Akhir Musim Panas

2.1K 215 15
                                    

Aku menatapmu yang berdiri dengan senyum lebar serta lengan yang memeluk kedua orang tuamu. Aku tak mendekat. Tak seperti kawan-kawan kita lainnya yang sudah menuju ke arahmu dan ucapan selamat yang bertubi mereka berikan.

Sedangkan aku masih tetap saja berdiri tak dekat pun tak jauh darimu. Membiarkan keramaian lalu lalang di depanku dan sesekali menghalangi pandanganku padamu. Ya, hanya milikku karena kau belum menyadari absennya diriku ataupun posisiku yang menghadapmu.

Kelopak mataku enggan tertutup walau hanya untuk berkedip sekejap. Entah karena tak ingin kehilangan eksistensi dirimu di depan sana ataupun tak ingin setetes air mata jatuh, karena ku tahu aku takkan berhenti menangis setelahnya.

Pikiranku mengelana, pada festival sekolah setelah ujian untuk siswa tingkat akhir dilakukan, kau menyeretku dan memaksaku untuk menemanimu. Bernyanyi dengan iringan gitar seperti tiap malam yang kita lakukan baik di kamarku atau di kamarmu sembari berebut keripik dan menghiraukan tugas sekolah yang harus kita selesaikan.

Siang itu di panggung, kau tersenyum begitu lebar. Iya, kala itu memang malam belum menjelang, tapi aku bisa melihat kilau bintang yang berpendar di kedua bola kelammu. Seolah aku berada di angkasa sana menyaksikan bintang dan matahari yang berdampingan.

Perpisahan ini seharusnya tak menjadi beban bagiku. Kita pernah mengalaminya. Saat aku masih harus tinggal di sekolah menengah tingkat bawah dan kau sudah memasuki tingkat atas. Tapi kala itu aku hanya melempari kulit kacang padamu dan bersorak, karena nyatanya kita masih bisa bermain kala sore menjemput.

Pun setahun kemudian kita berdua sudah berjongkok menyabuti rumput liar di halaman belakang bersama karena kau mengajakku marathon di lorong sekolah pada minggu keduaku di tingkat atas dan mendapat detensi guru konseling setelahnya.

Tapi kini berbeda, kau akan pindah ke kota asalmu dan meninggalkanku sendiri dengan kenangan kita yang berlumut nantinya.

- dan aku akhirnya berbalik tanpa berniat menghampirimu yang hanya berjarak sepuluh meter di depanku.

****

Kenyataannya,

sekalipun aku menghindarimu, aku tetap tidak akan bisa menghindarimu.

****

Aku menggerang kala adikku yang masih bayi itu menggigit hidungku, yang dilanjutkan dengan kekehan ala bocah ketika melihatku memandangnya garang. Meski selanjutnya aku melirik ke arah dinding sebelah pintu dan mendapati orang yang ingin kuhindari tengah bersandar dan menahan tawa dengan senyum kecil di wajahnya.

Aku mendengus. Memerangkap tubuh adikku dan membawanya masuk ke dalam selimut dan pelukan eratku, membuatnya akhirnya menangis dan ibuku yang datang memarahiku.

Kini aku sudah sepenuhnya sadar dan terduduk di tepi ranjangku. Menatap malas sosok yang duduk di kursi belajarku sebelum kembali berbaring dan bergulung selimut layaknya kepompong. Selanjutnya aku berusaha mati-matian untuk kembali tertidur atau menulikan diri sendiri serta acuh, meski akhirnya tak berhasil karena sebuah dusalan di puncak kepalaku, yang ikut terbalut selimut, dan lengan yang melingkar di pinggangku. Membuatku menggerang dan akhirnya membuka diri, menghasilkan sebuah debuman karena kasur kecil, dan individu lain yang terjungkal ke lantai karenaku.

"Sakit." Rutuknya dan menatapku kesal, namun aku tak peduli, lagipula itu salahnya sendiri.

Aku mendengus kembali, "Aku mau tidur. Jangan ganggu, Bodoh!"

Melempar bantal padanya yang kini hanya bersila pasrah di bawah ranjangku.

Dia menghela napasnya. "Sayangnya, keluargamu yang mengundang keluargaku untuk makan malam bersama. Lagipula kenapa juga moodmu begitu buruk hari ini? Kau bahkan tak datang ke acara kelulusanku, namun malah keluar entah kemana."

Takadul [MARKHYUCK]÷Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang