Dua Puluh Tiga

43 12 0
                                    

"Dokter! Dok!" seorang suster berlari menghampiri dokter botak di antara teman Silva yang tengah berduk cita.

"Ada apa sus?" tanya si Dokter itu dengan panik.

"Pasien Dok, pastopien menggerakan tangannya dan jantungnya berdetak di monitor deteksi!" sontak seluruh umat manusia yang sedang tangis menangis itu memelototkan matanya dan tidak percaya. Sedangkan Arsen segera memasuki ruangan di mana istrinya tergeletak dengan sisa kabel monitor jantung yang menempel di dadanya.

"Sayang. Kamu udah sadar?" tanya Arsen dengan tampang yang super duper piknik. Silva hanya mengangguk lemah. Gadis itu kembali merasakan perih dan sakit di berbagai bagian tubuhnya.

Sang Dokter botak pun memeriksa keadaan Silva dan mengatakan kondisinya akan membaik seminggu yang akan datang.

"Ini sebuah keajaiban coy! Wuhui! Silva nggak jadi mati!" teriak Zaky bak monyet mendapatkan sebuah pisang.

"Sumpah demi anak ayamnya bang Tigor. Gue sama yang lain cemas banget sama kondisi lu Va," Rina menghampiri Silva dan memeluk sahabatnya di ikuti oleh Raina, Uza, dan Nilna.

"Makasih udah ngekhawatirin gue sob. Sekarang gue udah nggak kenapa-napa. Jadi kalian nggak usah cemas," sahut Silva lalu membalas pelukan hangat dari sahabat-sahabatnya.

"Udah gih pelukannya. Ma, cepetan kita nunda acara keluarga ini. Yuk!" Aldo bersuara dengan tampang mengenaskan karena ia tengah menggendong anaknya si Nilna yang bobotnya lebih dari normal. Ya nggak lah! Maksudnya gendut imiut gitu sih.

"Eh iya. Ywd. Eh gue cabut dulu yak. Lu kagak napa kan kalau gue tinggal Va?" Silva mengangguk mengiyakan. Dirinya sudah lebih dari kata membaik sekarang berada di dalam lingkaran orang-orang yang menyayanginya.

"Va, gue sama yang lain juga pamit yah. Lu istirahat gih. Jangan sampe kayak gini lagi! Makan yang banyak!" Uza mengecup sekilas kening Silva dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

"Iya bu bos. Pasti kok," Silva memberikan simbol penghormatan kepada Uza dan membuat si mata bengkak-karena nangis berlebihan, tersenyum hangat.

"Ywd kita pamit yah. Jaga kesehatan pokoknya!" Raina memeluk tubuh Silva cukup lama dan menangis di sana karena melihat luka di bagian tengkuk dan leher Silva.

Silva yang menyadari adanya air yang menetes di pundaknya pun curiga jika ada demit yang lagi galau di dekatnya. "Lu kenapa Na?" tanya Silva setelah tahu jika yang nangis itu Raina.

"Luka di tubuh lu banyak banget njir. Arsen! Lu harus ngejaga bini lu baek-baek! Sekali lagi gue lihat Silva kayak begini. Gue mutilasi tubuh lu jadi 99 bagian tahu rasa lu!!!" ancam Raina seraya memandang Arsen yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sedangkan yang di ancam hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Asmaul khusnah kali ah 99!" pekik Dev dengan wajah sewotnya yang super mengesalkan dan sangat ngenes.

Setelah berbincang cukup lama. Akhirnya Rina and the gang pergi dari rumah sakit tempat Silva di rawat. Dan kini hanya ada sepasang suami istri yang mendiami kamar rawat nomor 555.

"Maafin aku," ucap Arsen dengan menundukan kepalanya dan menaruh segala rasa bersalahnya di ujung kakinya.

"Kenapa kamu minta maaf hm?" tanya Silva penasaran. Gadis itu sedang menatap suaminya dari jarak yang sangat dekat.

"Seharusnya aku nggak ngebiarin kamu pulang sendirian di malam hari. Aku minta maaf sayang," Arsen menatap manik mata gadis yang sangat ia cintai dengan tatapan nanar dan panas.

Silva menggenggam telapak tangan Arsen dan meletakannya di dada kanannya. "Kamu tahu. Selama aku masih bernafas dan jantungku berdetak. Kamu akan menjadi satu orang yang paling sempurna di kehidupan ku. Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku mohon," Arsen bangkit dari duduknya dan mengecup lama kening Silva dengan penuh cinta dan kasih sayang.

"Aku janji. Mulai saat ini aku akan selalu ada di samping kamu kapanpun itu dan aku akan mencintaimu seumur hidupku," ucap Arsen setelah mengecup kening sang istri.

"Dan ya satu lagi! Mulai sekarang, kalau kamu mau kemana-mana harus izin dulu sama aku karena mulai saat ini aku merangkap profesi jadi supir dan bodigart pribadi kamu," Silva terkekeh pelan menyaksikan tingkah kekanakan yang di tunjukan oleh Arsen. Namun, gadis itu menganggap perlakuan Arsen adalah pembuktian cinta yang sangat ia suka.

"Ay ay kaptain!" teriak Silva di iringi tawa kedua insan yang saling mencintai itu. Silva dan Arsen sama-sama saling mencintai dengan cara mereka sendiri. Setelah puas dengan tertawa Arsen menyuruh Silva untuk beristirahat agar lekas sembuh dari sakitnya.

Pukul 1:45

Silva terbangun dari tidurnya dan kembali menutup mata saat melihat Arsen tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Gadis itu memutuskan untuk menguping apa yang suaminya bicarakan dengan sang penelpon.

"Iya aku juga kangen lah. Ini udah lama banget kita nggak pernah bertemu. Iyakan?" tanya Arsen seraya cengenges cengengesan.

"..."

"Ok deh, aku tunggu besok di depan rumah sakit yah,"

"..."

"Bukan siapa-siapa kok. Cuman adik ku aja," Arsen menoleh menatap istrinya yang sepertinya sedang tertidur dengan sangat pulas.

"..."

"Ya udah, see you," Arsen tersenyum setelah sambungan telepon terputus. Lelaki itu kembali tertidur di sofa tunggu rumah sakit. Lain halnya dengan Silva yang memiliki begitu banyak tanda tanya mengenai peristiwa beberapa menit yang lalu.

'Gadis mana lagi yang ia telepon itu.! Mengapa ia mengatakan aku adiknya? Apakah dia memiliki wanita lain? Aku harus mencari tahu, tapi gimana caranya? Udah panggilannya Aku-kamu an lagi! Dasar playboy!' batin Silva di dalam diam. Gadis itu berharap esok bisa mengirim Cici untuk memata-matai suaminya.

Di pagi yang cerah. Arsen menghampiri Silva yang tengah terlelap. Lelaki itu mengecup lama kening istrinya dan beranjak duduk di samping ranjang dimana Silva masij berbaring.

"Sayang, bangun gih. Kamu harus sarapan dulu," Silva meregangkan kedua tangannya dan menguap lebar bak macan kelaparan.

Arsen menyodorkan sesendok bubur kepada Silva, sedangkan yang di sodori bubur hanya memakan bubur tanpa ekspresi. Ia hanya tersenyum datar tanpa ada nafsu sedikitpun untuk tertawa.

"Kamu kenapa yank? Mau sesuatu hm?" tanya Arsen yang menyadari akan kebisuan sosok gadis di hadapannya. Ok guys, Silva masih gadis lah yah. Secara Arsen belum ngapa-ngapain dia.

"Nggak kok aku nggak papa. Eh iya, malam ini kita udah bisa pulang kan? Aku mau ke rumah kakak dulu yah," Arsen mengernyitkan dahinya tanda heran sekaligus bingung dengan ucapan Silva. Kakaknya tengah di luar negeri saat ini. Dan Silva ingin menemui kakaknya. Ada apa sebenarnya dengan istrinya itu.

"Kamu enggak lagi gila kan Yank? Kakak kamu kan lagi di luar negeri. Aku nggak mau denger apa-apa lagi. Pokoknya kamu harus pulang sama aku!" Arsen mengelus kepala Silva dengan gemas. Lelaki itu tak kunjung melunturkan senyuman di bibirnya karena alasan yang tidak ia tahu apa yang menjadikan dirinya seperti ini.

"Iya," sahut Silva dengan tampang yang masih saja datar.

"Eh iya. Setelah ini aku pamit yah. Ada janji soalnya," Arsen kembali menyuapkan bubur ke dalam mulut Silva sedangkan Silva hanya mengangguk mengiyakan.

"Perlu aku suruh pelayan buat nemenin kamu atau kamu mau ketemu sama temen kamu atau gimana?" tanya Arsen setelah bubur di mangkuk kecil nya habis.

"Nggak perlu. Aku lagi mau istirahat fullday hari ini, biar ntar malem bisa pulang," jawab Silva lalu tersenyum tipis. Ia tidak ingin membuat Arsen tersindir atau terluka mendengar omongan atau larangan yang ingin sekali ia berikan.

"Ya udah kalau kamu mau sendiri. Aku pamit yah, Assalamualaikum,"

"Iya, waalaikumsalam," jawab Silva.







Maaf yah kak, jarang update. Hehehehe.
Di vote dan di komen yo!
Itu gruatiss tis tis. Please, hiks. :(

The Love Comedy Class (COMPLICATED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang