Sembilan

44 19 6
                                    

Di cuaca yang super parah ini, temen-temen seangkatan gue pada mau pisahan ama guru-gurunya. Gue suka ngenes gitu, kalau lihat temen gue yg punya doi adek kelas. Widih perpisahannya kayak bini ama laki mau mati aja pakek acara nangis-nangis segala.

"maafkan kami bu, karena selama kami menjadi anak didik di SMA ini kami sering melakukan kesalahan, mohon untuk di maafkan," ujar gue langsung ke kepala sekolah yang tak lain adalah bapak Mucik, gue mewakili seluruh temen gue yang baris rapi kayak mao antre sembako di belakang gue. Imut yh namanya.

"ya nak, selamat melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Semoga kalian semua menjadi anak yang sukses," sahut pak Mucik lalu menyalami kami satu persatu dan acara perpisahan di tutup dengan padus antar siswa.

Kini suasana kelas menjadi sangat melow dan menyedihkan. Si Alya udah nangis-nangis gegara Dickin bakal kuliah di luar kota. Hampir semua siswa menangis terkecuali gue ama Arsen yang terlihat biasa biasa aja.

"hua. Silva. Kita bakalan pisah, gue nggak rela kalau lo ninggalin gue Va," Raina memeluk gue dari belakang, sumpah gue terkejot bener. Untung hari ini perpisahan, mungkin ini yang terakhir kali gue ngerasain belaian kasar dari si Raina. Tersentuh bener hati gue pas otak-otak itu bilang kalau dia nggak rela kehilangan gue.

"kenapa lo kagak rela kehilangan gue Na?" tanya gue dan langsung natap mata Raina intens.

"kan kalau lo kagak ada, siapa yang gue jahilin, gue kibulin, gue bully, gue tendang, yah hampa deh hidup gue," jawab si curut bermata gajah itu dengan penuh rasa percaya diri. Anjing gue kira ada alasan manis di balik pernyataannya, ternyata kagak. Terlalu berharap itu emang menyakitkan.

Gue cuman buang nafas panjang karena nggak mao ngerusak hari terakhir bersama kawanan gue hari ini. Toh setelah ini, nggak akan ada lagi gue memar gegara pelukannya Alya, nggak bakalan budeg dengerin omelan Uni and Uza, nggak akan bisa gosip anu ama Aysa and Sila, nggak bisa rasain lagi di traktir ama Nilna. Huft, sedih bat jujur.

Di saat Raina tengah meluk tubuh gue, tiba-tiba seluruh makhluk berjenis kelamin wanita, turut memeluk gue dan akhirnya gue berada di tengah-tengah antara mereka. Ini bisa geser nggak sih, sesek ini sumpah, batin gue di dalam kaki.

"maafin gue ya Va, gue belum bisa jadi sobat terbaik lo ama atu lagi, gue belom bisa ngelunasin utang bakso gue ke lo pas semester awal kelas 10," si Alya berujar dengan sejujur jujurnya. Sebenernya sih gue udah lupa ama utang piutangnya Alya ke gue. Tapi heran deh, baru kali ini, yang hutang malah ngingetin utangnya ke yang di hutangin.

"Va, maafin gue juga. Kemarin gue ngambil snack sekerdus di kamar lo diem-diem. Habis enak sih," boom, anjir. Si Nilna kapan masuk ke kamar guenya sih! Pakek ngambil persediaan snack gue minggu depan lagi. Huft :v

"hua kita nggak bisa yadong-yadongan bareng lage!" seru Aysa dengan tangis yang meluap-luap kayak bapak RT kehilangan pulpen.

"iya ya Sa. Gimana nasib gue tanpa yadong bareng kalian," Sila dengan tampang ngenesnya berujar dari hentah karena gue nggak lihat batang kakinya.

"gimana lah hidup gue kalau nggak marah-marah ama lo lo pada nyet," Uza membenamkan kepalanya di tengkuk gue dengan tetap menangis disana.

"anjir, melow bener dah mereka," Arsen bergumam dengan wajah sinis ala mak lampir. Di saat bersamaan si Dickin dkk laki-laki lain berhamburan meluk Arsen.

"hua! Inyong ora biso ngenyek kowe maneh Sen!" seru Dickin dengan ekspresi mengenaskan.

"gimana hidup gue tanpa kalian," Dev kini tengah sesegukan karena menangis dengan over yang parah buanget!

"maafin inyong ya Sen. Kalau ada salah. Inyong arep kuliah ke Yogyakarta. Dedi nggak biso ketemu sama kowe maning," Dickin melepaskan pelukan di tubuh Arsen dan kini kawanan lelaki sudah berbincang dengan biasa.

The Love Comedy Class (COMPLICATED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang