Salah satu pasien Thalia mengalami krisis malam itu, sehingga ia harus mengambil tindakan pembedahan saat itu juga. Thalia menjadi orang terakhir yang keluar dari ruang operasi. Jam dinding di koridor lantai bedah saraf sudah menunjukkan hampir pukul 1 malam ketika Thalia melewatinya.
Keluarga pasien masih ada di ruang tunggu. Thalia menemani mereka sebentar sebelum pamit kembali ke ruangannya. Ketika pintu lift terbuka, sesuatu menahan kakinya untuk keluar. Ia menekan tombol lantai 21 dan pintu lift tertutup kembali. Seluruh tubuhnya terasa pegal luar biasa. Ia butuh sesuatu untuk membuat semangatnya kembali.
"Hai Jeanne, Theo, kalian yang bertugas malam ini?" Sapa Thalia sambil berjalan pelan memasuki counter resepsionis. Theo adalah petugas keamanan di lantai itu. Keduanya sedang duduk menonton siaran berita malam di televisi dekat mereka. Jeanne tersenyum dan mengangguk.
"Belum pulang, Dok?" Tanya Jeanne.
"Mau saya buatkan kopi, Dokter?" Sambung Theo.
"No, thank you. Bagaimana kabar para majikanku? Apa mereka aman-aman saja malam ini?" Tanya Thalia sambil mengambil salah satu chart pasien. Ia membaca chart milik Calvin."Aman, wait, tadi Mr. Harding bertanya apa ia diperbolehkan untuk minum obat tidur."
"Oh ya? Lalu?" Tanya Thalia. Jeanne menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Good girl. Hubungi perawat di dalam, bilang aku akan masuk." Jawab Thalia sambil mengembalikan chart dan berjalan ke arah ruangan Calvin."Is he sleeping?" Tanya Thalia setengah berbisik pada perawat yang bertugas di kamar Calvin. Perawat itu mengangguk.
Thalia mengamati sekeliling sebelum masuk ke kamar, sepertinya orang tua Calvin tidak menginap malam ini. Ia menahan nafasnya ketika melangkah mendekati tempat tidur Calvin. Entah mengapa ia melakukan itu, padahal Dokter selalu punya berjuta alasan untuk menjenguk pasiennya. Thalia mengamati pria itu dari ujung kaki hingga kepala.
Surga selalu memiliki misteri, pikir Thalia. Untuk membiarkan sosok sesempurna ini berbaring tidak berdaya, sungguh tidak adil. Thalia berjalan tanpa suara, mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu dingin, dan menaikkan selimut hingga menutupi dada Calvin. Setelah itu ia berbalik pelan menuju keluar. Baru dua langkah, suara Calvin mengejutkannya.
"I can't sleep, Alea. Neither last night, nor tonight." Ucap Calvin lemah. Thalia berbalik kembali. Calvin sedang menatapnya.
"Allow me..." sahut Alea perlahan sambil menaikkan selimut yang menutupi kedua kaki Calvin. Ia ingin melakukan ini sejak tadi siang, tapi tidak di hadapan para koleganya. Kedua kaki Calvin terluka begitu parah akibat kecelakaan waktu itu. Gips yang seharusnya masih terpasang, terpaksa harus dilepas agar Calvin bisa dengan mudah menjalani berbagai terapi.
Luka-luka bekas operasi masih terlihat belum sembuh dengan sempurna. Thalia menaikkan tempat tidur agar Calvin dalam posisi setengah duduk, kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan satu wadah kecil berisi salep. Ia mengambil sedikit di jarinya dan mengoleskannya perlahan-lahan di bekas operasi Calvin.
"Aku pernah jadi relawan selama 2 bulan di India, dan mengalami tabrak lari sehari sebelum aku kembali ke sini. Untungnya tidak parah, tapi lututku harus dijahit karena luka. Mereka membuatkanku obat ajaib agar lukaku cepat sembuh." Ujar Thalia sambil tersenyum dan menunjukkan wadah salepnya.
"Obat ajaib?" tanya Calvin penasaran.
"Mereka bilang ini ramuan herbal, resep turun temurun yang hanya diketahui oleh orang asli di sana. Tadinya aku tidak percaya, tapi setelah kuperhatikan, lukaku sembuh sebelum hari ke empat. Bahkan hampir tidak berbekas. Dan ajaibnya, mereka bilang ini tidak akan pernah kadaluwarsa.""How?" Tanya Calvin sambil tertawa ringan.
"Entahlah. Aku sudah pernah mencoba untuk meng-ekstrak kandungannya di laboratorium, tapi ada berapa komponen yang tidak aku ketahui. Kau tahu, bahkan buku kedokteran paling hebat sekalipun tidak akan pernah bisa memuat semua jenis tumbuhan obat yang ada di muka bumi. Akan selalu saja ada misteri yang belum terpecahkan oleh kemampuan manusia." Jawab Thalia sambil menutup wadah itu dan meletakkannya di meja kecil di samping Calvin. "Untukmu, mulai besok pakaikan setiap malam sebelum tidur." Sambung Thalia. Ia menurunkan kembali selimut untuk menutupi kaki Calvin.
"Kau tahu aku akan kesulitan melakukannya sendiri."
"Aku akan bilang nanti pada perawatmu."
"Tak bisakah kau saja?" Tanya Calvin. Thalia tidak menjawab, ia bangkit berdiri dan tersenyum.
"Kau harus tidur. Kami akan membangunkanmu empat jam lagi, dan percayalah kau akan menyesal kalau tidak tidur sekarang. Kau perlu menyimpan tenagamu sebanyak yang kau mampu."Thalia tidak sadar Calvin sedang memperhatikannya dengan begitu seksama.
"Kita pernah bertemu kan?" Tanya Calvin. Thalia menoleh. Calvin memegang lengan kirinya erat. "Benar, aku yakin kita pernah bertemu sebelum di London." Ujar Calvin lagi, lebih kepada dirinya sendiri. Pandangannya masih tak lepas dari wajah Thalia.
"Oh ya? Kapan?" Tanya Thalia terkejut.
"Aku tidak ingat..." jawab Calvin pelan sambil melepas genggamannya."Mr. Calvin, you have to sleep now." Perintah Thalia lagi. Sebelum ia sempat mengembalikan posisi tempat tidur Calvin ke posisi tidur, Calvin membuka selimutnya dan menarik tangan Thalia sampai wanita itu terduduk dan kepalanya ikut bersandar di bantal yang sama, tepat di sebelahnya. Sebelum Thalia sempat membuka mulutnya, Calvin bergeser dan menyandarkan kepalanya di pundak Thalia. Ia memejamkan mata.
"Aku akan menyerap sedikit energi-mu, Alea. Aku benar-benar berharap kau sudah makan hari ini. Kau terlihat sedikit lelah."
Thalia terdiam. Ia sadar telah melakukan kesalahan. Tidak boleh seperti ini.Belum ada setengah jam, Calvin sudah tertidur pulas. Thalia memutuskan untuk tidur di sofa di samping Calvin. Ia mengambil sehelai selimut lain dan berbaring sambil menatap wajah di depannya sebelum akhirnya ikut tertidur.
Hidung Thalia terbangun terlebih dahulu sebelum kedua matanya terbuka. Ia mencium aroma teh segar dan tersenyum.
"Good morning, Doc.." sapa sebuah suara pelan. Thalia tersadar dan mengusap kedua matanya. Ia bangun sambil melirik jam tangannya. Matanya langsung terbuka lebar. Seharusnya dia hanya tidur 3 jam, bukannya 5 jam. Di depannya Calvin sedang duduk sambil membaca koran."Tenanglah, dokter yang lain belum ada yang datang ke sini. Aku suruh perawat membuatkan teh untukmu. Aku ingin membelikanmu sarapan, tapi aku takut perawat itu akan mengomeliku." Ucap Calvin ringan.
"Itu karena mereka semua bekerja di bawah perintahku. Tak akan ada yang bisa datang kemari tanpa seijinku." Jawab Thalia pelan sambil mengumpulkan kesadarannya dan menghirup aroma teh. Calvin tertawa ringan.
"Aku tidak tahu harus bangga atau justru takut padamu." Sahut Calvin. Ia masih sulit percaya wanita dengan suara lembut dan elegan di depannya ini bisa memegang posisi setinggi itu. Suaranya bahkan jauh dari kata menyeramkan untuk memerintah apalagi mengintimidasi seseorang.
Sedikit banyak Calvin mengetahui betapa menakutkannya memanjat tangga sosial di dunia medis dari adik perempuannya yang kebetulan juga seorang dokter. Ketika baru pertama kali bekerja, hampir setiap minggu Leona mengeluh tentang senior-senior yang menyebalkan di tempatnya bertugas.
"Aku harus turun. Bagaimana keadaanmu pagi ini?" Tanya Thalia. Ia berdiri di depan Calvin dan memeriksa denyut nadi, suhu tubuh, sisa infus, dan memegang kaki kiri Calvin perlahan?
"Sakit?" Tanya Thalia. Calvin mengangguk.
"Baiklah, dalam skala 1-10, berapa?"
"Hmm...6?" Jawab Calvin tidak yakin. Thalia mengangguk dan menuliskan sesuatu dalam chart yang tergantung di kaki tempat tidur."Kau sungguh bisa bertahan hanya dengan tidur 3-5 jam sehari?" Tanya Calvin. Thalia tersenyum. "Wah, tak heran kau bisa jadi sehebat ini." Ia kehabisan akal, bagaimana wanita itu tetap terlihat begitu menawan hanya dengan tidur di sofa beberapa jam.
"Tentu saja aku tidak bisa. Aku akan cari waktu tambahan untuk tidur nanti. Tidak ada dokter yang diijinkan masuk ke ruang bedah jika hanya tidur 3 jam. Itu sama saja dengan membunuh pasien." Jawab Thalia sambil mendekatkan meja dorong berisi sarapan yang sudah dibawakan oleh perawat.
"Makan sampai habis ya. Jangan coba-coba membuangnya, aku akan tanya perawat nanti. Kau bisa kutinggal kan?"
"Kapan kau kesini lagi?" Tanya Calvin sedikit terburu-buru.
"Lebih cepat dari yang kau inginkan." Jawab Thalia sambil spontan memegang sebelah pipi Calvin. Ia terkejut, dengan jawabannya, juga dengan tindakannya.Di depannya, Calvin ikut terkejut. Ketika Thalia menarik tangannya, Calvin justru menarik pinggang Thalia hingga membungkuk di hadapannya dan langsung memeluk wanita itu. Aroma parfum ini, Calvin mulai menghapalnya.
"Aku akan berikan sedikit energi untukmu, karena kau hanya tidur 3 jam." Ucap Calvin pelan."Calvin?" panggil Thalia. Pria itu tidak menjawab. Masih memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Doctor (Completed)
Roman d'amourAthalia Lexington (30), seorang dokter yang terbiasa hidup sendirian sejak dia memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya yang kaya raya di London. Setelah berkeliling ke berbagai negara sebagai relawan, akhirnya ia menetap di New York. Perempuan...