Pulang

962 117 23
                                    

Orang-orang...berkata padaku untuk berpindah hati.

Melupakanmu dan mencari pria atau wanita lain yang bisa mengertiku lebih dari aku kira kau bisa berikan padaku. Akan tetapi, moving on bukan hanya untuk meninggalkan ragamu dan mengeluarkan seluruh perasaanku padamu meski yang tersemat jauh di dalam lubuk hatiku. Moving on juga berarti memulai sebuah kehidupan baru dengan diriku yang terbiasa serta takkan peduli akan eksistensi dirimu.

Seruputan pada cokelat hangatku kembali ku lakukan. Entah yang keberapa kali sejak aku mendapati diriku terjebak di jalanan serta mendung yang mengiringi dan dengan kebodohan diriku yang melalaikan ramalan cuaca pagi. Yang akhirnya kaki berbalut boots kulit hitam milikku melangkah memasuki sebuah kafe kecil minimalis tepat di seberang kakiku termenung sebelumnya.

Ini bukan sebuah opsi memang. Aku tak lapar, maka aku tak melangkah pada restoran yang ada di sekitarku tadinya. Hanya butuh kehangatan yang melingkupi kedua tanganku yang memang mudah merasakan dingin terlebih saat lingkungan tak mendukungku. Membuatku sedari tadi hanya meminum sedikit minumanku dan lebih banyak menggenggam cangkir cokelatku erat-erat, berharap panas yang ada mengalir di sana.

Aku lalu melirik ke arah komputer pribadi kecilku. Bersyukur karena hujan tak menemuinya terlebih dahulu dan membuatku harus membawanya ke tempat layanan perbaikan barang nantinya. Aku membukanya. Menanyakan kata kunci koneksi internet tanpa kabel yang ada pada pelayan yang lewat. Membuka blog milikku dan membalas beberapa komentar yang masuk di sana. Meski kebanyakan dari mereka menanyakan kapan terbitnya bukuku yang terbaru.

Senyum kecil ku suguhkan. Rasanya menyenangkan melihat banyak respon positif yang masuk dan menyatakan dukungan terhadapku.

Namun ketika aku hendak meraih cangkir milikku dan mengurangi cairan yang ada di sana, bunyi lonceng dari pintu masuk seolah meraih perhatianku seketika. Membuatku sedikit tercekat dan hanya membiarkan cangkirku mengudara tanpa memberikan patokan yang tepat atasnya.

Dia berdiri di sana. Menenteng kopernya dengan setelan pria yang sedikit basah karena mungkin hujan mencoba menggodanya.

Saat langkah pertamanya diambil, aku segera tersadar. Mencoba menunduk agar wajahku yang memang menghadap ke arah pintu keluar sedikit tertutupi oleh layar laptop milikku. Menggigit bibirku seolah cemas padahal aku berpikir bahwa ia takkan mengenaliku setelah triwulan lebih berlalu. Mungkin saja kan dia mengalami hal buruk atau mungkin saja kehilangan ingatannya? Well, meski aku tak berharap demikian sih. Tapi tetap sa -

"Boleh aku duduk di sini?"

Aku dengan susah payah menelan ludahku saat suara berat itu memasuki indera pendengaranku. Agak telat, tapi aku merapal dalam hati jikalau aku mendongak maka bukan pahatan rahang tegas yang begitu ku hapal lah yang ku temui.

Sayangnya, Tuhan terlalu senang hari ini untuk memermainkanku.

"Y - ya. Tentu saja. Silahkan." Ujarku terbata meski aku berusaha untuk tidak.

Dia tersenyum kecil. Duduk tenang sembari menaikkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Membiarkan kaki dengan otot padat itu tercetak jelas dibalik celana bahan dengan motif garis samar serta sepatu kulit hitam yang mengkikat meski ia menemui becek walau sedikit tadi. Meminum minumannya, yang ku duga adalah kopi panas, pada disposable cup miliknya. Mungkin ia hanya duduk sebentar. Lagipula ia tak berniat untuk mengajakku bicara sepertinya, meski entah kenapa hatiku terasa sedikit sakit mengetahui hal tersebut.

Lalu detik-detik yang ku habiskan di sana terasa seperti tahunan. Begitu lama dan begitu tak nyaman. Sesekali aku mengedarkan pandanganku, berharap ada kursi kosong dan membuatnya memiliki pilihan untuk berpindah tempat. Pun terkadang mataku dengan lancangnya memerhatikan wajah yang tertutup kacamata hitam separohnya itu. memandangi detil dari struktur wajahnya dan membandingkannya dengan apa yang terakhir aku ingat.

Sampai akhirnya langit seperti mendengarkan doaku. Mendung beranjak pergi dan rintik sudah tak mengeroyok bumi seperti tadi. Aku tersenyum. Menutup gawaiku dan merapihkannya. Menandaskan cokelatku yang mulai mendingin dan sedikit menggumpal karenanya. Berdiri lalu beranjak mencoba meyakinkan diri bahwa pria yang tadi ada di depanku ada ilusi semata.

Ilusi dari buncahan rindu yang mendera di dada.

Aku melangkahkan kaki kecilku dengan semangat. Membuat hoodie kebesaran milikku terkadang ikut naik dan turun selayaknya ombak di lautan, well warnanya pun tak berdusta akannya. Meski sayang rambut dengan warna ash grey baruku tak bisa mengikuti karena lepek yang menempel atas keringat dan bekas basah tadi yang entah kenapa masih awet saja di sana.

Sampai ketika aku akan memasuki elevator di apartemenku, dadaku bergemuruh karena orang yang ku kira tertinggal di kafe tadi kini juga menapakkan kaki di permukaan yang sama denganku. Lagi, ia tak menekan tombol manapun setelah aku melakukannya. Membuatku hanya mati kutu menunduk begitu saja.

Positive thinking, Lee Donghyuck. Mungkin saja ia penghuni baru lantaimu. Masih bukan pria itu. Benakku. Walau logikaku menolak mentah-mentah.

Sayangnya, saat orang itu berdiri tepat di belakangku ketika aku akan memasukkan kode kamarku, aku menggigit bibirku takut dan ragu. Sebelum akhirnya memberanikan diri berbalik dan sedikit mendongak kecil karenanya.

"Kenapa?" tanyanya. Masih dengan tampilan yang sama dengan yang ku lihat sedari tadi.

Aku belum membuka suara. Melirik kanan kiri tak jelas, kemanapun asal tak menatapnya. Membuat pria itu sepertinya begitu muak dan menghela napas berat, sehingga wangi kopi yang yang ia minum menggelitik hidungku.

Dia melepas kacamata bulat hitamnya. Membiarkanku benar-benar seperti di serap oleh mimpi pada kenyataan yang ada karena dia benar-benar sosok yang ku kira dan ku tebak sedari tadi. Alis camar. Hidung paruh elang. Mata bulat. Bibir tipis. Lalu rahang tegas serta tulang pipi menonjol khas yang mungkin akan begitu sulit diduplikasi oleh orang lain begitu saja.

Pria itu menunduk. Membuatku sedikit mundur sampai harus menabrak pintu milikku sendiri.

Melihat aku yang seolah memberikan perlawanan, pria itu menahan belakang kepalaku dengan tangannya yang tak menggenggam cup kopi. Memberikan sebuah kecupan singkat di kedua bibirku yang masih terbuka karena kaget yang kurasakan.

"Aku pulang, Donghyuck-ah."

Dia tersenyum. Membuatku seolah benar-benar kembali ke rumah yang terasa hangat di sana setelah merasa asing, kosong tak berpenghuni karena tanpanya.

****

a/n: HAPPY BIRTHDAY MBAK SEMANGKA MAMA BERBAGI BAYI2 TENGIL DREAM SAYAAA :** suikarii!!

selamat tambah tua ya mbak, ingat sudah bukan bocah lagi wwwww walaupun papa jae yang lebih muda terlihat lebih dewasa dan bayi2 kita yang lebih tinggi dari kita /nangisdipojokan

walau mustahil, semoga kita ga chibi lagi wwww semoga semua yang diharapkan dikabulkan, semoga inget uhukcomebackuhuk jangan mentang2 Mark durhaka jadi anak pakai peluk-peluk mbak2 di luar sana jadi mbak batal comeback wwwww jangan lupa untuk terus berjuang memertahankan gethekuhukjaemarkuhuk johnil meski taeil lebih suka mamanya daddy johnny.

yausdah segitu saja doa saya, keburu jam 12 dan tanggal 13 mei kelar wwwww

bubai~~

Takadul [MARKHYUCK]÷Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang