CHAPTER 24

4.1K 150 1
                                    

Kiran menghela nafas lelah sambil berjalan mengikuti langkah Luna. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah cafe yang ada di salah satu mall. Kiran mengikuti langkah Luna untuk duduk di pojok ruangan. Hari ini mereka berencana mengerjakan tugas kelompok. Setelah menunggu dua orang lain datang, mereka segera mengerjakan tugas itu dengan cepat.

Kiran melirik ponselnya sekilas. Ada pesan dari Bank yang mengatakan kemungkinan ia akan pulang malam. Kiran menghela nafas panjang. Bank masih belum kembali ke Bank yang dulu, padahal sudah tiga hari berlalu sejak keanehan Bank muncul. Kiran masih bingung apa yang membuatnya demikian. Setiap kali ditanya mengapa jawaban Bank selalu ‘tidak apa-apa’.

Setelah hampir empat jam berjibaku dengan tumpukan buku, akhirnya mereka berempat selesai mengerjakan tugas akhir itu. Kiran meregangkan otot-ototnya yang mulai kaku karena terlalu lama duduk.

“Ran, Lun, kita duluan ya, takut keburu nggak ada angkot,” pamit Mayang dan Ridwan, teman sekelompok Kiran dan Luna.

Kiran dan Luna mengangguk.

“Ati-ati ya kalian,” kata Kiran sambil melambaikan tangan.

“Yuk, Ran, balik. Pegel gue pengen tidur,” ajak Luna.

Kiran memberesi barang-barangnya dengan cepat dan berjalan mengikuti Luna pelan menuju pintu keluar.

“Eh, bentar, gue kebelet pipis, lo tunggu depan aja,” kata Luna sambil berlari menuju toilet.

Kiran mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Namun, saat ia hanya tinggal beberapa langkah lagi keluar dari cafe itu, langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada salah satu meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia paham benar siapa lelaki dan wanita yang sedang duduk berdampingan itu. Bank dan Jennifer.

Kiran mematung di tempatnya saat melihat Jennifer mengelap bibir Bank dengan tisu. Ia tidak suka melihat posisi Jennifer yang begitu dekat dengan Bank. Ingin rasanya ia menghampiri mereka dan memaki-maki Jennifer. Tapi ia tak ingin menjadi pusat perhatian di tempat umum.

Mata Kiran terbelalak lebar saat Jennifer bergelayut manja di lengan Bank. Sedangkan Bank hanya diam saja. Kiran benar-benar merasa kesal. Amarahnya memuncak. Namun ia menahannya sekuat tenaga. Tepat saat ia menatap tajam pada kedua orang itu, Bank melihatnya. Bank tampak terkejut dan mendorong Jennifer pelan.

Kiran melangkah cepat meninggalkan cafe itu. Ia berjalan dan terus berjalan menuju pintu keluar mall besar itu tanpa menghiraukan panggilan Bank. Tepat saat sudah sampai di pinggir jalan raya di depan mall, langkahnya terhenti karena cekalan di tangannya.

“Yang, aku bisa jelasin,” kata Bank dengan tampang memohon.

Kiran berusaha keras melepaskan cekalan Bank. Namun, nihil. Tenaganya masih kalah dibandingkan tenaga Bank.

“Yang, dengerin dulu, Yang,” kata Bank lagi.

Namun Kiran masih diam. Ia masih kesal.

“Yang, ayolah, dengerin penjelasan aku dulu,” kata Bank masih dengan nada memohon.

“Ngapain? Mending kamu urusin tuh cewek kamu,” kata Kiran ketus. Kali ini ia menyingkirkan tangan Bank dengan sekuat tenaga menggunakan kedua tangannya.

“Yang, Yang, Yang, dengerin dulu, please, Yang,” Bank masih berusaha meraih tangan Kiran. Namun Kiran menepisnya.

Kiran melambaikan tangan pada taksi yang lewat dihadapannya membuat taksi itu berhenti. Bank berusaha menahan Kiran agar tidak meninggalkannya namun Kiran dengan cepat masuk ke dalam taksi dan meminta kepada supir taksi agar segera pergi.

Sepanjang perjalanan pulang, hanya bayangan kejadian tadi yang memenuhi pikirannya. Hatinya berdenyut nyeri. Ia rasa ia memang benar-benar cemburu. Itu artinya ia memang benar-benar menyayangi Bank.

Sampai di rumah kecil, Kiran terkejut karena Bank yang sudah berada di sana. Kiran berjalan masuk tanpa menghiraukan tatapan Bank. Ia bahkan tak membalas sapaan Bank. Setelah meletakkan tasnya, ia berjalan menuju kamar mandi berniat membersihkan diri dan pikirannya. Namun Bank menahannya.

“Yang, dengerin aku dulu,” kata Bank.
Kiran berusaha melepaskan tangan Bank namun Bank malah mengeratkan genggamannya.

“Yang, aku bisa jelasin. Itu nggak seperti yang kamu pikirin.”

“Emang kamu tau apa yang aku pikirin?”

“Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Jennifer. Tadi tu aku ada meeting sama klien aku kebetulan jennifer yang bakalan jadi partner aku di project ini, makanya tadi ada Jennifer juga.”

Meeting? Meeting apa dating?”

“Beneran meeting, Yang. Tapi tadi pas kamu liat emang pas kliennya udah pulang. Aku juga nggak mau kok pas dia ngajakin aku nonton tapi dianya aja yang nempel-nempel aku terus. Percaya, Yang. Kamu jangan cemburu gitu dong, ya?”

Kiran mendengus kesal. “Oh, gitu, kalo kamu boleh cemburu sama aku yang ketawa ketiwi sama Sadam yang notabene sahabat aku dari kecil, tapi aku nggak boleh cemburu ngeliat kamu mesra-mesraan sama cewek lain?”

“Nggak gitu, Yang, kalo aku sama Jennifer kan jelas-jelas cuman temen, lah kalo kamu, Sadam tu suka, Yang, sama kamu. Masa kamu nggak sadar?”

“Sadam suka sama aku? Mana mungkin. Yang ada Jennifer tu yang suka sama kamu makanya nempel-nempel kamu terus.”

“Yang, apa harus kita berantem cuman gara-gara ini?”

“’Cuman’ kamu bilang?” Kiran kembali mendengus kesal. “Emang perasaan aku nggak pernah penting ya buat kamu,” kata Kiran sambil berjalan pergi meninggalkan Bank.

Bank berlari mengejarnya dan kembali menahan tangan Kiran.

“Yang, aku nggak pernah bermaksud mengabaikan perasaan kamu, tapi apa kamu juga pernah mikirin perasaan aku gimana waktu kamu bohong sama aku?” tanya Bank.

“Maksud kamu?”

“Kamu kira aku nggak tau kalo kamu udah dapet tempat kuliah?” kata Bank.

Kiran tersentak mendengarnya. Ia terdiam.

“Kamu tau nggak perasaan aku gimana waktu aku tau kenyataan itu dari orang lain bukan dari kamu. Terus waktu aku nanya kamu mau kuliah dimana kamu dengan entengnya bilang nggak tau padahal udah jelas-jelas kamu udah dapet tempat kuliah. Apa kamu mikirin perasaan aku waktu itu? Enggak kan?”

“Aku.. aku..” Kiran gelagapan bingung harus menjawab bagaimana, “aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu, aku cuman nunggu waktu yang tepat buat ngomongnya.”

“Waktu yang tepat? Kapan? Kalo kamu udah lulus SMA atau sekalian kalau kamu udah lulus kuliah?”

“Enggak gitu juga,”kata Kiran pelan.

Bank mengacak rambutnya frustasi.

“Maaf soal aku nggak bilang sama kamu kalo aku udah dapet tempat kuliah, aku terlalu bingung kemarin. Aku yang salah. Aku yang nggak pernah bisa memahami perasaan kamu,” kata Kiran sambil berjalan meninggalkan Bank keluar dari rumah kecil. Ia mengusap kasar butiran bening yang membasahi matanya dan berjalan cepat menuju rumah utama. Sepertinya malam ini ia akan tidur di kamarnya di rumah utama saja. Ia butuh menenangkan dirinya.

Bank menatap pilu punggung Kiran yang mulai menjauh dan menghilang dibalik pintu. Ia mengusap wajahnya kasar. Ia tidak bermaksud marah pada Kiran. Kenapa malah jadi rumit seperti ini? Padahal ia sudah mengusahakan solusi untuk Kiran agar bisa kuliah dengan tenang tanpa memikirkan jarak rumah dan kampus yang jauh. Namun ia tadi tidak sengaja mengungkapkan kekecewaannya dan malah membuat Kiran semakin ngambek padanya.

Bank menghempaskan tubuhnya kasar di tempat tidur. Sepertinya malam ini ia harus tidur sendirian di kasur yang besar ini. Ia menghembuskan nafas kasar. Sekarang ia harus bagaimana agar Kiran kembali padanya? Ia menghabiskan malam itu dengan memikirkan cara yang tepat. Ia bahkan tak bisa memejamkan matanya barang sedetikpun.

**

Younger HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang