Sebatas Itu

2.8K 270 21
                                    

MarkHyuck

gs! Haechan

Angst. Slight! JaeChan

Lokal High School!AU. MarkPOV!

Dont Like Dont Read

****

"Kak, jadi cowok jangan letoy dong."

Katanya sembari menempelkan minuman kaleng dingin ke pipiku. Segera ku teguk hingga tanggas separoh dan menoyornya setelah ia sudah duduk dengan benar.

Gadis itu melotot tak terima. "Cuma ga beruntung." Alibiku.

"Biasanya juga ga pernah dapat gol. Mubadzir itu pinalti. Kali di kasih ke Kak Jaehyun bisa masuk."

Aku memutar bola mataku. Tak peduli. Kelerengku kembali lurus ke depan menatap beberapa teman kelas lain yang tengah menggiring bola di kegiatan akhir semester sekolah.

"Bear," Panggilku. "Apa?"

"Pupusin deh harapan dapat Kak Jae." Dia menatapku dengan satu alis terangkat penuh tanya. Aku menandaskan minumanku dan berdiri dengan sedikit perenggangan.

"Kak Jae sukanya gadis anggun. Ga kayak kamu. Tomboy, begundal, mirip beruang lagi."

Aku segera ancang-ancang berlari saat gadis itu bangun dan mulai mengejarku. Membiarkan tawa kami berbaur dengan ramainya koridor sekolah siang itu.

****

Gadis di sampingku menggerutu. Mengoceh kenapa aku masih sempatnya tak menggubris ucapannya dengan serius bahkan tak memperhatikan jalan dan hanya fokus pada novel di tanganku.

Aku hanya berdeham kecil. Sesekali melirik jalan dan kembali membaca beberapa baris kata yang tertera. Novel misteri yang begitu penuh teka-teki. Meski sejujurnya aku sudah membaca awal dan akhirnya namun bagian tengah begitu menggoda untuk tidak dilewatkan. Menegangkan. Begitu memacu rasa penasaranku untuk -

"Aw!!"

Menutup bukuku dan membatasinya dengan ibu jariku. Menoleh ke kiri dengan reflek melotot pada bocah cengegesan, yang baru saja menendang tulang keringku, dan kini sudah berlalu beberapa langkah di depan.

"Salah siapa acuh begitu."

Menghela nafas berat. "Apa maumu, Bear?"

Aku menyusulnya. Masih dengan ibu jari yang membatasi halaman terakhir yang ku baca. Gadis itu bergumam panjang. Sok berpikir meski aku tahu tak hal urgent ataupun begitu serius di kepalanya saat ini.

"Tanggapi omonganku?"

Berdecih. "Omongan ga mutumu itu."

Satu tendangan lagi di tulang keringku. "Sakit astaga!!" Rutukku.

Aku hampir membalasnya kalau tak melihat bocah itu sudah jauh mendahuluiku dan kini sudah duduk manis di kursi halte yang mulai sesak. Aku berdecak sebal. Mengacak rambut potongan sebahunya sebelum mengambil duduk di sebelahnya.

Selalu seperti itu.

Hubungan kami selalu sebatas itu.

****

Ibuku pernah berkata terkadang ada hal yang sulit diraih meskipun itu tepat di depan mata. Sesuatu hal yang sangat berharga dan sangat sulit untuk hanya dimonopoli oleh diri sendiri. Seperti Haechan.

Aku pertama bertemu dengannya saat ujian akhir semester pada semester yang lalu. Dia satu tingkat di bawahku. Masih pertama kali masuk ke sekolah menengah atas. Meski awalnya ku merutuk karena sistem acak antara anak tahun kedua dengan anak tahun pertama, tapi semester kemarin aku sangat bersyukur atasnya. Karena aku bisa bertemu bocah itu.

Aku memanggilnya bear.

Beruang.

Bukan! Dia tak semenyeramkan dan semenakutkan beruang. Dia juga tak bertubuh gempal pendek seperti binatang itu. Gadis itu lucu. Badannya kecil dan mungil. Hanya karena lemak pipinya yang sepertinya tak mau pergi membuat wajahnya begitu menggemaskan.

Kalaupun beruang, dia lebih sejenis dengan winnie the pooh daripada beruang yang ada di kartun Marsha kesukaan adikku.

Tapi alasanku menyebutnya demikian karena tingkahnya yang bar-bar. Berandal. Dia bahkan pernah dengan usilnya memasukkan permen karet bekas ke dalam sepatu teman seangkatannya. Alasannya? Dia sebal dengan orang tersebut. Hanya itu. tak lain. Benar-benar bocah begundal.

Belum lagi gayanya selama 6 bulan aku mengenalnya. Jaket yang diikatkan di pinggang. Celana tanggung. Kaos oblong kebesaran. Topi terbalik. Sepatu kets. Sampai aku merasa hapal dengan semua itu kala melihatnya di ekstrakulikuler sore hari.

Ah! Jangan lupakan permen karet yang selalu ia kunyah.

- dan ia tempelkan sembarangan nantinya.

Kami tak langsung akrab awalnya. Dia bocah menyebalkan dari awal, yang sok-sokan bersih saat ujian berlangsung. Menatapku sanksi saat bertukar jawaban dengan teman sekelasku yang juga mendapat tempat ujian yang sama. Berkata dengan penuh percaya dirinya akan melaporkan pada pengawas jika aku kembali melakukan kegiatan contek-mencontekku atau mendapat tambahan roti saat istirahat ujian selama satu minggu.

Dan berpikir bahwa ini situasi baru yang sepertinya asyik, aku mengiyakannya, untuk berhenti menyontek.

Satu hal yang sedikit ku sesali dari taruhan kami adalah ternyata bocah itu berani menawarkan roti, yang memang diberikan oleh pihak sekolah saat ujian berlangsung, karena dia tak menyukai isi keju yang ada di dalamnya.

Dan hal tersebut baru ia katakan setelah kami dekat seminggu setelah ujian selesai.

Kami dekat. Sifatnya yang supel dan ternyata dia menjadi junior yang diampu kawan dekatku di kelas tutor membuat kami semakin dekat sampai sekarang ini.

Rumahnya di lain kota. Melewati rumahku hingga aku memutuskan meninggalkan motor tuaku dan menaiki bis bersama setiap harinya.

Namun sekali lagi hubungan kami hanya sebatas itu.

Tetapi pada suatu sore ketika senja sudah memudarkan jingga dan ungu yang membaur menjadi satu, aku bertanya padanya.

"Bear, gimana kalau aku ga suka kamu naksir Kak Jae gegara aku suka kamu?"

Dia menoleh padaku. Wajahnya yang disinari berkas cahaya yang masuk lewat jendela bis yang sepi itu memancarkan aura gambaran malaikat pada film-film romansa, membuatnya beribu kali begitu cantik dengan kulit tan bersinarnya.

Sayangnya, bibirnya mencebik.

Bukan mencebik ingin ku kecup sampai habis,

Namun mencebik mencemooh. Disusul dengusan kecil yang mampir dan mengetuk lancang gendang telingaku.

"Lupain aja kalau gitu, Kak. Kan Haechan sukanya Kak Jae, bukan Kak Mark."

Lalu sisa sore itu ku telan tawa menuju bahagiaku dan menelan pahit dengan kecut yang mampir.

Takadul [MARKHYUCK]÷Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang