Thalia berdiri di dekat kaki Calvin sambil memandangi wajah yang tertidur pulas di depannya. Beberapa saat yang lalu ia sudah menambahkan obat penghilang rasa sakit ke dalam cairan infus Calvin. Thalia ingin membangunkannya karena ada yang ingin ia bicarakan. Tapi niat itu diurungkannya begitu mendengar handphone-nya berbunyi. Ia bergegas keluar dari situ.
"How's Calvin Harding?" Tanya Victor Brown sambil menuangkan teh ke dalam cangkir dan menyodorkannya ke hadapan Thalia. Yang ditanya tidak menjawab. Ia duduk berselonjor di sofa yang ditaruh menghadap ke arah sinar matahari pagi. Ruangan ini benar-benar memiliki pemandangan yang menakjubkan, pikir Thalia.
"Tubuhnya tidak sekuat perkiraanku. Cedera kaki yang diakibatkan kecelakaan waktu itu benar-benar mempersempit ruang gerakku." Jawab Thalia menerawang. Adegan demi adegan pra dan pasca operasi kemarin terbayang kembali di depan matanya. Tangan Thalia sempat bergetar hebat sebelum ia masuk ke ruang operasi di mana semuanya tim-nya sudah menunggu. Paula yang melihat hal itu langsung menarik Thalia ke ruang ganti.
"Kau yakin bisa melakukan ini? Thalia? Don't you mess with me! Kalau kau tidak yakin katakan sekarang, aku akan membuat alasan untukmu. Hey kid, you better hold yourself together now, this is Calvin Harding!" seru Paula panik.
"Aku bisa melakukannya. Beri aku satu menit, tinggalkan aku sebentar." Jawab Thalia pelan, tangannya masih bergetar hebat. Begitu Paula keluar, ia menoleh ke jendela, ke arah ruang operasi. Ia bisa melihat Calvin terbaring dari situ. Air matanya mengalir."Aku sudah menduganya ketika pertama kali membaca berkasnya. Sejujurnya tindakan operasi semalam sama sekali tidak membuatku kaget. But Thalia, that's not what I'm asking..." Lanjut Victor dengan nada penuh isyarat. Thalia menatapnya. Ia mengerti maksud pertanyaan Victor.
"Thalia, you know the rule.."
"I know the rule." Potong Thalia dingin. "I don't wanna talk about it."
"Very well then. I won't say no more.""Victor, aku harus ke London untuk mengurus sesuatu. Setidaknya selama 3 hari. Aku akan limpahkan pasienku pada Raymond dan Leah. Aku akan tetap memantau semuanya dari jauh. Tolong segera hubungi aku jika terjadi sesuatu." Ujar Thalia sambil meneguk teh lalu bangkit berdiri. Victor mengangguk.
"Oh ya, Thalia.." panggil Victor lagi. Thalia menoleh di depan pintu.
"Happy Birthday."
"Thanks." Jawab Thalia sambil tersenyum.Handphone di saku Thalia bergetar ketika ia berjalan keluar dari ruangan Victor. Ada sebuah pesan masuk dari Joanna.
"I'm back, see you tonight!"Thalia sudah membuat reservasi atas namanya di sebuah restoran bernuansa klasik yang menghidangkan makanan khas Prancis. Sudah lama sekali ia ingin mencoba makanan di sana hanya saja belum ada waktu. Ketika Thalia akan masuk ke dalam lift, handphone-nya bergetar lagi. Ia membaca pesan berisi konfirmasi penerbangannya ke London besok pagi.
"Dia masih tidur. Thalia, kami ingin kembali sebentar ke hotel. Apakah dia bisa ditinggal sebentar?" Tanya Elena setengah berbisik sambil memegang tangan Thalia ketika ia baru masuk ke dalam kamar Calvin. Thalia mengangguk sambil tersenyum.
"Jangan khawatir, aku akan menjaganya." Jawab Thalia. Kebetulan ia sudah selesai berkeliling dan masih memiliki sedikit waktu sebelum kembali ke apartemennya. James dan Elena mengucapkan terima kasih lalu keluar dari situ.Thalia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dan berdiri diam di jendela dan membelakangi tempat tidur Calvin. Ia menatap sinar matahari yang sudah mulai tinggi. Pikirannya berkelana. Akan ada banyak hal rumit yang harus ia bereskan besok di London. Ia sudah mengambil keputusan terkait rencana pernikahannya. Beberapa detik kemudian matanya terpejam sambil menghembuskan nafas berat. Ia masih belum yakin.
"Happy Birthday..." sapa Calvin dengan suara lemah dari belakang. Thalia terkejut dan menoleh. Pria itu masih terlihat pucat namun entah mengapa tetap tampan sekali. Thalia berputar tapi tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Doctor (Completed)
RomanceAthalia Lexington (30), seorang dokter yang terbiasa hidup sendirian sejak dia memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya yang kaya raya di London. Setelah berkeliling ke berbagai negara sebagai relawan, akhirnya ia menetap di New York. Perempuan...