Fake Story: 32

6 2 0
                                    

(JODI. POV)

"Tapi yang paling parah bekas jahitan itu. Setau gue, bekas luka kayak gitu nggak mungkin jatuh atau kayak mana. Pasti ada yang ngelukain atau.."

"Memang dia yang ngelukain dirinya sendiri. " sambung Jodi datar.

***

Rasanya benar-benar aneh.

Menghadapi gadis aneh yang histeris tak jelas dan pingsan didalam lift, sungguh buat kepala gue pusing tak karuan.

Apalagi Hani yang terus-terusan genggam tangan perempuan histeris itu sambil berdoa. Mungkin dia takut perempuan itu kenapa-kenapa mungkin.

Sedangkan sohib ku lagi murung di sofa sebelah perempuan histeris itu tiduri. Sepertinya itu anak masih shock banget sama kejadian bertubi yang buat pikirannya kemana-mana.

Lagian juga, kenapa Ruben harus suka sama perempuan kelas atas seperti Jennifer. Kalo diibartin, Jennifer itu kayak putri dari kerjaan sedangkan gue sama Ruben kayak tukang kebun sama tukang cuci di kerjaan itu.

Pokoknya nggak banget deh.

Tapi gue yakin seratus persen atau kalo bisa seribu sekalian, si Jennifer anak bangsawan itu pasti suka juga sama kelas rendahan bernama Ruben itu.

Yah mungkin memang bukan takdirnya Ruben untuk pacaran sama putri raja kayak Jennifer gitu.

Dari jarak sekitar dua meter lebih, gue liat kelopak mata perempuan histeris itu mulai bergerak. Sedangkan area mulutnya juga udah kebuka seperti mau ngomong.

"Gue dimana? "

Serasa sinetron, gue langsung berdiri dari kursi yang gue dudukin tadi dan jalan kearah gadis sinetron ini. Matanya sudah terbuka sempurna, tapi kesadarannya masih di awang-awang.

Gue ngelirik kearah Ruben yang masih diem, natap kosong sudut meja sambil ngehela nafasa berulang kali. Ini seriusan Ruben? Anak alay yang lagi patah hati ini Ruben? Wah, cinta benar-benar merubah segalanya.

Perempuan yang namanya gue nggak tau itu mulai bangkit dari tidurnya dan di sadarin punggungnya ke badan sofa. "Han, gue lagi di rumah lo ya? "

Sejujurnya gue rada kasihan liat ini perempuan. Gue bisa liat di beberapa sudut mukanya, ada banyak bekas luka. Contohnya bekas jahitan di sudut dahi dan beberapa bekas berwarna merah yang buat gue merinding.

"Lo baik-baik aja kan Dat? "

Dat? Jadi nama perempuan itu Dat? Unik.

Gadis itu menggelengng. "Gue takut banget Han, sumpah Han."

Hani lantas menarik perempuan bernama Dat itu kedalam pelukannya dan kembali mengusap-usap kepala Dat dengan lembut. "Jangan takut Na, ada gue disini kok. "

Na? Jadi Datna atau Nadat? Sepertinya timingnya nggk bagus untuk ngomongin nama.

"Mereka gangguin gue Han. " serak dia sambil menangis parau. Sungguh mengoyakan hati mendengar suaranya yang seperti tersiksa.

Dengan lembut, Hani kembali membuka suaranya. "Gak ada yang gangguin lo Dats, gue bakal ngelindungin lo dari mereka yang gangguin lo "

Jadi Nadats? Heem, namanya boleh juga.

"Kalau boleh tau siapa yang gangguin lo? " si murung Ruben udah membuka suara untuk pertama kalinya dia duduk disana.

Kini ia menatap lurus Nadats yang merupakan tatapan yang jarang Ruben tampakan. Karena biasanya, Ruben pake tatapan jail yang buat orang kesal kalo liat dia. Termasuk gue.

Nadats sesenggukan, "Mereka naruh kucing mati sama ikan-ikan busuk di apart gue. Mereka.. " ucapannya terpotong karena perempuan itu kembali nangis.

"Mereka.. " katanya lagi mengulangi.

"Mereka—"

"Yaelah mbak cepet dikit. Dari tadi mereka-mereka terus, nggak bisa langsung ke intinya apa? " sahutku sebal.
Perempuan ini seperti mengulur-ulur waktu. Sialan. Padahal dua puluh menit kedepan, gue harus balik cepet ke kafe.

Bgst.

"Mereka mecahin piring-piring gue. Terus ada darah banyak banget berceceran di lantai sama kasur gue." jawabnya lagi setelah gue sentak dia tadi.

Dari balik mata gue, gue bisa liat Hani mengerutkan alisnya. "Cecer? Apa itu cecer Jod? "

"Semacam ditaburin gitu. " jawab gue singkat padat jelas, dan Hani cuma mengangguk singkat tanda kalo dia ngerti.

Ruben kembali bersuara. "Lalu alasan lo lari-lari di lorong tadi sambil nangis histeris itu kenapa? "

Perempuan yang gue kenal bernama Kang Hani itu menoleh sebal kearah Ruben dan menatapnya tajam. Serius gue nggak tau kenapa itu anak mendadak natap Ruben tajem.

"Lo ini Ben, orang lagi sedih juga, lo malah bilang 'kenapa' . " omelnya.

Gue sama Ruben cuma saling berpandangan. Ternyata dunia perempuan semeribetkan ini.

Untung gue nggak pernah pacaran.

"Yang buat gue histeris itu.. " perempuan itu menarik ingus-nya dalem-dalem, yang mana ingusnya itu udah kemana-mana terus lanjut ngomong lagi. "Foto gue dirobek-robek dan foto keluarga gue dibakar separuh. "

Kemudian ia tersenyum miring." Gue nggak peduli sih apa yang terjadi sama keluarga sialan itu. Gue nggak peduli. " dan senyuman itu berubah menjadi menyeringai. "Malah kalo mereka mati juga malah lebih bagus lagi . "

Gila. Ini bener-bener gila! Perempuan yang histeris beberapa jam lalu berubah jadi monster! Aliran darah gue mendadak meningkat kecepatannya yang mana detak jantung gue cepet banget.

Gue ngelirik kearah Ruben yang lagi sama tegangnya kayak gue. Gue lantas ngelirik Hani yang malah tersenyum kecil sambil tetap ngelus rambut itu perempuan.

Kok rasanya kayak lagi masuk kandang singa ya?

Kayak lagi dihadapin sama dua psikopat gila yang lagi punya aura untuk saling membunuh.

Dan kayaknya gue sama Ruben lagi ada di situasi tak menguntungkan, yaitu berada di sekitar dua perempuan ini.

***

❌🚫 DON'T COPY PASTE 🚫❌

Copyright © 2018 // by: yeusynovi // Mengandung hak cipta // Tidak diperkenankan menjiplak, memplagiat atau mengcopy sebagian atau seluruh alur cerita. //

No Drama (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang