CHAPTER 38

2.4K 87 0
                                    

Bank dan Kiran sudah bertahan dalam posisi tersebut selama lebih dari setengah jam. Kiran masih belum mau bersuara. Bank pun memilih diam sampai Kiran sudah benar-benar siap untuk bercerita.

Bank mengelus-elus kepala Kiran dengan penuh kasih sayang sambil menyandarkan kepalanya di atas kepala Kiran.

"Aku ambilin minum ya?" tawar Bank.

Kiran menggeleng dan mengeratkan pelukannya pada Bank.

"Oke.."

Kiran sudah tidak menangis sesenggukan lagi namun air matanya masih belum bisa berhenti mengalir.

"Masih belum siap cerita?" tanya Bank pelan.

Kiran mendongak menatap wajah Bank kemudian menghela nafas pelan.

Kiran mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, dengan kedua tangannya masih memeluk pinggang Bank.

"Sadam..." kata Kiran pelan. Sangat pelan. Namun Bank bisa mendengarnya.

"Sadam kenapa?" tanya Bank.

"Dia tahu kalo kita udah nikah."

Bank terdiam. Sebenarnya dalam hati ia kaget namun ia berusaha tidak memperlihatkannya. "Terus? Dia marah sama kamu?"

Kiran mengangguk dibarengi dengan sebutir air mata yang mengalir di pipinya.

Bank mengeratkan pelukannya pada Kiran sekali lagi. Ia tak butuh tahu bagaimana caranya Sadam bisa tahu semuanya, yang ia butuhkan sekarang hanyalah bagaimana caranya agar Kiran tak terus-terusan bersedih.

**

Sadam kembali menegak minuman di hadapannya langsung dari botolnya. Sensasi pahit dari minuman itu langsung menyergapnya. Tenggorokannya terasa terbakar tapi ia tak menghiraukannya. Suara musik yang begitu memekakkan telinga itu pun tak bisa menghiburnya.

Sadam kini sedang berada di sebuah bar. Tempat yang baru dua kali ini ia kunjungi. Pertama dulu saat menemani Juna, namun saat itu ia tak berani menyentuh minuman yang ia minum sekarang. Kemudian pada kunjungan keduanya kali ini, ia nekat meminumnya. Ia begitu ingin melupakan masalah yang ia hadapi. Sadam mendengus pelan, menertawai kebodohannya yang tega merusak dirinya sendiri hanya karena seorang wanita. Menertawai kebodohannya yang telah menghabiskan bertahun-tahun waktunya untuk mencintai istri orang. Ia kembali meraih botol kaca yang berisi minuman berwarna cokelat itu dan berniat menegaknya kembali namun sebuah tangan menghentikannya.

"Lepasin," kata Sadam dingin.

"Nggak! Lo yang lepasin," jawab Lisa sambil merebut botol itu dan menjauhkannya dari Sadam.

"Ck," Sadam berusaha mengambil botol itu lagi namun saat berdiri kepalanya seperti dihantam beban berat dan membuatnya terhuyung. Lisa dengan cepat menahan tubuh Sadam agar tidak terjatuh.

"Dam, come on, lo nggak seharusnya kayak gini," kata Lisa.

Sadam yang tidak bisa duduk dengan tegak itupun hanya mendengus dan tertawa. "Terus gue harus gimana? Bertahun-tahun gue suka sama satu orang, bertahun-tahun gue memuja dia. Gue bahkan udah menyusun rencana masa depan gue sama dia. Tapi, nyatanya, dia udah nikah sama orang, dan orang itu bukan gue. Lucu banget ya hidup gue?" kata Sadam dengan nada melantur.

Lisa terdiam.

"Gue paham perasaan lo.." kata Lisa yang langsung dipotong oleh Sadam.

"Nggak! Lo nggak bakal paham perasaan gue gimana," kata Sadam sambil kembali meraih botol laknat itu. Dan lagi-lagi Lisa menahannya.

"Siniin!" kata Sadam sambil berusaha merebut botol itu lagi.

"Nggak!" kata Lisa tegas.

Sadam memberengut kesal. Kemudian ia merasakan getaran pada ponselnya. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya.

Younger HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang