Fake Story: 28

11 2 0
                                    

ALONE

Tenganya sudah terkuras habis untuk hari ini.

Setelah berjam-jam latihan soal dengan materi yang berbeda-beda dan tambahan jam pelajaran yang membuat kepala pecah, Hani harus akui kalau menjadi siswa tahun akhir adalah yang paling menyebalkan.

Bahkan guru-guru berlogat aneh itu tidak henti-hentinya mengoceh tentang materi dan nilai yang harus dikejar.

Dan tadi dia juga menangkap basah Mora dan Tory yang terang-terangan memlerhatikannya. Bukankah mereka sudah tidak menganggap dirinya seorang teman?

Ting!

Pesan singkat masuk kedalam ponsel gadis berponi itu dan menyadarkannya dari lamunan tidak jelasnya.

Eomma :
Bagaimana hari mu Hani~

Segaris senyum terbit diwajah Hani. Dengan lincah, jari-jari Hani mulai mengetikkan balasan pada mamanya.

Kang HaNi :
Uuu~ eomma, harusnya hani yang bertanya pada eomma.

Kang HaNi :
Hani baik-baik saja eomma.. Bagaimana kabar mama sendiri?

Eonni Ji :
Ya! Kang Hani! Kau sudah lama sekali tidak menghubungi kami yang disini!

Eonni Ji :
Aku benar-benar membencimu.

Kang HaNi :
Haha, maafkan aku eonni. Aku benar-benar sibuk saat-saat ini. Aku terus mengerjakan tugas sampai rasanya mau mati saja.

Kang HaNi :
Mama sudah jarang sakit kan Mal Geum eonni ?

Eonni Ji :
Kau tidak tahu seberapa perjuangannya kami yang ber-sma di korea. Kami benar-benar tidak bersenang-senang seperti kamj yang di Indonesia.

Eonni Ji :
Bertahanlah nona Kang. Kau akan kembali bersama kami sebentar lagi.

Eonni Ji :
Mama baik-baik saja. Tenang saja

Eonni Ji :
Ada eonni yang akan menjaga mama.

Perasaan tenang Hani akan mamanya kembali tenang. Kepercayaan Hani akan Mal Geum adalah kepercayaan seorang adik kepada kakaknya didalam keluarga.

Mal Geum sudah lama tinggal dan bekerja bersama keluarganya. Dan pastinya, Mal Geum tidak akan berkhianat padanya apalagi pada mamanya. Tidak akan pernah.

Pintu lift kemudian terbuka. Kaki Hani melangkah keluar bersamaan dengan dirinya masih terfokus pada layar ponselnya.

Tanpa sadar, seorang perempuan berkacamata bulat melewati Hani dengan tas ransel melekat di punggungnya.

Kaki yang berbalut sepatu berwarna merah itu hanya melangkah ringan melewati Hani yang tak memyadari kehadirannya yang tak diinginkan.

Hani terus berjalan menuju kamar apartemennya dan orang yang tak diinginkan itu masuk kedalam lift dengan mudah. Ia melepas kacamatanya dan memperlebar senyumannya yang tak sampai kemata itu.

Merasa diperhatikan, Hani menoleh dan menemukan sosok perempuan bertubuh kecil yang sangat ia kenali. Dan sedetik Hani menyadari siapa orang itu, disitulah pintu lift tertutup.

Ponsel yang ada digenggamnya jatuh, membentur benda keras dibawah sana.

Kepalanya mendadak pening dan sakit.

Semuanya mendadak berputar dan tubuhnya yang sudah lelah lantas jatuh terduduk dilantai berdampingan dengan  ponselnya.

Bukankah Mia masih dirumah sakit?

***

"Lo udah sadar? "

Pandangan kabur adalah pertama kali yang ia lihat saat membuka mata. Kemudian diikuti oleh denyutan kepala yang sakit bukan main lagi.

"Arrgh shit! Sakit sekali! "

Hani menjambak rambutnya sendiri dengan sangat kuat. Bukannya hilang, rasa sakit mematikan itu tetap menekan otot-otot kepalanya sampai rasanya ia mau mati.

Teriakan demi teriakan terus bergema memenuhi ruangan kecil itu.

Ia bingung. Sungguh bingung apa yang harus dilakukannya.

Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya mengalami hal seperti ini. Jikalau ada, pasti ibunya yang akan turun tangan langsung, bukan dirinya.

"Hani, Hani lo kenapa? Jangan buat gue takut Han. " seru Datsna sama kerasnya juga.

Hani menoleh dan menangis setelah melihat gadis itu. "Tolong bunuh gue Dat, rasanya sakit banget Dat kepala gue. Tolong bunuh gue Dat. "

Apa katanya?

Bunuh?

Dia gila?!

"Lo ngomong apaan sih Han? Lo mau mati? Jangan ngaco deh lo. " dengan segera, Datsna berlari dan menerjang gadis berponi itu.

Ia menahan tangan Hani yang terus memukul kepalanya tanpa henti. Ia harus melakukan sesuatu.

Tanpa aba-aba, Datsna lantas melayangkan tamparan keras pada pipi Hani sampai menimbulkan bunyi 'plak'.

Suara dentuman jantung yang tak teratur terus berkumandang sampai di telinga Datsna. Ia menatap tangannya sendiri yang memerah sehabis menampar Hani.

Ia melihat Hani tengah terkapar diatas ranjang miliknya dengan pipi merah dan rambut berantakan.

Setidaknya dia tidak berbuat gila seperti melukai dirinya sendiri.

Tubuh Datsna jatuh luruh ke lantai. Pandangan matanya kosong.

Kalau boleh mengaku, bukan Hani saja yang merasa gila akan hidupnya saat ini. Dia juga ikut merasakan gilanya dunia sampai rasanya ingin menyerah dan kabur.

Tapi pada kenyataannya dia tidak bisa kabur.

Mati.

Kau harus mati anak tak tau diuntung.

Sudah bodoh tak punya prestasi.

Nilai segini kau mau bawa kemana?

Punya malu tidak kau?!

Lebih baik aku membuang mu saja saat itu.

Dasar menyusahkan.

Kau akan ku jodohkan dengan laki-laki kaya raya.

Lihatlah Dat, kau harus menikah dengan orang seperti itu.

Memangnya kenapa dengan pria umur empat puluh lima?! Kau harusnya tau diri, masih bagus kalau ada yang mau dengan mu.

Menikah dengannya atau pergi dari rumah ini?

Mati saja kau sialan!

"Apa gue harus ngikutin kata dia? " Datsna melihat pergelangan tangannya dan tersenyum kecut.

Setidaknya tidak akan ada lagi orang lain yang ia rugikan.

Setidaknya tidak akan ada lagi orang lain yang ia rugikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

❌🚫 DON'T COPY PASTE 🚫❌

Copyright © 2018 // by: yeusynovi // Mengandung hak cipta // Tidak diperkenankan menjiplak, memplagiat atau mengcopy sebagian atau seluruh alur cerita. //

Vote and share this story. Hope u like it.

No Drama (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang