"Calv is that..." tanya Richard begitu Calvin masuk lagi ke dalam mobil.
"Uhuh..."
"But why, I mean how..." tanya Richard dengan gugup.
"I don't know. Something's not right here. Oh my God, should I ask her?" Ujar Calvin lebih kepada dirinya sendiri.Suara klakson mobil lain dari belakang mengejutkan keduanya. Mau tidak mau Calvin terpaksa membawa mobilnya keluar dari halaman rumah sakit. Ia parkir di depan sebuah cafe tak jauh dari sana.
Keduanya masuk dan memesan kopi. Baru saja akan duduk, Calvin melihat dua sosok yang ia kenal. Sama sepertinya, kedua orang itu juga terkejut ketika melihat Calvin dan Richard.
"Wait here, I'm going to find my answer."
"Calv, easy, okay?" Ujar Richard mengingatkan."Sir, Ma'am, how are you?" Sapa Calvin dengan wajah sedikit tegang sekaligus penasaran. Di depannya Louis dan Christy berdiri dan menyambut uluran tangan dari Calvin. Setelah itu ketiganya duduk kembali. Calvin melihat ada sebuah gelas berisi wine yang belum habis di minum. Ada sedikit noda lipstik yang begitu samar di salah satu sisinya.
Calvin menahan napasnya untuk beberapa saat. Dia tahu itu gelas siapa.
"Wow, sungguh tidak diduga kita bertemu lagi di sini. Bagaimana keadaanmu?" Tanya Louis dengan hangat.
"Jauh lebih baik. Aku sudah diijinkan keluar dari rumah sakit, hanya masih perlu menjalani beberapa terapi sebelum mereka menyatakan kalau aku benar-benar sembuh."
"Oh ya? Syukurlah!" Jawab Christy.
"Itu benar-benar berita bagus, Calvin!" Sambung Louis."I met her. What happened?" Lanjut Calvin tanpa basa-basi. Mukanya berubah menjadi sangat serius dalam hitungan detik.
"She lost some of her memories, but her doctors said it'll be temporary." Jawab Louis dengan nada menenangkan.Calvin memandang kedua orang di depannya tanpa berkedip. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
"Calvin, percayalah, kami ingin memberitahumu ketika ia sadar. Tapi situasi saat itu benar-benar buruk. Dia kehilangan hampir 4 tahun memori dalam hidupnya. Kami harus sangat berhati-hati untuk membantunya mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Dan semuanya itu harus ia lalui di atas tempat tidur dan kursi roda. Dia sempat hampir gila, Calvin..." Christy mengambil sehelai sapu tangan karena air matanya mengalir."Kami juga terus berkomunikasi dengan kedua orangtuamu. Mengingat kondisimu yang juga belum memungkinkan, kami sepakat untuk menunggu. Walaupun sudah banyak kemajuan, tapi hingga hari ini dia masih belum mengingat apapun tentang St. Claire. Ia bahkan belum ingat kalau dia pernah bekerja di New York. Psikiater menyarankan kami untuk menunggu sedikit lagi hingga kondisi emosionalnya lebih stabil. Dia sering menangis tanpa sebab, dan itu membuat kami benar-benar khawatir." Sambung Louis lagi.
Calvin mengepalkan kedua tangannya. Kepalanya tertunduk lesu. Bahkan kedua orangtuanya mengetahui hal ini dan tidak memberitahunya sama sekali.
"I'm really sorry, but I have to go."
"Calvin..." panggil Louis, namun tak di hiraukan."Well?" Tanya Richard. Bukannya duduk, Calvin terus berjalan melewatinya.
"You stay here. I'm going to get my girl back." Jawab Calvin dengan sorot mata menakutkan. Richard terkejut dan langsung berdiri mengejar. Ketika sudah di luar, ia menahan bahu Calvin dari belakang.
"Whoa, easy mate! What's going on? You know what, let's talk in the car, I'm coming with you.""God, this is bad..." ujar Richard setelah mendengar penjelasan Calvin. "Stop the car."
"What?" Tanya Calvin.
"Dude. What are you going to say to her? Just stop the car. We need to talk about this carefully. Stop the car, Calvin." Jawab Richard tegas. Dengan penuh rasa jengkel akhirnya Calvin menurut. Mobil mereka berhenti di sisi jalan."Calvin, we're no longer talking about your woman here. As far as she knows, you're a complete stranger to her, do you understand?"
"Damn it!" Calvin meninju pintu mobil dengan satu tangan.
"Ayo kita pulang dulu. Calv, kau perlu memikirkan ini semua dengan sangat hati-hati. Dan ingat, kau masih belum boleh banyak bergerak."
"I miss her. I really miss her." Jawab Calvin sedih.
"I know, buddy. We miss her too..."Setelah beberapa perdebatan dengan kedua orangtuanya mengenai kondisi Thalia, malam itu Calvin berbaring di kamarnya sambil membaca beberapa dokumen berisi laporan dari perusahaan yang tadi siang diletakkan oleh ayahnya di atas tempat tidur.
Orangtuanya menyuruh agar ia tinggal kembali bersama mereka setidaknya hingga kakinya benar-benar pulih. Calvin mengulang apa yang sudah ia baca. Dia tidak bisa berkonsentrasi.
"Who am I kidding, I want to see her." Ujar Calvin sambil bangkit berdiri. Ia meraih mantel dan kunci mobilnya."Dinner was really good, thanks, Edward." Ujar Thalia sebelum turun.
"Wait, let me." Jawab Edward dengan sigap keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Thalia. Wanita itu tertawa ringan.
"Thank you."
"Do you really have to go back to work?"
"Unfortunately yes, I have to. Thank you..." jawab Thalia. Ia maju dan mengecup pipi Edward dengan sopan. "Goodnight."
"Goodnight, Thalia."Langkah Thalia terhenti ketika sudah berada di dalam lobby rumah sakit yang sudah sepi malam itu. Ada seorang pria tinggi sedang berjongkok perlahan di samping salah satu pilar gedung. Pria itu menunduk dan memeluk lututnya. Thalia menoleh ke sekeliling untuk mencari sekuriti, tapi tidak ada. Setelah satu helaan napas berat ia berjalan mendekat.
"Excuse me, Sir, are you okay?" Sapa Thalia. Hidungnya mengendus wangi parfum yang sangat familiar, tapi sudah lama tidak diciumnya. Pria itu menoleh dan menatapnya dengan pandangan terkejut. Ia berdiri lagi perlahan-lahan, sama seperti ketika dia mencoba berjongkok tadi. Refleks Thalia memegang sebelah lengan pria itu untuk membantu menahan tubuhnya. Ketika melakukan itu tak sengaja Thalia menatapnya dari dekat untuk beberapa detik.
"Ah, Anda yang tadi siang hampir menabrak saya kan?" Tanya Thalia sambil tersenyum ramah. "Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu tidak menjawab. Hanya menatapnya. Pandangannya terlihat sedih.
I know that eyes, batin Thalia terkejut. Seperti sedang diingatkan pada sesuatu yang sangat penting, tapi sudah lama. Lama sekali.
"Ah, nothing. Thank you." Suara pria itu membawa Thalia kembali dari lamunannya. Pria di depannya memberi salam sambil menunduk dan mulai berjalan pelan melewatinya.
I know him. I know this perfume. I know that eyes. I know him.
"Wait." Panggil Thalia. Langkah pria itu terhenti dan ia berbalik."Kita pernah bertemu kan?" Tanya Thalia dengan pandangan menyelidik. Sepasang mata di depannya kini terlihat gugup. Thalia bergerak maju lima langkah hingga mereka berdiri berdekatan."
"My name is Athalia. May I know your name?" Ujar Thalia sopan sambil mengulurkan tangan. Uluran itu dibalas setelah diam beberapa saat. Mereka saling berpandangan, hingga pria itu menjawab.
"Calvin. My name is Calvin."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Doctor (Completed)
RomanceAthalia Lexington (30), seorang dokter yang terbiasa hidup sendirian sejak dia memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya yang kaya raya di London. Setelah berkeliling ke berbagai negara sebagai relawan, akhirnya ia menetap di New York. Perempuan...