6

11.7K 589 8
                                    

BAB 6

....

Dari kejauhan, terlihat Rina, mama mertua dan mbak Rika berjalan cepat ke arahku. Tiba-tiba, jantung ini berdetak dengan sangat cepat. Pembullyan akan segera berlangsung.

Rina langsung menarik tanganku, membuat diri ini yang sedari tadi duduk dengan perasaan harap-harap cemas karna kondisi mas Sandy, berdiri dan didorong ke sudut ruang tunggu.

Plak!

Aku yang ngga ada persiapan pertahanan, menerima dengan ikhlas tamparan di pipi kanan. Rasanya, sakit. Aku menatapnya sembari menangkup pipi yang terasa ngilu.

"Dasar perempuan sial! Bagaimana bisa kamu selamat sedangkan mas Sandy terluka parah, hah?" Dia berteriak di depan mukaku dan ini tidaklah sopan. Biar bagaimanapun, aku lebih tua darinya. Tapi apalah kata sopan jika aku tak pernah dianggap ada.

Plak!

Belum sempat menjawab, tamparan dari mbak Rika menambah rasa sakit.
"Harusnya kamu saja yang kritis, kenapa harus Sandy?"
Ibu hamil yang membuat bodinya agak melebar itu melotot dengan muka merah, menyeramkan.

"Mas Sandy--"

Plak!

Tamparan ketiga mendarat dengan sangat-sangat sempurna. Membuatku merasa kayak ada nyeri-nyerinya di tepi bibir. Pasti sobek dan berdarah. Mereka ngga memberiku waktu untuk menjelaskan, dan itu rasanya ngga adil.

Oh!

Apa ini juga yang dirasakan mas Sandy? Tapi kejadian yang aku alami dan dia itu beda. Dia harus dihukum karna kebohongan dan aku malah kena hukuman atas apa yang ngga kulakukan. Ngga adil.

Tiga tamparan membuatku muak. Andai aku ngga mikir tiga orang ini adalah dia yang lebih tua, lagi hamil dan anak kecil, ingin rasanya menampar balik.

"Mas Sandy dari awal ngga pantas bersanding dengan kamu. Kamu itu hanya perempuan sial yang dipungut untuk jadi seorang putri. Perempuan mandul yang menjijikkan." Rina mengomel sambil menjambak rambutku.

Aku semakin terpojok. Rasa sakit pada kulit kepala membuatku lama-lama terduduk di lantai. Kepasrahanku membuat mereka bertiga seperti di atas awan. Memukul, menjambak bahkan menendang, mereka lakukan ke tubuh ini. Hanya bisa menutup bagian muka, aset yang sangat berharga.

Ngga lama, hanya suara umpatan yang terdengar tanpa adanya kontak fisik, setelah mendongak, mama mertua dipeluk papa mertua, mbak Rika di peluk dari belakang oleh suaminya, Mas Ridwan dan Rina diamankan oleh suster jaga.

"Lepas, Pa. Perempuan sialan itu mau membunuh Sandy." ucap Mama Mertua yang matanya masih menyorotkan kemarahan.

"Pergi dari kehidupan Sandy. Kamu hanya pembawa sial!" Mbak Rika ngga kalah histeris.

"Perempuan hina, mati saja kamu! Lepaskan! Biar gue bunuh pembunuh kakak gue!" Rina terus meronta.

Aku hanya bisa memeluk lutut, menaruh wajah berantakan diantara lutut dan menangis.
Aku selalu salah.

...

"Minta di doain cepat mati emang mereka."

Aku tersenyum simpul. Rindi sahabatku, tempat curhat paling aman untuk menenangkan pikiran adalah di rumahnya. Setelah kejadian di rumah sakit, papa mertua menyuruhku pergi demi menghindari amukan dari trio mak lampir. Antara tega ngga tega, akupun pergi ke rumah Rindi.

"Tapi, gue ngga nyangka kalau Mas Sandy menduakan elo, mengingat perjuangan buat dapatin elo itu susah banget."

Aku mengangguk setuju. Rindi adalah saksi hidup perjuangan cinta mas Sandy. Rasanya juga ngga percaya kalau aku diduakan.

KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang