Hari berlalu dengan sangat cepat. Perpisahan Silva dan Arsen hanya tinggal menghitung jam. Silva sedari subuh tidak beranjak dari tepian danau Amanota, dimana di sana ia pernah mendengar ada yang berkata cinta selalu menang.
"Jika dunia memang tidak menginginkan cinta hadir di dalam kehidupanku, kenapa kau memaksakan Arsen untuk menepati celah luka yang selama ini berusaha keras untuk aku menutupnya agar tidak mengeluarkan kembali darah? Belum cukupkah semua air mata dan duka yang dulu kau berikan kepadaku? Hingga di saat cintaku bersemi, sebentar lagi akan benar-benar berlabuh seperti abu orang mati! Aku membenci diriku sendiri. Tak seharusnya aku mencintai orang lain yang tidak memiliki pacuan cinta di dalam dirinya untuk diriku. Mengapa takdir sebegitu kejamnya padaku!" batin Silva di dalam hati. Gadis itu benar-benar hancur sekarang. Air mata seakan seperti mata air yang terus menerus mengalir dari kedua matanya. Kerapuhan yang belum pernah ia rasakan membuatnya benar-benar ingin mengakhiri semuanya.
Tiba-tiba di antara isakannya, Silva mendapatkan telepon dari pengacaranya.
"Iya hallo gimana Tom?" tanya Silva kepada pengacaranya yang bernama Tomi itu.
"Mba dimana? Sekarang sudah waktunya sidang di mulai,"
"Oh begitu yah, maaf saya mungkin sedikit telat. Saya akan segera ke sana,"
"Baiklah,"
Sambungan telepon pun berakhir. Silva mengusap kedua pipinya dan menatap nanar ke arah air danau yang sangat tenang. "Sekarang aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya berharap jika kau menyayangiku, maka jadikan hatiku kembali utuh tanpa luka di jam jam berikutnya, meski ku tahu itu mustahil. Aku yakin kepada mu yang mungkin mencintai diriku," Silva melangkah cepat menyusuri jalanan sore yang sepi. Ia tidak memiliki tujuan hidup lagi. Bahkan ia sudah berencana mengakhiri semuanya dan pergi ke Seoul tempat di mana dia bisa menemukan kembali hidup.
Seperempat jam berlalu. Kini Silva ataupun Arsen sudah duduk berdampingan di meja hijau. "Silva Nanda Syara. Apakah anda benar-benar ingin berpisah dengan suami anda Arsenio Mahaputra?" tanya bapak hakim dengan penuh wibawa.
"Iya," jawab Silva dengan penuh ketenangan. Air matanya tidak bisa berbohong. Ia mengalir membasahi kedua pipinya lagi.
"Bagaimana tuan Arsenio Mahaputra, apakah anda menerima penggugatan cerai dari istri anda Silva Nanda Syara?" tanya bapak hakim itu yang tertuju untuk Arsen.
"Iya saya menerimanya,"
Hati sekaligus pikiran dari seorang Silva benar-benar remuk saat kalimat dari mulut Arsen itu terucap. "Nyonya Silva, apakah ada tuntutan tertentu mengenai materi untuk anda tarik dari suami anda?"
Silva mengucap kasar pipi nya. "Tidak ada,"
"Baiklah, saya akan memberikan jeda untuk kalian berdua mengobrol sejenak, oleh karena itu semuanya kita istirahat lima belas menit. Ok, sidang di tunda," semua saksi di sana keluar dari ruangan termasuk Silva dan Arsen yang keluar ke arah yang berbeda.
Silva kini merenung di taman pengadilan yang tidak jauh dari ruang pengadilan. Gadis itu menangis di sana. Membayangkan hubungan yang baru saja terbentuk harus kandas di usia yang sangat muda. Di sela tangisnya, ponselnya berdering dan menampilkan nama Raina di sana. Dengan cepat, Silva mengangkat telepon dari sahabatnya itu. Ia bingung karena dari awal persidangan di mulai, ke empat sahabatnya tidak kelihatan ada di barisan saksi untuk menguatkannya.
"Va, lu di mana sekarang?"
"Gue di taman pengadilan. Lu kemana aja? Gue sendirian bego di sini!"
"Aduh, ceritanya panjang. Gini aja sekarang masih proses apa perceraiannya?"
"Ini masih istirahat lima belas menit kata hakimnya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Comedy Class (COMPLICATED)
DiversosDunia nggak selamanya antara hidup dan mati bukan. Hidup seorang Silva Nanda Syara begitu berwarna saat bertemu dengan orang yang very yunik di kehidupannya yang amburadul. Kejonesan yang ia alami seakan tak berwujud adanya karena seluruh teman dar...