Thalia memegang sebuah tote bag hitam berisi makanan yang baru saja ia beli di cafe terdekat. Ia sengaja menaruhnya di dalam tas itu agar tidak menimbulkan tanda tanya di depan para petugas jaga malam itu. Ketika ia masuk, Calvin sedang meringkuk sambil memeluk kedua kakinya. Raut wajahnya terlihat amat kesakitan.
"Bisakah kau menunggu sebentar? Ini tidak akan lama." Tanya Calvin dengan wajah pucat pasi karena menahan sakit. Hati Thalia terasa seperti tersayat. Ia meletakkan tasnya di meja lalu duduk di tempat tidur dan langsung mengelus-elus punggung pria itu.
Rupanya Calvin menyuruh perawat untuk membuka semua jendela. Gerimis baru saja turun. Sebersit pemikiran naif muncul di benak Thalia. Jika saja Calvin tidak sedang sakit dan mereka bertemu dalam kondisi normal, mungkin saat ini mereka sedang duduk berdua di apartemen Thalia sambil menikmati gerimis dan kopi hangat.
"Seperti apa rasa sakitnya?" Tanya Thalia pelan. Ia melihat bekas operasi pada kaki Calvin sudah berangsur pulih. Salep yang ia berikan beberapa waktu lalu pada Calvin telah memperlihatkan khasiatnya.
"Seolah kakiku sedang dipancang pada balok besi berkarat." Jawab Calvin."I have received your last chemo result. Kau mau dengar?" Tanya Thalia. Calvin tidak menjawab, ia takut.
"Well, semua berjalan bagus sejauh ini. Kalau tubuhmu kuat, sesuai rencana minggu depan kami akan jalankan operasi pertama untuk melihat apakah pengangkatan tumor sudah bisa mulai dilakukan. Kau masih ingat kalau ini akan memerlukan lebih dari satu kali operasi kan?"Calvin tetap terdiam. Wajahnya masih sepucat tadi. Thalia teringat waktu di London maupun ketika sudah di sini tempo hari, pria itu tidak banyak berkomentar ketika dokter sedang menjelaskan tentang penyakitnya. Di dorong rasa penasaran, Thalia menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Calvin yang masih dalam posisi meringkuk.
"Di awal diagnosa, aku sempat memberitahumu kalau kita punya waktu sebulan. Apa kau benar-benar mengerti maksudnya?" Tanya Thalia setengah berbisik. Calvin menggeleng pasrah. Mau tidak mau Thalia tersenyum sambil menahan tawa. Ia tidak tahu kalau jantung pria itu hampir berhenti berdetak ketika wajah mereka berdekatan tadi.
"Calvin, satu bulan itu adalah waktu yang kuberikan pada diriku untuk mengobatimu. Ibarat sebuah kue yang berisi harapan, satu bulan itu adalah waktu dimana kue itu benar-benar utuh dan dalam kondisi masih bisa dimakan. Lewat dari situ, masa kadaluwarsa akan mulai berlaku hingga akhirnya kue itu rusak secara alami. Seorang dokter yang berlomba lari dengan maut, tahu kapan upaya terbaiknya memiliki peluang sukses yang tinggi. Begitu juga sebaliknya. Dengan satu kondisi, pasiennya juga mau berlari dengan kecepatan yang sama."
"Apa yang terjadi setelah satu bulan itu?" Tanya Calvin akhirnya. Ia meraih tangan Thalia yang kini menganggur, kembali ke arah punggungnya. Calvin masih tidak habis pikir mengapa sekujur tubuhnya bisa merasakan sakit secara bersamaan meskipun sel-sel kanker itu hanya menyebar di sekitar kakinya. Thalia tertawa ringan sambil mengelus-elus kembali punggung pria itu.
"Hmm, bila tubuhmu tidak merespon sesuai dengan keinginanku, aku harus mengganti sepatuku dengan yang baru agar bisa membawamu berlari lebih cepat. Tentu saja akan tidak nyaman. Kau tahu sepatu baru sering membuat kaki lecet kan?" Jawab Thalia berusaha agar tidak menakuti sosok yang kini terlihat seperti anak kecil yang ketakutan di depannya. Sejujurnya ia tidak terlalu yakin apakah metafora yang ia berikan bisa mewakili kondisi Calvin yang sesungguhnya. Yang ia tahu, Calvin perlu dihibur, sekaligus mengetahui kebenaran soal penyakitnya.
Setelah Calvin agak baikkan, mereka berdua makan di tempat tidur.
"Sup ini benar-benar enak, kau harus menghabiskannya." Ujar Thalia sambil membereskan bungkus makanan karena dia sudah selesai duluan. Calvin mengangguk.Jam dinding menunjukkan sudah hampir pukul 10 malam dan Thalia harus kembali menyelesaikan pekerjaannya. Ia mengampiri Calvin yang sedang melamun sambil menatap hujan. Thalia duduk di depannya. Saat itulah pertama kali Thalia merasa kalau mereka sudah mengenal sejak lama, entah bagaimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Doctor (Completed)
RomanceAthalia Lexington (30), seorang dokter yang terbiasa hidup sendirian sejak dia memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya yang kaya raya di London. Setelah berkeliling ke berbagai negara sebagai relawan, akhirnya ia menetap di New York. Perempuan...