BAB 19
●●●
Tiga bulan berlalu dengan damai. Anggi dan Sandy melewati masa-masa menyiapkan diri menjadi orang tua dengan bahagia. Anggi sudah tidak nyidam yang aneh-aneh, hanya moodnya masih naik turun. Sandy sangat memanjakannya.
Dea, layaknya pajangan yang ditaruh di gudang. Tidak pernah terlihat bahkan tersentuh. Dia lebih nyaman di kamarnya dengan terus memikirkan cara menyingkirkan Anggi daripada harus melihat kemesraan yang sengaja Anggi pamerkan.
Brenda fokus pada Salwa dan Rika yang sudah lahiran. Dia sekarang tidak banyak tingkah. Bertemu Anggi tetap mengacuhkannya tapi kadang curi-curi pandang untuk menatap menantunya itu. Pikirannya pun kadang tertuju pada Anggi dengan segala tingkah lakunya. Ada rasa sesak mengigat kejahatan yang dia lakukan. Apalagi perkataan tentang 'Perempuan mandul' yang kenyataannya menantunya itu sekarang sedang hamil.
Perut Anggi mulai terlihat membuncit. Kehamilan empat bulan membuatnya malah semakin manja, mau menang sendiri dan untungnya, Sandy sayang.
"Mau makan buah?" Sandy menawarkan pada Anggi yang duduk di sofa kamarnya, menonton TV.
Anggi mengeleng. "Pengen makan sayur."
"Sayur apa?" Sandy duduk di sisinya dan mengusap perut istrinya. Benar-benar bahagia mengingat sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.
"Sayur kangkung tumis pakek terasi." Anggi menoleh pada Sandy. "Tapi buatan Mama. Mama mau ngga, ya?"
Sandy tersenyum. "Pasti maulah, Sayang. Kan buat cucunya." Sandy tersenyum manis.
"Kamu tahu sendiri 'kan, Mas. Mama gimana sama aku." Anggi menyandarkan kepalanya di pundak Sandy.
"Tapi, hampir tiga bulan setelah kejadian itu, Mama ngga banyak berselisih sama aku."Kejadian?" Anggi mengangguk. "Kejadian apa?"
"Setelah Mas marahin Mbak Rika sore itu, Mama dan yang lain datang ke rumah. Marahin aku bahkan nampar."
Mata Sandy membulat. Dia kaget. "Nampar?"
Anggi mengangguk lagi. "Tapi setelah aku lawan dan bawa tangan Mama ke perutku, setelahnya Mama bungkam sampai sekarang. Tahu ngga, Mas. Aku kangen omelan Mama."
Sandy mengecup kening Anggi. Istrinya itu aneh. Kangen dengan omelan yang harusnya disyukuri karna mulai ngga terdengar lagi.
Oek ... oek.
Anggi menarik tubuhnya. Bertatapan dengan Suaminya. "Adel, Mas." Adel adalah nama anak Dea. "Ambil gih!"
"Kamu aja. Kalau Mas yang ambil nanti kalau tidur Mas dikasih punggung." Sandy membuat Anggi manyun. Mood hamilnya membuatnya sangat posesif pada Sandy.
"Aku nyuruh ambil anaknya, bukan peluk Mamanya." sewot Anggi. Setelah Anggi marah besar hinga mencuekinya selama tiga hari, Sandy benar-benar berhati hati. Anggi marah saat Sandy masuk mengambil Adel, malah si Dea ambil kesempatan narik Sandy hingga jatuh di atas tubuhnya. Anggi yang masuk langsung auto marah besar. Sudah di jelaskan, Anggi tetap tidak mau mendengar sampai Sandy pasrah dan diam.
Hingga malam ketiga pertengkaran mereka, Anggi luluh sendiri karna Rindu, katanya. Saat Sandy tidur, Anggi menarik tangan Sandy, membawanya ke perutnya. Sandy tersenyum tapi masih diam saja.
"Mas, jangan pura-pura tidur."
Sandy langsung mengelus perut Anggi. "Sudah ngga marah?"
Anggi mengeleng. "Capek! Mas, peluk." Manjanya. Dan dengan senang hati, Sandy mengikutinya. Mereka pun damai.
"Mas udah jelaskan."
"Tetap aja kesel."
"Jadi sekarang, kamu yang ambil Adel, ya?"
Anggi mengangguk. Adel dan dia sudah sangat dekat. Bahkan, Anggi sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.
"Yakin aku yang ambil,Mas?"
"Yakin, Sayang."
"Kamu ngga kangen gitu sama istri keduamu?"
Sandy menghela napas beratnya. Istrinya kadang membuatnya kesal. Nanti jika dia menjawab 'kangen' istrinya itu pasti akan marah besar dan jika dia jawab 'tidak' istrinya akan semakin mengodanya.
"Sayang," suara Sandy lemah. Dia benar-benar lelah dengan mood istrinya yang mau tidak mau mengharuskannya bersabar.
Anggi berdiri dan sebelum pergi mengecup kilat pipi suaminya. "Bye!" Sandy hanya bernapas lega.
....
"Adel," panggil Anggi tepat pintu kamar dia buka. Terlihatlah sosok Adel yang sudah empat bulanan berbaring di sisi Dea yang tertidur pulas.
Anggi mengeleng. Dea benar-benar tidak melakukan tugasnya sebagai ibu. "Sama Tante, Ya!" Anggi mengendong Adel. Selangkah maju, Anggi berhenti. Senyum jahilnya mengembang. Dengan gerakan perlahan, Anggi melepas popok Adel yang sudah penuh dengan pipisnya. Setelahnya, menaruh tepat di atas muka Dea. Sambil terkikik, Anggi melenggang pergi.
Pintu tertutup, Anggi mendengar teriakan Dea yang mengelegar. Secepat kilat dia berlari menuju kamarnya dan menguncinya.
"Kenapa?" tanya Sandy.
"Ada ular bodoh mengamuk." Adel diserahkan pada Sandy. Anggi kembali duduk di sisinya dengan mata yang menatap TV.
"Kamu apakan lagi Dea?"
"Kenapa? Marah?"
Sandy mengeleng. Dia segera mengalihkan topik dengan mencium kening Adel yang mulai tenang.
"Apa yang Mas rasain saat menggendong Adel?"
"Hmm?" Sandy rada gagap karna pertanyaan Anggi juga tatapannya yang intens. "Biasa aja." Memang itu yang dia rasa.
"Masa?"
"Kenapa sih?"
"Itu anak kamu kan, Mas? Kenapa biasa aja perasaanmu saat gendong dia. Harusnya ada rasa lain dong."
Sandy terdiam. Ada benarnya juga ucapan istrinya itu. Tapi yang dia rasakan hanya biasa. Senyum kalau liat wajah Adel yang menggemaskan. Dan saat Dea hamil juga, perasaannya biasa saja. Beda dengan perasaannya pada Anggi.
"Sudah kuduga! Dea melakukan hal bodoh lagi. Dia pasti menjebakmu, Mas. Adel bukan anakmu."
Sandy masih menatap Anggi yang mengebu-gebu. Dia juga berpikir sejak awal kalau itu bukan anaknya, tapi desakan keluarga membuatnya ngga berdaya.
"Dulu dia ambil Riko pakai cara lihatin foto Mas pas gendong aku dari dalam air. Pas di pantai itu."
"Terus?"
"Riko ninggalin aku. Dia mutusin aku. Sekarang, Dea mau ambil kamu juga, Mas. Dan dia dapat." Anggi bertatapan dengan Sandy.
Sandy kembali merasa berdosa telah menghianati istrinya. Tangannya meraih tangan Anggi dan mengecup punggung tangan itu. "Seluruh yang Mas punya hanya buat kamu."
Anggi mengangguk. "Anggi tahu Mas ngga salah. Dea benar-benar dendam kusumat sama aku." Anggi membelai pipi suaminya. Dia tersenyum manis. Suaminya dijebak dan salahnya hanya ngga mau konfirmasi. Anggi memakluminya. Semua karna cinta.
"Secepatnya Mas akan ceraiin dia."
"Keluargamu akan melarang, Mas."
"Mas hanya butuh kamu. Mas imam kamu. Mas kepala rumah tangga. Mas harusnya ngga lagi di setir oleh orang tua Mas."
Anggi masuk dalam pelukan Sandy bersama Adel yang sudah tertidur di pangkuan Sandy. "Kasih kesempatan Anggi buat nyari bukti kebusukan Dea. Anggi pastikan, Dea akan pergi sendiri dari kehidupan kita. Mas fokus kerja saja."
Sandy mengecup kening Anggi. "Kamu takut akan ada perpecahan?"
Anggi mengeleng. "Hanya ingin membalas perbuatan Dea yang sudah sangat keterlaluan."
"Ok! Jangan lupa siaga terus pada janin ini."
Anggi mengangguk dan merasa sangat nyaman dengan elusan tangan Sandy yang berada di perutnya. Senyumnya mengembang dan semakin mendekap tubuh suaminya. "Kita ke rumah Mama yuk, Mas. Pengen makan masakannya Mama."
Sandy mengangguk.
....tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]
RomansaKetika mempertahankan keluarga dari seorang pendendam yang tidak tahu malu.