13

10.4K 550 10
                                    

BAB 13

●●●

Para wanita berkemas cepat, sangat siap membawa Dea dan bayinya ke rumah Sandy, sedangkan para pria, harus pasrah dan kembali ke kantor masing-masing. Mending mengurusi map-map yang bertumpukan daripada harus berdebat dengan para istri yang cerewetnya level atas. Bukan ngga tegas, hanya mengalah demi telinga.

"Ngga papa nih, Ma?" Dea berakting.

"Ngga papa. Sandy suamimu, kamu harus ikut dia kemanapun dia pergi." Brenda menggendong si bayi, Rina menenteng Tas, Salwa dan Rika membantu Dea berjalan.

Mereka pun meluncur ke rumah Sandy.

....

"Sandy, San," panggil Brenda seperti Tarzan.

Bi Imas langsung berlari dari dapur dan menghampiri rombongan mak lampir. "Nyonya besar,"

"Sandy mana?"

"Ada di atas, Nyonya. Di kamar." Bi Imas rada ketakutan dengan aura negatif yang dibawa para wanita di hadapannya.

"Sandy!" Brenda kembali berteriak. Malah semakin keras dan mengelegar. "Sandy!"

Ceklek

Matanya membulat. Tenggorokannya tercekat, sakit. Setelah membuka pintu, didapatinya Sandy yang berbaring berbantal paha Anggi yang mengelus rambutnya dengan ukiran senyuman yang melebihi kapasitas.

Mendengar pintu terbuka, Anggi menoleh dan langsung bertatap dengan mata membulat Brenda.
"Mama,"

"Ngapain kamu di sini? Ngapain?"

Sttt

Anggi menaruh jari telunjuknya di depan bibir, mengode mertuanya itu untuk tidak berteriak yang akan membuat kenyeyakan suaminya terganggu.

Mata Brenda membulat. Merasa dilawan dan dipermalukan. ""Perempuan sialan, ngapain kamu di sini!"

"Pelankan suaramu, Ma. Mas Sandy lagi istirahat." Anggi mengusap lebih lembut Sandy yang menggeliat pelan.

Mendengar teriakan Brenda, semua masuk ke kamar Sandy, termasuk Bi Imas yang sangat Was-was majikannya dibully.

"Anggi, kamu?" Salwa ngga percaya, Anggi, wanita itu kembali walaupun sudah tahu kebenarannya.

"Apa kalian bisa pelankan suara, sedikit saja." Anggi tersenyum. "Mas Sandy lagi istirahat." Mencoba untuk tetap tenang.

"Elo ngatur kami!" Rina ngga terima.

Anggi menggeleng. "Hanya mengingatkan kalian yang mungkin lupa kalau Mas Sandy itu butuh banyak istirahat, waktu sunyi dan menenangkan, makanya aku bawa pulang. Tapi kalian datang dan suasana tenang ini menjadi seperti hutan yang Tarzannya lagi berpesta, berisik!" Ingin rasanya Anggi tertawa saat melihat perubahan ekspresi orang-orang di hadapannya.

"Kamu--"

"Anggi memutuskan kembali pada Mas Sandy." Anggi memotong ucapan Rika yang dia tahu betul, pasti akan mengumpat.

"Karna udah biasa dengan kehidupan mewah. Ngga kuat harus kembali miskin, di jalanan dan menjadi gembel, kan?" Rina berucap sadis. Tentengan Tasnya dijatuhkan ke lantai.

Anggi masih tersenyum dengan tangan yang terus mengelus rambut suaminya, membuat Mata Dea merah, berair dan membola. "Bukan demi harta, tapi kebahagiaan hidup, kekuatan cinta, keutuhan rumah tangga dan ... bayi yang aku kandung."

Semua mata semakin membulat. Bi Imas tersenyum manis. Air matanya mengalir. Penuturan majikannya itu adalah kabar yang paling bahagia untuknya.

"Anggi ngga mandul. Anggi hamil."

"Ngga mungkin." Dea berteriak. Membuat Sandy terbangun dari tidurnya.

"Sayang," ucapnya sembari menatap Anggi yang langsung menatapnya juga.

"Mama datang," ucapnya lembut.

Sandy perlahan duduk. Menatap ke arah para Wanita yang mengunjungi kediamannya.
"Ngapain Mama bawa Dea ke sini?" Sandy langsung menggenggam tangan Anggun. Takut Anggi marah dan kembali meninggalkannya.

"Dia akan tinggal di sini mulai sekarang."

"Ngga, Ma!" Sergah Sandy dengan tegas. Menoleh sesaat pada Anggi yang menunduk. Dia ngga mau lagi membuat istrinya sakit hati. Digenggam erat tangannya, mereka bertatapan. "Mas ngga akan setuju dengan ide gila--"

"Biarkan dia tinggal di sini. Dia juga istrimu."

Mata Sandy melebar. Ngga menyangka istrinya akan berucap seperti itu. Anggi kerasa perutnya melilit dengan hati yang kembang kempis. Ngga kepikiran kalau Dea akan masuk lebih dalam. Dia kira, hanya akan adu argumen dengan mertuanya.

"Ngga!" Tolaknya langsung. "Ingat, hanya ada Sandy dan Anggi beserta anak-anak kita kelak." Sandy memelas. Membawa tangan Anggi untuk diciumnya. "Jangan memaksakan diri, Sayang. Mas hanya mau kamu."

"Sandy!"

"Sandy menolak. Biarkan dia tetap tinggal di apartement. Karna kami akan segera bercerai." Sandy menoleh ke arah Brenda yang terlihat sangat marah.

"Mas,"

"Ngga sayang. Aku takut kamu akan sakit lagi. Jangan ambil keputusan seperti itu. Aku akan segera menceraikannya."

"Ngga. Ngga, Mas. Aku ngga mau cerai. Kita sudah punya anak. Kamu jangan egois dengan membuangku." Dea berteriak. "Anggi, kamu guna-guna suamiku, kan?" Tuduhnya.

Anggi menatap datar Dea, kemudian tersenyum. "Bukan tipeku yang menghalalkan cara untuk mendapatkan sesuatu dengan cara menjijikkan seperti itu."

Dea semakin kesal. Dia berada diujung tanduk.
"Aku juga istrimu, Mas. Berhak atas kamu. Aku baru saja melahirkan anakmu."

"Aku akan bertanggung jawab menghidupi kamu dan si bayi, tapi tidak dengan tinggal di sini bersama kami."

"Kenapa? istri kamu malu ngelarang? Bilang sama dia. Dia datang ngga bawa apapun. Mikir!" Rika naik pitam.

"Cukup, Mbak. Kenapa sih kalian?"

"Mas, Mas itu bodoh banget, ya. Perempuan sial itu hanya memanfaatkan Mas."

"Anggi bukan perempuan sial. Dia istriku, perempuan yang aku cintai dan sedang mengandung anakku."

"Bohong!" Brenda ngga percaya. "Dia mandul."

"Terserah. Intinya, Sandy ngga setuju Dea tinggal di sini."

"Setuju apa ngga, Dea akan tetap tinggal di sini, titik!"

"Ma--" suara Sandy mulai meninggi. Anggi tahu, suaminya telah sampai puncak emosinya. Jika ini terus berlanjut, perpecahan keluarga akan terjadi.

Memejamkan mata dan mengambil yang terbaik. "Baiklah, Dea akan tinggal di sini," ucapnya setelah membuka mata.

Mata Sandy membulat, sedangkan yang lain tersenyum kemenangan.

Anggi mengangguk pada suaminya dan tersenyum, mengode bahwa dia akan baik-baik saja.

"Sayang,"

"Jangan bertengkar lagi, Mas. Aku pusing." Seketika Sandy mengingat pesan Dokter bahwa istrinya ngga boleh stres.

"Istirahat sekarang." Sandy membantu Anggi berbaring. Mengelus rambutnya dan memberi kecupan di kening. Mengusap perut rata itu dan berbisik di depannya. "Anak ayah harus kuat." Anggi tersenyum dan memejamkan kata. Rasanya, tubuh dan hatinya benar-benar lelah. Dia harus menyiapkan mental baja untuk menghadapi madunya.

"Kalian tunggu apa lagi? Sudah mendapatkan apa yang kalian mau, kan? Sekarang keluar dari kamarku." Usirnya tanpa menatap. Rasa kesal yang begitu amat besar.

Para wanita perkasa dan Bi Imas keluar dengan beraturan.

"Kita menang!" Rina berseru kegirangan.

Dea menatap seisi rumah megah Sandy, senyumnya mengembang. "Aku sudah masuk, aku akan menjadi satu-satunya." Batinnya mengebu.

...tbc...

KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang