2

12.5K 649 5
                                    

BAB 2

....

Berlari cepat untuk masuk ke kamar. Mengabaikan bik Imas yang dengan muka bingung melihatku lari sambil menangis.

Brak

Aku menutup kuat pintu, bersandar dan merosot dengan air mata yang mengalir deras. Duniaku, hancur tanpa sisa. Dia yang kubanggakan, ternyata memasang perangkap untuk membunuhku dengan cara sadis.

Rasanya, dadaku semakin sesak. Dengan perlahan, aku berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

Byur

Aku butuh pelampiasan dan memilih meratapi nasib buruk ini dengan guyuran air shower. Dengan terus terisak, tangan gemetar ini mengambil ponsel dan melihatnya.

[Sayang, lagi ngapain?]

[Kembali bobo, ya?]

[Balas dong. Kangen tahu!]

[Yang,]

[Sayang.]

[Ya udah. Selamat bobo lagi, sayangku. I love you. Tunggu aku pulang, kita akan mengarungi hidup bahagia bersama.selamanya.]

Miris! Aku hanya tersenyum miring membaca tiap chat dari mas Sandy. Kalimat ulangan yang membuatku selalu nelayang, dulu. Tapi untuk kali ini, rasanya memuakkan. Kebahagiaan itu akan terasa jika dua insan itu saling percaya dan berbagi suka duka bersama, bukan membodohi orang bodoh.

Prak!

Kubanting benda pipih itu ke sudut kamar mandi. Sesaat terus menatap benda itu hingga ....

"Bagaimana caraku nanti menyambut kepulanganmu, Mas. Hiks!" Aku menangis sejadi-jadinya. Memeluk lutut dan membiarkan tubuh ini tersiram air dengan intens.

....

"Non, makan dulu."

Sudah ketiga kalinya bi Imas mengetuk dan mengucapkan kalimat yang sama dan aku, pun masih sama, diam tanpa suara.  Bukan rasa lapar yang aku rasakan, tapi kehancuran yang membuat tubuh ini mati sesaat.

Meringkuk di dalam selimut, dengan mata yang membola dan terus berair sembari tangan ini memeluk bingkai foto 10R, foto pernikahan kami. Aku benar-benar depresi. Mau dibawa kemana pernikahan ini. Setelah pingsan dan tersadar sendiri saat di kamar mandi, aku memutuskan untuk berpindah di ranjang.

"Haruskah kita berpisah, mas?"

Aku sangat mencintainya. Bagaimana bisa kami berpisah, apalagi mengingat dia yang banyak berkorban demi aku. Aku sepertinya ngga akan sanggup hidup tanpanya.

Tapi,

Kebohongan ini? Apa masih bisa ditolelir?

"Non, tuan menelpon dan menanyakan kenapa ponsel anda tidak aktif?"

Tersenyum getir. Dia benar-benar membuatku susah. Apa benar dia mengkhawatirkanku? Atau hanya karna merasa bersalah? Atau ... pasti karna sandiwaranya belum selesai.

Perlahan aku duduk, menatap foto pernikahan kami dan menciumnya lembut. "Tersadar, di sini aku yang salah, Mas. Salah karna masuk dalam kehidupanmu, salah karna aku miskin, ngga bisa kasih kamu keturunan dan pasti selama ini sangat membuatmu susah dengan tingkah nyonya besar yang berkuasa dan manja. Aku yang salah telah menjadi orang yang bodoh dan tidak tahu malu." Kuseka air mataku. "Aku terima hukumanmu, Mas!" Setelahnya, foto itu kukembalikan di atas nakas dengan posisi tertutup. Rasanya aku ngga sanggup melihat wajah mas Sandy yang tersenyum tulus dan mengabungnya dengan insiden ini. Sangat menyakitkan.

"Non,"

Aku membuka pintu dan mendapati Bik Imas yang menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Ya ... mungkin mata bengkak dan merah, air mata yang masih membasahi pipi dan ingus yang naik turun membuatnya bingung. Karna, ini kali pertama aku menangis separah ini. Bahkan, dulu saat aku minta cerai dan menyuruh mas Sandy menikah lagi karna ngga tahan cemoohan keluarganya yang bilang kami sudah setahun menikah dan belum di beri momongan, aku tak sehisteris ini menangis. Jelas beda situasinya.

Rasanya ingin berbagi, bahkan teriak, tapi ini adalah masalah keluarga kami dan orang luar dilarang mengetahuinya apalagi ikut campur. Hanya bisa curhat pada yang kuasa di sepertiga malam nanti.

"Tuan," Bik Imas menyerahkan ponsel jadulnya kepadaku. Rasanya berat untuk menerimanya, tapi aku harus sedikit lagi mengorek informasi supaya ngga salah ambil langkah.

'H-halo, Mas.'

'Alhamdulilah,' terdengar suaranya sangat lega. Dia benar-benar mengkhawatirkanku. 'Sayang, kenapa ponselmu--'

Masuk ke dalam bak mandi, tadi pas mandi ngga sengaja kebawa." Bohongku sembari mencoba menetralkan suara. Ngga ingin dia yang di sana tahu kondisiku.

'Oh, nanti kita beli kalau Mas udah pulang, ya?' Aku mengangguk tanpa menjawab. 'Sayang, kamu beneran ngga papa?'

'Ngga. Ya udah, Masnya lanjut kerja. Aku mau tidur dulu.' Benar- benar ngga kuat bicara lama-lama sama dia.

'Ya udah. Pangeran ini mencintai putri tidur di situ. Assalamualaikum,'

'Waalaikumsalam.' Segera kuputus komunikasi, menyerahkan kembali ponsel Bik Imas dan kembali masuk kamar.

"Dua hari lagi, mas Sandy pulang. Aku harus gimana?"

Aku berjalan ke arah jendela kamar dan membukanya. Tubuhku langsung disambut angin malam yang sangat dingin. Biasanya, jika aku berdiri di sini, mas Sandy akan  memelukku dari belakang. Sekarang, pasti dia sedang memeluk istri dan calon anaknya. Yah, dia pasti sedang bahagia, terus tersenyum dan ... tangan kekarnya pasti sedang mengusap perut yang membuncit itu.

"Ah! Astagfirullahalazim," air mataku kembali mengalir. Begitu sakit walaupun hanya membayangkan kebahagiaan orang yang kita cintai bersama wanita lain. Rasanya ngga sanggup melihat dan mendengar pengakuannya nanti yang entah kapan.

Memeluk diri sendiri dengan mata menatap langit yang gelap. Anak yatim piatu ini begitu ingin melihat dua bintang di langit. Ayah dan ibu, Anggi rindu.

Berjalan ke arah meja rias, menatap diri dengan intens. Apa mas Sandy berpaling karna aku jelek? Ngga, banyak yang bilang aku cantik, apalagi mataku yang bulat dengan bulu mata yang lentik katanya terlihat mempesona. Apa aku gendutan? Jawabannya tidak. Aku tergolong ideal. Tinggi hanya 160cm dengan berat badan 55kg. Apa aku terlalu manja? Ah ... sepertinya itu.

Aku berjalan ke ranjang. Duduk di tepi dan mengedarkan mata kesegala arah. Kamar ini menjadi saksi kebahagiaan kita selama dua tahun. Hanya ada canda, tawa dan kebahagiaan. Rasanya seperti insiden ini hanya mimpi. Aku berharap hanya mimpi.
Mas Sandy begitu mencintaiku dan ngga mungkin mendua.

....

"Assalamualaikum, sayang," panggilnya berteriak kegirangan. Tiga hari dalam keterpurukan membuatku hanya bisa terbaring lemas di ranjang. Begitu malas makan apalagi mandi.

"Sayang," di membuka pintu kamar dengan wajah ceria, setelah mata kami beradu, ekspresinya berubah. "Sayang, kamu kenapa?"

Kugigit bibir. Ingin rasanya meluapkan emosiku. Bertanya apa yang sebenarnya terjadi sampai puas atau langsung mengemasi semua pakaianku dan pergi.

Pergi? Bodohnya aku yang memikirkan hal itu. Keluar dari rumah ini, aku akan jadi gelandangan. Benar, aku harus memikirkan semuanya dengan pikiran yang sehat.

"Sayang," tangan kekarnya menyentuh pipiku dan membuatku tersadar. Wajah datarku segera berganti jadi wajah ceria.

"Iya, Mas." Aku mulai duduk.

"Kamu pucat, kamu sakit?" Dia mengecek suhu tubuhku di kening dan leher. "Anggi sayang, kamu demam." Wajahnya nampak sangat merasa bersalah. Dengan segera menarikku dalam dekapannya. Yang aku rasakan adalah, jijik. Aku segera melepas pelukan itu.

"Kamu kenapa?" Hari ini aku memang sangat berbeda, karna situasinya sudah berbeda. Dulu, aku selalu menyambutnya di depan pintu, meminta gendong ala pengantin baru sampai ke kamar dan menyalurkan rindu, tapi sekarang, dia pasti sudah cukup bersenang-senang dengan istri keduanya dan aku ngga akan menghilangkan bekas kebahagiaan mereka.

Aku langsung lari ke kamar mandi untuk menangis. Menumpahkan semua kekesalan, rasa kecewa dengan menangis. Sudah berapa lama aku dianggap bodoh begini?

"Sayang, kamu kenapa?"

Benar-benar aku belum bisa menguatkan diriku untuk menghadapinya.  Apa yang harus aku lakukan?

...tbc...

KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang