semua tidak berefek seperti biasanya bagi Seokjin.

Alih-alih mendapatkan antusiasme, yang Namjoon terima justru sebaliknya. "Kau pikir dengan membawaku makan malam di tempat romantis dan mahal, lantas kepercayaanku akan kembali? Kok enak sekali ya, habis dibuat kesal lalu di kenyang-kenyangin?" sinis Seokjin, yang langsung membuat Namjoon gamam seketika.

Karena sejauh apapun Namjoon berusaha menjelaskan pada Seokjin tentang rumor yangーbrengseknyaーkembali merebak di permukaan, Seokjin tetap tidak mau mendengar alasan apapun yang Namjoon berikan. Justru sikapnya semakin tak acuh. Dan ini sudah terjadi untuk yang kedua kalinya. Beruntung Seokjin tidak mengucapkan satu kata keramat yang bisa mengakhiri hubungan mereka berdua. Kalau iya, bisa remuk hati Namjoon luar dalam.

"Lalu kau mau ke mana hari ini, Sayang? Mumpung kita sama-sama off. Akan lebih menyenangkan kalau bisa refreshing berdua ke suatu tempat," Namjoon menyusul langkah Seokjin ke dalam ruang laundry, membiarkan pria berbahu lebar itu memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin sementara ia dengan setia menunggu di belakang.

"Hari ini aku tidak bisa ke mana-mana, Namjoon-ah. Lihat sendiri kan, pekerjaan rumah masih banyak. Lagipula aku sudah ada janji mau bertemu dengan kontraktor nanti sore. Dia kenalan Choi Soobin, dan kabarnya sedang ada waktu di Seoul sampai nanti malam." Seokjin menuangkan sabun cair ke dalam mesin penggiling pakaian, tidak lupa dengan pewanginya, sambil sesekali melirik ke arah ponsel. Gerakan yang terakhir itu membuat Namjoon gerah. 

"Choi Soobin?"

"Iya, Choi Soobin," ulang Seokjin. Pintu mesin cuci kemudian ditutup dan Seokjin menghadapkan tubuhnya pada Namjoon dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Kenapa? Ada masalah?"

Dahi Namjoon berkerut dalam. Ingin menggeleng, tapi sudah terlanjur penasaran. Terlebih ketika Namjoon memikirkan bahwa Seokjin akan bertemu dengan seseorang tanpa berdiskusi dulu dengannya.

Ini tidak seperti biasa, pikir Namjoon. Apa saja yang sudah ia lewatkan? Kenapa semakin hari Seokjin seperti makin jauh saja dari jangkauan?

Setengah mati Namjoon menahan perasaan cemburu yang tidak perlu. Dicondongkannya tubuhnya untuk memencet tombol start pada panel display seolah ingin membantu, padahal itu hanya alasan Namjoon agar dia bisa mengurung tubuh Seokjin di antara kedua lengan kokohnya.

"Ada perlu apa sampai kau ingin bertemu dengan kontraktor, Sayang?"

Senyum ironi Seokjin mengembang. Begitu manis, namun juga terlihat menyebalkan. "Ah, segitu sibuknya ya dengan pramugari cantik itu, sampai-sampai permintaan kekasihmu saja tidak kau ingat?"

Namjoon menaikkan sebelah alis. Seokjin yang cemburu itu menggemaskan memang, tapi Seokjin yang sedang marah juga bukan sesuatu yang bisa disepelekan. Maka dengan suara pakaian yang mendengung berisik dalam mesin penggiling, Namjoon merangkul lengan Seokjin dan menariknya kasar hingga tubuh mereka saling berhimpit.

"Bisa beri aku clue-nya?" bujuk Namjoon.

"Rumah di Ichon-dong," Seokjin menjawab, tubuhnya berjengit risih. Ditahannya dada Namjoon dengan kedua telapak tangan, agar jarak aman tercipta di antara mereka. "Ayah memintaku untuk merombaknya, kalau kau lupa. Sudah lama kita membicarakan ini Namjoon-ah, kupikir kau akan membantuku untuk mengurus prosesnya seperti janjimu dulu, tapi ternyata?"

Namjoon terhenyak. Astaga Tuhan, dia benar-benar lupa. Diangkatnya dagu Seokjin dengan satu jari dan Namjoon memberi satu lumatan lembut pada bibir cherry Seokjin sebagai permintaan maaf. Ekspresi sang Kapten penuh akan rasa bersalah. "Seokjin, Sayang, dengar. Aku sungguh minta maaf sudah mengabaikan permintaan tolongmu. Kupikir waktu itu baru wacana, dan sudah lama kau juga tidak membahasnya lagi, bukan?"

Shirushi [シルシ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang