Multimedia: Beveridge Bar, Los Angeles
*-----*
Sekolah memang menyebalkan. Tugas-tugas yang menumpuk, teman-teman yang menyebalkan, guru-guru galak yang akan memarahi siapa saja, buku-buku menumpuk untuk dibaca, segalanya. Shannon bahkan tidak sabar untuk segera lulus yang hanyalah tinggal beberapa bulan lagi dari sekarang begitu juga dengan Vanessa yang ingin cepat-cepat pergi ke kuliah paforitnya dimana ada teman baiknya yang bernama Steve. Lelaki yang sama-sama menjalani bisnis modelling di perusahaan yang sama dengannya dan Adiknya.
Pelajaran bahasa dimulai beberapa menit lagi dan Shannon serta Vanessa masih sibuk mengunyah di kantin sambil tidak lupa membicarakan akhir mingunya yang mengesankan "Kapan Ally akan mengambil alih perusahaanmu?" ujar Vanessa sebelum ia memasukkan cheese burger kedala mulutnya lantas segera mengunyah tanpa ingin terburu-buru dan terpejam untuk menikmati makanannya.
Terkekeh lembut sebelum memasukkan kentang goreng dan mengunyahnya lembut, gadis tomboy itu kemudian menelan makanannya dan lalu meminum airnya sebelum menjawab "Kau sepertinya ingin cepat-cepat melihat perusahaanku ditelan oleh gadis itu, eh?" alisnyat terangkat satu saat ia mengakhiri pertanyaannya.
Tak ingin menyinggung perasaan gadis tomboy dihadapannya, Vanessa kemudian memotong cheese burgernya lalu menusuknya dan menyuapkannya pada Shannon. "Bukan begitu, hanya saja Aku dengar akhir-akhir ini perusahaan Hilton Hills sedang mencari perusahaan lain untuk dikuasai. Kudengar salah satunya adalah Black Company"
Shannon terkekeh setelah menerima burger dari tangan Vanessa dan mengunyahnya "Kau memiliki ketertarikan yang berlebih terhadap saham perusahaan, Vanessa" gadis tomboy itu kemudian meminum air mineralnya sampai tetes terakhir "Seharusnya Kau yang menjadi CEO perusahaanku"
Vanessa tertawa keras saat mendengar lelucon mengerikan itu "Aku tidak akan pernah ingin memimpin seseorang" gadis itu bangkit dari kursinya dan lalu membawa jaket dari sandaran kursi "Tiga menit lagi pelajaran bahasa dimulai, Kau tahu kalau guru bahasa sangat kejam pada semua siswa yang terlambat masuk kelasnya"
Ikut-ikutan mengangkat bokongnya dari kursi meskipun makanannya hanya tersentuh sedikit, Shannon kemudian merapikan rambutnya dan lalu mengikatnya menyerupai ekor kuda karena cuaca Los Angeles sangat panas hari ini "Lets go then" ujarnya sambil lalu melangkah menuju lorong kelas bahasa.
Mengikuti langkah sahabatnya menuju kelas mereka karena mereka memang memiliki kelas yang sama di setiap saat, Vanessa kemudian menaruh jaketnya di atas bahu "Untung Kau sahabatku" bisik gadis itu sambil tetap mengikuti langkah jenjang Shannon yang cepat.
Language Class, Los Angeles High School.
Mr. Brandon tersenyum saat melihat Shannon dan Vanessa tidak terlambat di kelasnya "Terimakasih untuk datang tepat waktu di kelasku, Mrs. Beveridge, Mrs. Webster" lelaki yang mengenaka kemeja berwarna putih itu mendekat pada Shannon dan Vanessa yang selalu berada di pojok ruangan.
Shannon menyerahkan senyum kecil saat melihat lelaki itu menduduki mejanya "Mr. Brandon. Do You need something?"
Menyingsingkan lengan kemejanya, Brandon kemudian melipat tangannya didada sebelum menjawab "Aku hanya butuh Kamu dan temanmu untuk duduk didepan kelas dan menjelaskan teori pembahasaan dari novel ini" ujarnya sambil lalu menyerahkan novel serial killer yang memiliki banyak kosa kata yang rumit.
Mengurut keningnya enggan, Shannon kemudian mendorong novel yang diberikan gurunya pada lelaki itu kembali "Kalau Kau memang mengetahuiku dengan sangat baik, Mr. Brandon, Aku tidak pandai dalam bahasa, Aku hanya pandai dalam menjalankan algoritma dasar perbisnisan. Aku tidak bisa menganalisa kata mana yang salah dan kata mana yang benar, dan Aku hanya bisa menganalisa perusahaan mana yang memiliki saham yang lebih besar dan perusahaan mana yang tidak memiliki saham sama sekali. Jadi, Aku memintamu satu hal. Jangan pernah memintaku untuk menganalisa kata, karena Aku sendiri sering tenggelam didalamnya"
Shannon Beveridge's Apartement, Los Angeles.
Shannon sedang asik menatap pada photo-photo dirinya dan Cammie semasa mereka pergi ke Disney Land. Shannon tak pernah menyangka kalau ia akan sebahagia itu untuk mengunjungi tempat yang dipenuhi oleh anak-anak.
Menggeleng saat melihat photo terakhir yang mereka ambil sebelum akhirnya pulang ke rumah karena kelelahan. Tak terasa, Shea sudah kembali ke Toronto dan Cammie pergi ke Pittsburgh untuk mengunjungi keluarganya disana.
Shannon sendiri lagi karena Vanessa harus mengerjakan modelling untuk produk terbaru dari stillsane begitu juga Collin yang pergi setelah Vanessa pulang dari sekolah, hanya beberapa jam yang lalu. Sekarang, Shannon kebosanan karena tidak ada siapa-siapa di apartemennya yang terhitung luas.
Ingin membunuh kebosanannya, Shannon kemudian menyalakan laptop dan mengedit beberapa video yang ia buat saat ia bersama dengan Cammie. Tapi ternyata itu saja tidak cukup untuk membuang rasa bosannya. Rasanya, gadis itu ingin sekali pergi ke Bar miliknya hanya untuk melihat-lihat suasananya. Tapi Shannon tahu kalau Debra dan Casey akan menendangnya dari sana hanya karena bocah itu sentar lagi akan menjalani ujian sekolah untuk memulai semester akhir.
Mencoba kembali fokus pada editornya, Shannon akhirnya memutuskan untuk pergi berjalan kaki menuju Bar miliknya sambil merekam setiap langkahnya menuju kesana. Menikmati pemandangannya di setiap langkah, Shannon jadi bersyukur pada Tuhan karena Dia telah memberikan kuasa_Nya.
Tak pernah terpikir sebelumnya, Shannon memiliki keluarga yang berantakan, kedua orang tuanya bercerai saat Shannon dan Casey masih kecil, kemudian memutuskan untuk menikah dan akhirnya beprcerai lagi untuk yang keduakalinya dengan orang yang berbeda. Shannon tak pernah mengira kalau Ia akan menjadi pengusaha sukses di usianya yang sangat dini.
Shannon bahkan sempat mengira kalau Ia hanya akan jadi manusia yang tak berguna karena terlahir dari keluarga yang berantakan serta menjadi salah satu dari umat manusia yang bahkan banyak tidak disukai oleh manusia itu sendiri.
Menjadi salah satu dari LGBTIA+ adalah salah satu mimpi terburuk serta mimpi terindahnya di satu waktu yang bersamaan. Shannon tak pernah mengira kalau keluarganya yang terkesan normal dan religius akan menerimanya dengan tangan terbuka soal seksualitasnya dan itu adalah anugrah paling besar bagi Shannon.
Sebelumnya, gadis tomboy itu selalu saja di buntuti oleh perasaan takut akan di tending dari keluarganya hanya karena Ia jadi pecinta sesama jenis. Tapi ternyata, perkiraan itu tidak pernah terjadi pada dirinya karena Ia sekarang hidup bebas di 'luar lemari'.
Berjalan mendekat pada air mancur yang menghiasi salah satu parkiran di dekat Beveridge Bar, Shannon kemudian melirik pada banyaknya pasangan yang seperti dirinya. Mereka tidak takut untuk menunjukkan kalau mereka berbeda dari sebagaimana yang dianggap normal oleh banyak orang dan Shannon berterimakasih pada orang tuanya karena Mereka telah menerimanya.
Seorang bocah yang memiliki rambut blonde se bahu mendekat dan duduk disampingnya, ia mengenakan topi terbalik sebagai pemanis dari penampilannya yang hanya mengenakan kemeja berlengan pendek dan jeans yang memiliki warna sama. "Hey, siapa namamu?" tanya Shannon sambil merekam bocah itu di kameranya.
Tahu kalau ia sedang direkam, bocah itu kemudian menampilkan lesung pipinya yang manis di kamera sambil lalu berpose dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. "Namaku Alex dan Aku bukan perempuan"
*-----*
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
WeAreOne (Lesbian Series)#2 |COMPLETED|
FanfictionTanpa disangka semesta membiarkan kita berjumpa. Seolah dirinya memang memiliki rencana untuk kita berdua. Menyatukan kita yang berbeda dengan segala cara. Sehingga kita menjadi sama. Riska Pramita Tobing 2018 -----COMPLETED-----