Fake Story: 27

10 2 0
                                    

NO DRAMA

Mora mematikan ponselnya yang pada layarnya menampilkan berbagai universitas-universitas yang ia minati. Keputusannya sudah bulat. Ia akan melanjutkan studinya di Vancouver.

Tentu saja ia sudah membicarakan hal itu dengan kedua orangtuanya.

Dan untuk Brandon.. Ia sudah agak lama tidak menghubungi kekasihnya itu. Katanya, Brandon tengah sibuk-sibuknya mengurus festival universitas nya yang akan diselenggarakan beberapa minggu lagi.

Bahkan ia sudah lupa kapan terakhir kali ia menghubungi laki-laki itu.

"Rabu. Seinget gue Rabu lo kirim fotonya ke hp gue. " kata Tory sambil sesekali memakan potato chips.

Mora menghela nafas. "Bukan foto yang gue maksud Ry, tapi si Hani itu lo. "

"Hani? Why? "

"Kata Grace kan kemarin minggu Hani jenguk Rachel. " Mora kembali membuka suaranya. "Tapi ada yang aneh sama mukanya Grace waktu kita tanyain itu kemarin. "

"Kenapa tidak bareng sama kak Hani tadi kak? " Grace berjalan didepan Mora dan Tory yang akan menuju kamar Rachel.

Mora menoleh kearah Tory. "Hani? Dia jenguk Rachel? "

Grace mengangguk setuju. "Iya. Tadi kak Hani datang kesini sam— sendirian. "

"Sam? Siapa sam?" tanya Tory pada adik sahabatnya itu.

Grace kemudian tertawa garing tanpa nada yang malah membuat penasaran Tory. Karena tidak seperti biasanya Grace bertingkah seperti anak baik yang sering ia temui pada anak-anak pencari perhatian.

Biasanya dia selalu bersikap kurang ajar dan menyebalkan. Tapi tumben sekali Grace seperti ini.

"Kayak bohong gitu kan. " sahut Tory kemudian ketika ia kembali mengingat kejadian tempo hari yang lalu.

"Gue takut Grace kenapa-kenapa. " kemudian bersalah dan takut menjalari dirinya. "Rachel udah jadi korban dari orang gila itu. Entah kayak gimana lagi pertemanan kita ini. "

Tory mengangkat bahunya. "Maunya sih Hani temenan lagi bareng kita dan Rachel cepet sembuh.

"Gue mau saat kita semua lulus dari tempat ini, kita semua akan ngucapin selamat tinggal dengan senyuman. Bukan dengan benci atau marah. "

***

Detik berganti menit. Menit berganti jam dan jam berganti hari. Sudah lima hari ini dirinya, Jodi dan Ruben tidak berkumpul bersama membahas kasus-kasus itu.

Padahal dia sudah menemukan titik terang.

Kata Ruben, ia dan Jodi tengah gencar-gencarnya mengejar guru mata pelajaran dan meminta tugas tambahan guna memperbaiki nilai.

Apalagi Jodi yang sudah mempunyai banyak daftar alpa dan kotak kosong di daftar nilai ujian. Yah namanya juga Jordghi.

Dirinya juga sama seperti Jodi maupun Ruben. Tapi bukan karena nilainya jelek atau karena nilai sikap yang buruk, melainkan dia juga sibuk menambah wawasan dengan belajar di perpus.

Sudah lama sekali ia tidak mengunjungi tempat ini.

Sejak berteman dengan Ruben dan Jodi, ia semakin jarang menyindiri dan melamun. Bahkan ia juga merasa kalau ia merasa menjadi dirinya sendiri diantara kedua laki-laki itu.

Berbicara tentang mereka, ia juga kembali ingat dengan unknown. Walaupun dia tidak berulah, tapi ia tahu kalau unknown ini sedang menyiapkan rencana untuk membunuh mereka semua.

Tidak ada yang tahu si unknown ini adik kelas, teman seangkatan atau guru pun tetap tidak ada yang tahu.

'Take my hands now
You are the cause of my            euphoria 🎶

Euphoria 🎶

Take my hands now
You are the cause of my euphoria 🎶 '

Hani menghela nafas berat dan lantas mematikan pemutar musik itu. Pikirannya benar-benar sangat kacau.

Tidak mamanya, tidak ujian atau unknown adalah hal-hal yang terus membuatnya ingin menangis. Belum lagi tes ujian masuk universitas. Bisakah dia menghilang sebentar dari muka bumi ini?

Langkah kaki berat tiba-tiba masuk kedalam indra pendengarannya. Suasana hening dan tenang dari dalam perpustakaan tentunya semakin memperjelas siapapun yang keluar masuk ruangan ini.

Semakin dekat dan dekat yang malah membuat degup jantungnya semkain cepat dan tak beraturan. Kenapa dia menjadi takut seperti ini?

Masalahnya adalah karena tidak ada satu orang pun selain dirinya didalam perpustakaan ini. Dan sekarang, ia tengah duduk di sudut belakang perpustakaan.

Benar-benar posisi yang sempurna untuk sekedar ditakut-takuti.

"Ternyata lo benar disini kan. " langkah kaki itu kini telah berhenti, digantikan dengan suara ringan dan manis yang sangat ia kenal.

"Gue pikir lo lagi ada ditempat yang ramai atau apa, ternyata lagi ditempat sesepi ini. " katanya lagi kemudian.

Tawa halus dari orang itu sanggup membuat bulu kuduk Hani berdiri secara serempak. Duh, kenapa menjadi horor seperti ini?!

Suara gesekan kursi yang ditarik mundur, menyadarkan Hani dari pikiran melanturnya.

Hani mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. "Tumben lo sendirian Di? "

Gadis bernama Dian itu hanya menatap datar lama Hani dan sesaat kemudian tersenyum dengan sangat lebar sampai ke garis matanya. "Cuman lagi ingin aja. "

"Sekalian belajar lo Di. Daripada cuman diem bengong disitu, mending lo belajar bareng gue disini." ucap Hani peduli pada Dian yang hanya diam memperhatikan keadaan sekitar perpustakaan.

Satu garis pada dahi Dian dan naiknya satu alisnya menandakan kalau dia tidak suka dengan ucapan Hani. "Memangnya kenapa? Ada masalah dengan itu? "

Dan setelah itu Hani kembali merasakan degup jantungnya yang kembali berpacu dan juga ketakutan yang aneh.

****

❌🚫 DON'T COPY PASTE 🚫❌

Copyright © 2018 // by: yeusynovi // Mengandung hak cipta // Tidak diperkenankan menjiplak, memplagiat atau mengcopy sebagian atau seluruh alur cerita. //





No Drama (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang