CHAPTER 43

2.9K 112 4
                                    

WARNING lagi ya gais monmaap 🙏⚠️🙏⚠️

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Apasih, Yang? Aku masih di rumah sakit ini," kata Kiran pelan, cenderung berbisik, di ponselnya. Kiran berjalan pelan menjauh dari kerumunan teman-temannya yang sedang berdiskusi mengenasi kasus yang akan mereka presentasikan dan berjalan ke luar ruangan.

"Aku udah sampe ini, Yang," kata Bank yang kemudian diikuti suara berisik yang tidak jelas.

"Sampe mana?"

"Sampe kosan kamulah," jawab Bank enteng.

"HAH?" Kiran memekik tanpa sadar sampai seorang perawat yang sedang melewatinya menoleh kaget. "Hehe maaf mbak," kata Kiran kepada perawat itu.

"Apaan sih, Yang? Kok tiba-tiba?"

"Namanya juga kangen ih, pengen kelonan," jawab Bank.

"Heh, omongannya."

"Ya emang pengen kelonan, kenapa emangnya? Udah sering juga kan? Nggak usah malu gitulah, Yang."

Kiran menghembuskan nafas panjang. Ia sadar pasti kini pipinya memerah. Setelah kejadian malam wisuda Bank malam itu, Bank dan Kiran sudah tidak canggung lagi saat melakukan kegiatan itu. Mereka selalu melakukannya setiap Bank datang menghampiri Kiran. Namun Kiran tidak menyangka Bank akan datang tiba-tiba seperti ini. Karena baru tiga hari yang lalu mereka bertemu.

"Dih, kelonin guling aja sono," kata Kiran.

"IH, Kiran kok gitu," kata Bank manja. Kiran tersenyum lebar mendengarnya.

"Kamu kapan pulang?" tanya Bank.

"Belum tau, ini masih nunggu konsulen kelar visite terus mau ada presentasi kasus dulu, paling malem aku pulangnya."

"Loh, kok malem sih? Aku sendirian dong di sini?"

"Ya iya! Siapa suruh kesini nggak ngabarin dulu, nggak nanya jadwal aku dulu. Rasain tuh sendirian di kosan."

"Ran, ayok!" Kiran menoleh saat Laura, teman sekelompok koasnya, memanggilnya. Kiran mengangguk dan mengacungkan jempolnya.

"Yang, udah ya, aku udah dipanggil ini. Kamu anteng aja udah di kosan. Bye," kata Kiran cepat kemudian menutup teleponnya. Ia berjalan cepat sambil mengantongi ponselnya ke dalam jas putihnya.

Kiran baru saja akan membuka pintu ruangan yang akan digunakan untuk presentasi saat sebuah tangan memegang knop pintu itu. Kiran menoleh cepat saat menyadari ia sangat mengenal tangan itu.

"Sadam.." kata Kiran pelan. "Hai," sapa Kiran.

Sadam tersenyum simpul lalu membalas sapaan Kiran.

"Duluan," kata Sadam sambil membukakan pintu dan mempersilahkan Kiran untuk masuk terlebih dahulu.

"Makasih," gumam Kiran kemudian masuk ke ruangan. Kiran tersenyum karena akhirnya ia bisa mendengar kata lain selain 'hai' dari Sadam. Sepanjang acara presentasi kasus, Kiran sesekali melirik ke arah Sadam yang ada di seberang tempat duduknya. Sadam terlihat lebih kurus dibandingkan saat terakhir kali ia melihatnya. Namun wajahnya tampak lebih segar jika dibandingkan saat pertengkaran terakhir mereka kala itu. Jujur saja, Kiran masih merasa bersalah setiap kali melihat Sadam. Ia juga sangat merindukan sahabat kecilnya yang selalu ada untuknya, yang selalu berusaha membuatnya tertawa dan orang pertama yang mengatakan semuanya akan baik-baik saja ketika ia bersedih. Tapi Kiran juga sadar kalau ia akan menjadi orang yang sangat egois jika ia tetap terus-terusan menahan Sadam di sisinya padahal seluruh hati dan pikirannya untuk Bank.

Younger HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang