Part 33 - One Chance

15.4K 1.1K 5
                                    

Elena terbangun oleh suara-suara samar yang terdengar dari beberapa orang petugas medis di UGD. Kepalanya terasa sakit dan tubuhnya seperti tidak memiliki tenaga sama sekali.

"Madam? Anda sudah sadar?" tanya Aditi dari sampingnya. Wajahnya terlihat panik.
"Calvin?"
"Mr. Calvin sudah berada di kamar rawat inap, namun masih belum sadarkan diri. Miss Leona yang menemaninya di atas. Madam, sebaiknya Anda berbaring sebentar lagi..." tambah Aditi semakin cemas melihat Elena berusaha melepas infus dari tangannya.

"Aku tidak apa-apa. Ayo kita lihat Calvin. Oh ya, astaga bagaimana dengan Thalia?" sahut Elena lagi setelah kesadarannya benar-benar terkumpul.
"Suami saya sedang menuju ke sana. Saya belum mendapat kabar lebih lanjut."
"Ya Tuhan..."

James dan Richard sudah berada di dalam pesawat ketika sebuah pesan singkat dari Leona masuk ke handphone keduanya.
"What?!" Ucap keduanya bersamaan lalu saling pandang dengan tatapan tak percaya.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Richard. "Ya Tuhan, ini benar-benar berita buruk."
"Richard, kau punya nomor telepon orangtua Thalia?" Tanya James.

London

Setelah lelah karena hampir satu jam menangis, Christy duduk menatap beberapa orang pelayan yang sedang sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam koper dengan tatapan kosong. Beberapa jam yang lalu ia dan suaminya baru saja tiba dari Paris. Mereka masih berada di bandara ketika mereka mendengar berita bahwa putri mereka mengalami kecelakaan di India. Hingga kini suaminya masih sibuk menghubungi beberapa orang dari ruang kerjanya.

"Christy?" Panggil Maggie yang entah sudah kapan sudah duduk di sebelahnya. Kedua mata wanita tua itu masih sembab karena menangis. "Ayo, ganti pakaianmu."

"Maggie, that kid, what the hell is she doing in India..." sahut Christy setengah menerawang, tatapannya masih kosong.
"Itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah kau segera menganti pakaianmu, agar kalian bisa segera berangkat." Jawab Maggie. Christy memejamkan keduanya matanya yang basah kembali.
"Semuanya sudah siap?" tanya Louis yang baru saja datang.

Di sebuah kastil lain, tak terlalu jauh dari kastil kediaman Lexington, seorang pria muda sedang berdiri di ruangan kerja bersama ayahnya. Keduanya sedang menghisap cerutu sambil bertukar pikiran tentang pekerjaan. Percakapan mereka terhenti ketika telepon di ruangan itu berdering.

"Dad? Siapa itu?" tanya Edward ketika melihat raut wajah ayahnya berubah menjadi serius setelah menutup teleponnya.
"Louis Lexington. Ia membatalkan janji denganku. Putrinya baru saja mendapat kecelakaan dan mereka akan berangkat untuk melihatnya." Jawab Clark pelan.

"What? When? How? Where is she now?" tanya Edward panik tanpa jeda.
"Ia tidak memberitahuku." Jawab Clark lagi. Sedetik kemudian Edward langsung berjalan keluar dan merogoh handphone dari saku celananya.
"Edward, this is no longer our business. Edward?!"

"Hi, it's me. I need you to check on something. Yes, immediately." Ucap Edward sambil mengambil kunci mobil dan segera melaju dengan kecepatan tinggi.

"I'm sorry for interupting, but allow me to ask you one question. Why do you even want to marry me?"

Kalimat itu masih terngiang jelas di telinga Edward. Itu adalah kalimat yang belum pernah ia dengar dari wanita manapun sebelumnya. Dan ia tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut seorang wanita asing yang belum dikenalnya sama sekali.

Semua berawal dari map yang disodorkan oleh ayahnya beberapa bulan yang lalu. Edward adalah seorang anak tunggal. Kedua orangtuanya telah bercerai sejak ia masih remaja dan hak asuh jatuh pada ayahnya.

Meski demikian orangtuanya tetap saling berkomunikasi dengan baik dan Edward diberi kebebasan untuk mengunjungi ibunya kapanpun ia mau. Hanya saja, perceraian tetaplah sebuah perceraian. Malam di mana ibunya angkat kaki dari kediaman mereka, adalah malam di mana Edward kehilangan kepercayaan pada apapun yang berujung dengan pernikahan.

Oleh karena itulah, map yang diberikan oleh ayahnya tetap tergeletak di atas meja kerjanya. Hingga suatu sore seorang wanita datang dan mengetuk pintu. Sialnya, sore itu ia sedang tidak sendiri. Ia sedang bersama Helena, partner kerjanya yang baru saja tiba dari Austria. Wanita itu tiba di depan pintunya, saat Helena yang berpakaian terbuka sedang duduk di meja Edward.

"Ah, excuse me. I want to meet Mr. Moreno." Sapa wanita itu dengan tatapan sedikit salah tingkah. Wajahnya polos seperti malaikat tapi ia juga terlihat sangat cantik dan dingin seperti seorang dewi perang, hingga kini pun Edward masih sulit menggambarkannya dengan kata-kata. Itu adalah wajah paling rumit yang pernah ia lihat. Dan ia bertubuh sangat tinggi, bahkan hampir menyamai tinggi Edward sendiri.

"Yes, come in please. I'm Edward Moreno. What can I help you?" sahut Edward sambil berjalan mendekat. "Helena, will you excuse us for a moment?"
"Of course, babe. I'll wait upstairs." Jawab Helena santai. Di lantai atas ada sebuah ruang meeting yang biasa dipakai keduanya untuk berbincang-bincang. Edward mengangguk.

"Come on in, please sit down.." sambung Edward lagi sambil mengambil sebotol wine dan menuangnya ke dalam dua buah gelas. "May I know who you are, miss?"
"I see." Jawab wanita itu sambil meneguk gelasnya. Gerakannya terlihat sangat elegan, nyaris membuat Edward merasa terintimidasi. Dan ini adalah pertama kalinya seorang wanita bisa membuatnya merasa sedikit takut.

"Pardon me?" tanya Edward lagi. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ia menyerahkannya pada Edward. Itu adalah sebuah undangan pernikahan. Namanya tertera dengan jelas di atas undangan itu.

Mendadak ingatannya menjadi jelas. Ia pergi mengambil sebuah map dari laci meja dan mengeluarkan isinya. Undangan yang sama, dengan beberapa berkas lainnya dalam satu map. Detik itulah ia sadar, ia telah melakukan kesalahan besar.

"Mr. Moreno..."
"Just Edward, please, Athalia." Sahut Edward pelan. Ia melihat wanita itu dengan tatapan merasa bersalah. Sepertinya wanita itu menangkap maksudnya.
"Fine. Edward, take your time as much as you want, later. I just come to say, I can't do this. I'm really sorry, but I really can't. I will really appreciate if you help me to tell our families about this."

Edward tidak menjawab wanita itu. Keningnya berkerut. Ia bisa saja mengangguk dengan cepat dan masalahnya akan selesai. Tapi hatinya merasakan ada sesuatu yang salah kalau ia membiarkan wanita ini pergi begitu saja. Sebelum ia sempat berbicara, wanita itu sudah berdiri dan berjalan menuju keluar.

"I have to go. Thank you for the wine." Pamitnya sopan. Edward segera bangkit dan mengikutinya.
"Wait, Athalia. Seriously, you don't give me any chance to speak..."
"Edward?" Panggil Helena dari tangga. Edward tidak menjawab. Pandangannya tidak beralih. Ia bisa melihat senyum sinis walau amat samar dari wajah wanita yang hingga saat itu ia percaya masih merupakan calon istrinya.

"I'm sorry for interupting, but allow me to ask you one question. Why do you even want to marry me?"

Pertanyaan itu membungkam mulutnya. Sebelum ia sadar, wanita bermata indah itu sudah lenyap dari pandangannya. Entah mengapa ia merasa seperti baru dimarahi karena melakukan suatu kesalahan. Helena bertepuk tangan sambil tertawa dari atas tangga.
"Apa yang sudah kau lakukan? Aku baru tahu kalau seorang Moreno bisa ditolak."
"I did a mistake, a big one." Gumamnya pelan.

Beberapa hari kemudian Edward dan ayahnya datang ke kastil keluarga Lexington, namun sayangnya wanita itu telah kembali ke New York. Saat itulah Edward diberitahu kalau calon istrinya itu telah memiliki kekasih di New York. Keluarga Lexington telah meminta maaf secara resmi pada keluarganya.

"Jangan marah padaku, nak. Tapi kali ini kau benar-benar telah melakukan suatu kebodohan. Aku belum pernah menyuruhmu berkenalan dengan seorang wanita sebelumnya. Kau hidup dengan begitu bebas, aku tidak pernah melarangmu. Seharusnya kau bisa menilai, kalau sampai aku menyerahkan sesuatu padamu, itu artinya aku sudah menyiapkan yang terbaik dari semua yang terbaik. Aku masih tidak percaya kau belum membuka isi map itu." Ujar ayahnya sambil geleng-geleng kepala di dalam mobil ketika mereka pulang.

"I know, Dad. I know." Jawab Edward pelan.
"I can't help you, my boy. He is James Harding's son. James and Elena is my old friend." Sambung ayahnya lagi.

Edward pernah dikenalkan pada Calvin Harding dan keluarganya di sebuah pesta kebun. Namun pertemuan itu tidak berlanjut menjadi pertemanan karena keduanya sangat sibuk. Wanita itu tidak salah memilih. Bahkan hanya dengan sekali bertemu pun Edward bisa menilai bahwa Calvin adalah pria yang baik. Bahkan sebenarnya ia merasa cukup iba ketika mendengar kondisi Calvin pasca kecelakaan.

"Kau sudah menemukannya? India? How is she now? Apa yang terjadi? Baiklah. Kirimkan aku alamatnya." Sahut Edward pada sekretarisnya di handphone.
"Oh God, I hope you're okay..."

My Beautiful Doctor (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang