CHAPTER 39

2.4K 87 1
                                    

Kiran meremas tangannya sambil berdiri dengan sangat tidak tenang. Sesekali ia menghembuskan nafas panjang. Ia melirik seseorang yang ada di sebelahnya yang tampak tak kalah tegang dengannya.

"Lun, gue takut," kata Kiran pelan sambil meremas ujung baju Luna.

Kiran dan Luna kini sedang berada di lift menuju unit apartemen milik Lisa. Luna semalam sempat menelepon Kiran dan memberitahunya bahwa Sadam tengah mabuk. Kiran panik bukan kepalang. Begitupun Luna. Luna bahkan langsung terbang dari Bali untuk menemui Kiran. Sejak semalam Kiran mencoba menghubungi Lisa dan menanyakan bagaimana keadaan Sadam. Namun nihil. Lisa baru bisa dihubungi tadi pagi. Wanita itu mengatakan bahwa Sadam menginap di apartemennya semalam dan meminta Kiran untuk datang.

"Lo pikir gue enggak?" kata Luna setengah sewot setengah memelas.

Tak lama mereka tiba di unit yang mereka tuju. Keduanya sempat ragu bercampur takut. Selama hampir tiga menit mereka berdiri di depan pintu unit apartemen Lisa tanpa melakukan apapun. Akhirnya Luna memberanikan diri untuk memencet bel yang disediakan. Tak lama pintu terbuka dan menampilkan Lisa yang masih dengan piyamanya.

"Masuk, Ran," kata Lisa.

Kiran mengangguk, "Eh, iya, kenalin ini Luna."

Lisa tersenyum, "Hai, Lisa."

"Hai, gue Luna. Makasih banget ya mau bantuin kita," kata Luna sambil menjabat tangan Lisa.

Akhirnya ketiganya masuk ke dalam apartemen Lisa dengan Lisa yang berada dua langkah di depan Kiran dan Luna. Lisa mengarahkan mereka untuk menghampiri Sadam yang masih terdiam di posisinya yang tadi.

"Dam.." panggil Lisa pelan.

Sadam terdiam.

Lisa melirik Kiran dan Luna sekilas.

"Dam, ayolah.." kata Lisa lagi pelan.

Sadam masih terdiam.

Lisa menatap Kiran kemudian memberikan sinyal untuk memulai obrolan. Kiran mengangguk pelan kemudian berjalan pelan mendekati Sadam.

"Dam," panggil Kiran pelan.

Sadam masih belum membuka mulutnya.

"Dam, tolong jangan gini," kata Kiran lagi.

Melihat reaksi Sadam yang masih terdiam, Luna akhirnya mengambil langkah mendekati Sadam. "Dam, dengerin kita dulu dong," kata Luna pelan sambil mencoba meraih tangan Sadam namun Sadam dengan cepat menyingkirkan tangan Luna.

"Apalagi yang harus gue dengerin dari kalian? Belum puas emangnya bohongin gue?" tanya Sadam ketus.

"Bukan gitu, Dam. Gue nggak maksud buat bohongin lo, gue cuma.."

"Cuma apa? Cuma nggak nganggep gue sahabat lo kan? Atau emang lo nggak pernah nganggep gue ada?" tanya Sadam masih dengan nada ketus kali ini ditambah dengan tatapan mata sinis ke arah Kiran.

"Gue selalu nganggep lo ada, Dam. Lo sahabat terbaik gue," kata Kiran sambil menahan air matanya.

Hati Sadam berdenyut nyeri saat mendengar kalimat terakhir Kiran. Ya memang selama ini memang hanya sahabat.

"Lo tau sendiri seberapa pentingnya lo di hidup gue, Dam. Gue mohon maafin gue. Gue nggak bermaksud bohongin lo," Kiran tak kuasa menahan air matanya lagi. Butiran bening itu mulai membasahi pipinya.

Sadam memejamkan matanya erat. Ia paling tidak bisa melihat Kiran menangis. Tapi kali ini egonya terlalu tinggi dan mengalahkan segalanya. "Bohong ya tetep aja bohong."

"Please percaya, Dam. Perjodohan itu berlangsung cepet banget, nggak nyampe sebulan sejak pertemuan gue sama Bank kita langsung nikah. Nggak ada yang tau tentang pernikahan gue selain keluarga gue dan keluarga Bank di Thailand. Awalnya Luna pun nggak tau," kata Kiran sambil melirik Luna. Luna langsung mengangguk-angguk dengan semangat saat Sadam meliriknya.

Younger HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang