Dear Guardian Angel,
I know you're there...I'm calling you...
Please protect her...
Like I'm always protected by you...Siang itu Thalia terjebak dalam kemacetan di sebuah jalan raya yang tidak ia hapal. Tadi pagi dia meminjam mobil Amarya untuk pergi ke sebuah rumah sakit dan mendaftarkan Calvin agar diperiksa dengan MRI scan. Mohan baru bisa datang siang hari karena paginya ia harus mengantar putranya ke suatu tempat.
Thalia harus melihat dengan jelas apakah obat yang diberikan Amarya berdampak baik atau buruk. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui MRI. Amarya telah menghubungi dokter kenalannya di rumah sakit itu untuk membantu mereka.
Sambil mengamati lampu merah yang tak kunjung berganti warna, Thalia mencoba mengingat-ingat kembali jalan pulang ke rumah. Entah mengapa GPS yang dipasang di mobil Amarya tidak berfungsi.
Tidak terasa sudah seminggu berlalu sejak mereka membawa Calvin kabur melintasi benua lain. Pria itu sudah berhasil melewati treatment tahap pertama kemarin dengan keringat dan cucuran air mata. Ia dan Amarya memberi waktu 4 hari bagi Calvin untuk beristirahat dari pengobatan, sekaligus melihat dampak yang diberikan.
Masih segar diingatannya malam-malam ia menahan diri untuk tidak menangis di hadapan pria itu. Beberapa kali Thalia harus berpura-pura keluar dari kamar hanya untuk memberi kesempatan pada Calvin agar bisa menangis dengan puas. Walaupun disaat yang bersamaan ia juga menangis di luar rumah.
Terkadang di malam hari tanpa sadar Calvin mencengkram tangannya dengan begitu kuat karena menahan sakit, hingga berwarna kebiruan keesokan harinya. Untungnya Thalia membawa beberapa buah baju berlengan panjang, sehingga memar-memar bekas cengkraman itu tidak terlihat. Bahkan hari ini juga ia terpaksa harus memakai baju lengan panjang di tengah teriknya cuaca di Pune.
Beberapa hari yang lalu Amarya menyarankannya untuk mencari kesibukan sampingan dengan berkerja di sebuah apotik tradisional milik kerabatnya. Apotik itu hanya berjarak 11 rumah dari tempat tinggal mereka.
Sejujurnya Thalia memang membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya pada hal lain. Hanya saja ia masih belum yakin. Ditambah James dan Richard masih belum kembali dari London sejak beberapa hari yang lalu. Leona juga sepertinya harus kembali ke London dalam beberapa hari lagi.
Lamunan Thalia terusik oleh suara klakson dari mobil-mobil yang berada di belakangnya. Ternyata lampu sudah berganti menjadi hijau. Ia segera menginjak gas dan melaju kembali.
Setelah beberapa tikungan, Thalia mulai sadar kalau dia sudah benar-benar tersesat. Ia berhenti di pinggir jalan dan menyeberang ke sebuah toko kecil. Matanya mencari sosok yang mungkin bisa membantunya menunjukkan arah pulang ke rumah.
Untungnya ada seorang wanita paruh baya yang kebetulan bisa sedikit berbahasa Inggris. Walaupun sulit dimengerti, namun beberapa saat kemudian akhirnya Thalia bisa menangkap penjelasan wanita itu.
"Perlu bantuan?" Leona datang menghampiri Calvin yang sedang berusaha membuat segelas jus dingin. Hari itu udara terasa lebih panas dari biasanya dan dia sudah bosan di kamar. Terlebih lagi Thalia sudah keluar sejak pagi.
Leona dan ibunya asyik membantu Aditi merawat kebun. Tidak ada yang bisa diajak bicara, semua buku di kamar juga sudah dia baca.
"Tidak. Aku bisa membuatnya sendiri. Kau mau?"
"Boleh. Thalia belum pulang?"
"Belum. Baiklah, kalau begitu aku akan buat jus untuk kita semua." Jawab Calvin. Ia mengambil 6 buah gelas kaca dari kabinet di atas kepalanya. Gelas terakhir yang ia tarik terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai."Heyyy... are you okay?" tanya Leona kaget. Dia berjalan ke arah Calvin yang hanya terdiam menatap serpihan kaca di kakinya.
"Leona...Alea... Alea..." ucap Calvin beberapa saat sebelum pandangannya menggelap. Dada dan kepalanya terasa seperti dihantam batu. Mengapa bisa ada takdir sesedih ini, batinnya sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Dia sempat mendengar handphone-nya berbunyi dan suara Leona berteriak memanggil ibunya, lalu semua berubah menjadi kegelapan yang dingin.
Thalia masih terduduk diam dan menunduk di dalam kursi mobilnya. Sesaat tadi kepala dan sekujur tubuhnya terasa luar biasa sakit. Mungkin karena udara panas dan dia belum makan apapun sejak pagi. Ketika akan menyalakan mesin mobil, ia tercengang dengan pemandangan di depannya.
Itu rumah Amarya. Thalia mengedip-ngedipkan matanya. Ia tidak salah lihat, itu rumah Amarya. Bukan rumahnya yang sekarang, tapi rumah lamanya yang ada di pusat kota.
"Mengapa aku bisa ada di sini? Aku hapal betul jalan ke sini, tapi rasanya tadi aku sedang di..." Ucapannya pada diri sendiri terhenti ketika dia melihat seseorang keluar dari dalam rumah itu. Dengan gerakan sigap Thalia melepas sabuk pengaman dan melompat keluar dari dalam mobil.
"ZIA???? KAK ZIA????" Panggilnya tidak percaya. Ini benar-benar di luar akal sehatnya. Meski begitu dia tetap datang mendekat untuk memastikan.
"Thalia? Sedang apa kau di situ? Kemarilah.""Kak Zia..." Thalia mencubit tangannya setelah berdiri tepat di hadapan Zia. Setelah itu dia meraba pundak Zia. "Ini aneh sekali." Ujarnya sambil melihat ke sekeliling.
"Apanya yang aneh? Ayo masuk ke rumah. Kau sudah makan? Aku sudah menyiapkan makanan untukmu." Jawab Zia sambil menarik tangan Thalia."Tadi aku kesasar, tapi tiba-tiba aku sudah sampai di sini. Aneh bukan?" ujar Thalia sambil meneguk segelas sirup dingin yang disodorkan Zia.
"Cerewet sekali kau ini. Ayo duduk dan cepat makan sebelum semua lauk ini menjadi dingin.""Kakak tidak makan?"
"Aku sudah makan tadi."
"Mana Amar dan Shril?"
"Mereka masih belum pulang. Anak bandel, masih saja terus bicara." Omel Zia. Dia menarik beberapa berkas dari laci meja kerjanya, kemudian memeriksanya perlahan-lahan."Baiklah, aku makan dulu kalau begitu..." jawab Thalia pelan. Ia mengusap-usap kedua bahunya dengan telapak tangan. "Kenapa rumah ini bisa dingin sekali, padahal di luar tadi udara begitu panas..."
Selesai makan, Thalia langsung mencuci piringnya dan berjalan menghampiri Zia yang masih belum selesai membaca.
"Kenapa lagi? Kalau kau tidak ada kerjaan, bantu aku bereskan tumpukan berkas itu. Aku pusing melihatnya." Ujar Zia sebelum Thalia sempat berkata-kata.Thalia menoleh ke belakang. Ada beberapa buah tumpukan kertas mungil yang sangat tinggi di atas meja. Dia sudah bisa menebak kalau itu adalah resep-resep lama yang belum sempat disalin oleh Zia ke dalam buku catatannya. Thalia mengambil sebuah buku berukuran sangat besar dari bawah meja. Itu adalah buku di mana Zia merangkum semuanya.
Tidak ada yang benar-benar mengerti betapa berharganya buku itu. Thalia pernah mencoba memintanya untuk di fotokopi, yang oleh Zia hanya dijawab, "Apa kau sudah gila?"
"Kak, aku benar-benar mengalami hari yang aneh." Kata Thalia pelan. Ia mengambil sebuah pena dan mulai menyalin resep."Tidak ada yang aneh. Kau hanya terlalu banyak berpikir. Otak juga perlu beristirahat, Thalia. Sepintar apapun itu. Sekarang diamlah, dan salin semuanya itu. Aku perlu berkonsentrasi memeriksa ini."
"Dan lagi rasanya aku seperti melupakan sesuatu. Apa aku terlupa akan sesuatu?" sambung Thalia. Keningnya berkerut dan kepalanya menoleh ke kanan dan kiri.
"Thalia..."
"Baiklah, baiklah, aku akan berhenti bicara."Setelah lewat dari satu jam, Thalia berhenti menulis. Ia bersandar dan memejamkan mata. Rasanya seperti hampir tertidur, tapi tidak benar-benar tidur. Ketika matanya terbuka kembali lehernya terasa begitu pegal dan Zia sudah tidak ada di depannya.
Kini ia sendirian di rumah itu. Di dekatnya ada secangkir kopi yang masih hangat dan sebuah memo dari Zia.
"Aku pergi sebentar, jangan tidur terlalu lama! Cepat selesaikan semua itu sebelum makan malam."
Ternyata benar, dia baru saja ketiduran di kursi.Thalia tertawa. Dia bangkit berdiri dan berjalan ke arah jendela sambil membawa cangkir kopinya. Langit terlihat begitu gelap seperti mau hujan. Thalia sangat menyukai suasana di rumah ini, khususnya ketika hujan.
Biasanya Zia akan membuatkan banyak camilan hangat dan juga teh, lalu bermain piano di depan mereka semua. Bertolak belakang dengan rumahnya yang dingin di London. Di sini, dia seperti sedang berlibur di rumah kakak perempuannya sendiri.
London... tapi mengapa rasanya sudah lama sekali sejak aku pergi dari rumah? Benar, itu sudah lama sekali. Setelah dipikir kembali, ini juga terasa sudah lama sekali. Lalu apa yang kulakukan di sini? Oh iya, handphone-ku?! Ah, ternyata itu dia yang terlupa! Pasti tertinggal di dalam mobil. Aduh, tapi hujan sudah mulai turun. Hhh... baiklah, aku bisa mengambilnya nanti ketika hujan sudah reda. Hmm, kopi ini enak sekali...
Kak Zia benar, mungkin tak ada salahnya beristirahat sebentar. Tapi...langit sore, kenapa kau terlihat begitu sedih?
Thalia kembali ke tempat duduknya dan menulis sambil mendengarkan suara hujan deras yang turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Doctor (Completed)
RomanceAthalia Lexington (30), seorang dokter yang terbiasa hidup sendirian sejak dia memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya yang kaya raya di London. Setelah berkeliling ke berbagai negara sebagai relawan, akhirnya ia menetap di New York. Perempuan...