CHAPTER 20

4.9K 173 0
                                    

Bank mengamati gerak-gerik Kiran yang tampak berbeda. Setelah kejadian Bank mencium Kiran sore itu, Kiran jadi lebih banyak diam. Ia bahkan sering melamun. Bank kebingungan dengan sikap istrinya itu, namun disisi lain ia juga merasa bersalah. Ia takut Kiran marah padanya karena menciumnya tanpa permisi.

Kini mereka ada di kamar hotel setelah sarapan. Keduanya sedang bersiap-siap untuk kembali ke Bangkok. Tapi Bank hanya duduk di kasur dan mengamati Kiran yang sesang sibuk menata koper. Bahkan sampai Kiran selesai menutup koper dan mengenasi barang-barang lain, Bank masih mempertahankan posisinya.

"Yuk," ajak Kiran namun tanpa melihat ke arah Bank. Memang sejak kemarin sore Kiran lebih sering menunduk dan tidak menatap Bank.

Bank mencekal tangan Kiran dan menariknya mendekat. "Sini deh duduk dulu," kata Bank sambil menepuk kasur disebelahnya mempersilahkan Kiran untuk duduk.

Kiran menurutinya namun masih dengan menunduk.

"Lo kenapa, Ran?" tanya Bank.

"Ha? Enggak, nggak kenapa-napa."

"Kalo nggak kenapa-napa liat gue dong."

Kiran mendongak sekilas kemudian kembali menunduk.

"Kamu marah sama aku?" tanya Bank.

Kiran tersentak mendengar kalimat Bank yang memakai aku-kamu sebagai kata ganti. Ia merasa geli namun sebenarnya ia suka mendengarnya. Penggunaan aku-kamu terasa lebih intim dibandingkan gue-lo. Lagipula ia juga sudah mulai lelah mendengar omelan keluarganya jika mendengar Kiran dan Bank menggunakan gue-lo.

Kiran menggeleng.

"Terus kenapa?" suara Bank terdengar sangat lembut di telinga Kiran.

"Nggak, nggak apa-apa."

"Jangan bohong. Kamu marah gara-gara aku nyium kamu kemarin?"

Kiran mendongak menatap Bank. Ia bukannya marah hanya saja ia malu. Itu adalah ciuman pertamanya.

"Gue malu," kata Kiran kembali menunduk.

"Malu kenapa?"

"Malu aja, itu ciuman pertama gue. Awkward aja rasanya kalo ngeliat lo," kata Kiran.

"Itu juga ciuman pertamaku."

"Bohong. Lo udah ahli gitu."

"Beneran. Aku cuman ngikutin perasaanku aja. Aku harap sih kamu bisa ngerasain gimana perasaanku sebenernya. Aku sayang banget sama kamu, Ran."

Kiran terdiam. Tenggorokannya tiba-tiba mengering dan matanya memanas. Pandangannya kabur karena kumpulan air mata yang menggenangi matanya.

"Loh kok nangis?" tanya Bank sambil memeluk Kiran. Ia mengelus kepala Kiran sayang.

Kiran masih sesenggukan. Ia juga tak paham benar kenpa ia menangis. Tapi ia senang mendengar pernyataan sayang Bank. Hatinya menghangat mendengarnya. Namun ia masih bingung dengan perasaannya. Apa ia juga menyayangi Bank? Entahlah, ia belum yakin. Tangisannya semakin menjadi memikirkan betapa jahatnya dirinya yang belum bisa membalas perasaan Bank. Berada dalam hubungan asmara seperti ini adalah pertama kalinya bagi Kiran. Ia masih merasa takut untuk mengatakan sayang ataupun cinta dengan mudah. Bahkan saat jelas-jelas ia sudah menyukai Bank pun ia masih takut.

"Kenapa, hm?" tanya Bank lagi.

Kiran melepaskan pelukan Bank. "Maafin gue," kata Kiran.

"Maaf kenapa?"

"Maaf aku belum bisa membalas rasa sayang kamu. Aku.. aku masih belum yakin sama perasaanku."

Bank mengangguk pelan. Wajahnya tampak sedikit kecewa. Namun dalam hati ia tersenyum mendengar Kiran sudah mengubah kata gantinya menjadi aku-kamu.

"Aku jahat banget, ya? Maaf," kata Kiran sambil menundukkan kepalanya semakin dalam.

"No, no, no. Aku paham kok. Sebelum aku berhasil ngomong sayang ke kamu aku juga masih bingung, masih belum siap dan i spent so many days to think about it. Ini semua kan sama-sama pertama kali buat kita. Jadi wajar kalo ada rasa takut dan belum siap. Aku bakalan nunggu sampe kamu udah bener-bener siap buat bales perasaan aku," kata Bank sambil mengelus tangan Kiran yang ada di genggamannya.

Air mata Kiran kembali mengalir. Ia tak menyangka lelaki kenakan yang ada di depannya ini bisa bersikap begitu dewasa dan sangat pengertian. Ia berhambur ke pelukan Bank dan menggumamkannkata maaf dan terima kasih berkali-kali.

**

Libur semester hampir habis. Hari ini adalah hari terakhir Kiran dan Bank bisa menikmati hari dengan malas-malasan. Karena besok mereka harus sudah masuk sekolah lagi. Kiran sudah harus kembali kekesibukannya sebagai anak kelas duabelas yang akan segera menjalani ujian nasional. Jadi ia benar-benar memanfaatkan hari ini dengan bermalas-malasan. Lihat saja, sudah jam satu siang tapi ia dan Bank masih bergelung di tempat tidur mereka. Mereka sempat bangun tadi pagi untuk sarapan namun kembali tidur.

Setelah kepulangan mereka dari Thailand minggu lalu, hubungan keduanya terasa semakin dekat. Meski hingga kini Kiran belum juga mengungkapkan perasaannya, namun setidaknya kini ia lebih bisa menerima saat Bank memeluk atau menciumnya. Ia sudah tidak sering protes seperti dulu. Malahan kadang sekarang Kiran yang meminta dipeluk atau dicium. Tentu saja Bank dengan senang hati melakukannya.

Tidur Kiran terganggu saat mendengar suara ketukan di pintu kaca rumah kecil. Ia menggeliat enggan untuk bangun. Kiran kembali tenggelam dalam tidurnya saat suara ketukan itu hilang. Namun tak lama kemudian suara itu kembali terdengar kali ini lebih cepat dan lebih keras. Siapa sih, batin Kiran. Kalaupun asisten rumah tangganya tidak mungkin mengetuk dengan sebegitu kerasnya. Lagi pula mereka punya kunci cadangan, jadi jika Kiran tak membukakannyapun mereka masih bisa masuk.

Ketukan, oh tunggu, sepertinya lebih seperti gedoran itu kembali terdengar. Bank menggeliat merasa terganggu.

"Siapa sih itu? Buka gih, Yang," kata Bank masih dengan mata tertutup.

Ya, benar, Bank kini memanggil Kiran dengan panggilan 'Sayang'. Meski sempat protes karena merasa geli namun Kiran akhirnya menyerah dan menerimanya.

Kiran dengan malas bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu depan dengan mata yang masih setengah terpejam. Ia membukakan pintu dan terpaksa menyipitkan matanya karena pancaran sinar matahari yang menyilaukan. Ia belum bisa dengan jelas melihat siapa tamunya.

"Lama benget sih lo bukainnya," kata orang itu. Tunggu dulu, Kiran sepertinya familiar dengan suara ini. Kiran membuka matanya lebar dan berujung membelalakan matanya semakin lebar saat tebakannya benar. Tamunya adalah Luna.

Kiran gelagapan. "Lo.. lo, ngapain kesini?" tanya Kiran.

"Lo lupa? Kita kan ada janji mau daftar les bareng tapi lo-nya gue telponin nggak diangkat, dichat nggak dibales. Gue tanya mama lo katanya lo masih molor terus gue disuruh kesini," kata Luna.

Kiran mengangguk-angguk. Ia baru ingat kalau ada janji dengan Luna. Kiran baru saja membuka mulutnya, saat Luna menerobos masuk ke dalam rumah kecil.

"Minggir ah, gue mau masuk," kata Luna sambil berjalan masuk.

Kiran menahan Luna dengan sekuat tenaga, tenaga orang bangun tidur, "Eh, jangan!"

"Apasih lo?! Pelit banget!" kata Luna masih berusaha ingin masuk.

"Jangan! Berantakan banget kamar gue," kata Kiran bohong.

"Ya udah sih, kayak baru sekali ini aja kamar lo berantakan," kata Luna sambil terus menerobos masuk.

"Jangan, Lun," Kiran masih berusaha mencegah Luna, tapi tenaga Luna masih lebih kuat dari tenaga Kiran yang baru saja bangun tidur.

Luna berhasil menerobos masuk, "Gue penasaran kamar lo di sini kayak gimana. Gila ya gede bang-" kalimat Luna terhenti saat ia melihat sesuatu atau lebih tepatnya seseorang sedang duduk mengucek matanya dengan tanpa memakai baju. Kiran belum sempat menghentikan langkah cepat Luna lagi, namun sepertinya Luna sudah menemukan apa yang seharusnya tidak ia temukan. Kiran menggigit bibir bawahnya.

"Ada apa sih, Yang? Berisik banget," kata Bank tidak menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu.

"OH. MY. GOD!" pekik Luna.

**

Younger HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang