Calvin berusaha keras menahan keinginan untuk tidak memeluk sosok di depannya. Ia bisa merasakan kalau matanya mulai berkaca-kaca. Beberapa detik sudah berlalu sejak wanita itu menanyakan namanya.
"Calvin. My name is Calvin." Jawabnya. Alea, it's me...
Wanita itu terlihat mengawasinya sambil memikirkan sesuatu. Raut wajah itu, berubah jadi bagaimanapun, Calvin sudah menghapalnya dalam hatinya. Berbeda dengan Alea-nya yang dulu berambut hitam panjang nan indah, wanita yang menatapnya kini berambut sangat pendek, nyaris terlalu pendek hampir menyerupai potongan rambut laki-laki.
Tapi anehnya itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, dan dia jadi terlihat begitu dewasa. Sekali lagi wanita ini telah menyihirnya dalam sekejap dan membuat kepalanya penuh dengan berbagai fantasi. Dengan mata dan kulit yang sangat indah itu, Calvin berani bersumpah kalau saja saat ini Thalia memegang senapan di kedua tangannya, ia pasti akan jadi prajurit perang paling cantik yang pernah tercatat dalam sejarah.
"Maaf sudah mengganggu, saya hanya sedikit tersesat tadi." Ujar Calvin karena mereka berdua sedikit terlalu lama berdiri diam tanpa bicara.
"Anda belum menjawab pertanyaan saya. Kita sudah pernah bertemu bukan?" Tanya Thalia lagi. Sorot matanya yang indah dan penuh rasa penasaran hampir membuat Calvin berteriak menceritakan semuanya detik itu juga.
"Oh ya? Saya tidak mengingatnya." Jawab Calvin. Sebelah tangannya mengepal menahan kebohongan di dalam saku mantelnya."Ah, maaf kalau begitu. Mungkin saya salah ingat."
"Anda belum pulang kerja?" Tanya Calvin sopan sambil melirik jam tangannya.
"Anda tahu darimana saya bekerja di sini?"Jantung Calvin berhenti berdetak, menyesali pertanyaan barusan. Untungnya dia segera menemukan alasan. Ia menunjuk ke arah kartu tanda pengenal yang tergantung di pergelangan tangan Thalia.
"Ah, ini rupanya. Ya, masih ada beberapa hal yang harus saya kerjakan." Jawab Thalia.
"Baiklah miss, kalau begitu saya tidak akan mengganggu lagi."Keduanya sempat menoleh ke arah satu sama lain ketika mereka mulai berjalan saling menjauh.
Thalia masuk ke ruangannya dengan perasaan aneh. Ia yakin betul pernah bertemu pria itu sebelumnya. Kepalanya mulai terasa sakit. Ia menatap ruang kerjanya. Belum lama ini ia memperoleh kembali pekerjaannya sebagai dokter bedah. Di luar ia mungkin terlihat sibuk. Tapi hanya dia yang tahu kalau ada rongga kosong yang menganga lebar dalam jiwanya.
Sejak ia sadarkan diri tahun lalu, Thalia yakin ada sesuatu yang sangat penting yang sudah direnggut darinya. Itulah sebabnya hatinya sering terasa tertusuk dan kemudian membuatnya menangis tanpa kendali. Ia sudah rutin menemui seorang psikiater beberapa bulan ini, tapi Tuhan tahu hal itu tidak memberi dampak sedikitpun pada jiwanya.
"Sebenarnya apa yang sudah ku lewatkan empat tahun terakhir?" Ujarnya sambil berjongkok lemas di samping sofa. Ia putus asa. Sudah berulang kali dia menanyakan apa saja yang ia lupakan pada ayah dan ibunya. Mereka bilang hal itu tidak mudah untuk diceritakan, mengingat dia sudah pergi dari rumah sejak mulai kuliah dan tidak pernah pulang selama bertahun-tahun.
Oh God, empat tahun itu waktu yang lama sekali. Apapun bisa terjadi. Aku harus mulai dari mana?
Hari sudah menjelang pagi ketika Thalia menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia masih punya waktu beberapa jam untuk pulang dan tidur sebentar, sebelum berangkat ke New York. Ketika masuk ke dalam kamar tidur, ia kaget mendapati ibunya sedang menyiapkan baju dan kopernya.
"Mom? Kau sedang apa? Tidak tidur?"
"Aku belum pernah membantumu berkemas. Lagi pula ini hanya sedikit." Jawab Christy pelan. Ia memasukkan sebuah botol vitamin dan obat Thalia yang lainnya ke dalam koper itu. "Kau sudah makan? Maggie membuat sarapan kesukaanmu tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Doctor (Completed)
RomanceAthalia Lexington (30), seorang dokter yang terbiasa hidup sendirian sejak dia memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya yang kaya raya di London. Setelah berkeliling ke berbagai negara sebagai relawan, akhirnya ia menetap di New York. Perempuan...