BAB 1
....
Kehidupan rumah tanggaku menginjak dua tahun dan terbilang aman, nyaman, dan harmonis walaupun kami berdua belum diberi kepercayaan untuk merawat bayi lucu titipan tuhan.
Mas Sandy, suami tampanku memanglah yang terbaik. Sangat menyayangiku, melarangku bekerja, menaruh pembantu di rumah kami yang lumayan megah ini, dan hanya menyuruhku merawat diri untuknya. Kadang, aku akan tersenyum sendiri bila mengingat rentetan pesan yang diutarakan ketika akan keluar kota untuk membereskan kepekerjaan kantornya. Maklumlah, seorang CEO muda yang hebat.
"Sayang, jangan lupa makan, jangan lupa tidur siang, pokoknya istirahat, jangan kerja berat-berat, tapi nggak boleh juga mikirin aku dengan ringan, harus berat ya! Hari minggu jangan lupa ke salon, aku pulang, kita bakalan makan malam di restaurant favorit kita, okey?"
Dan aku hanya mengangguk manis dengan senyuman menawan. Dia benar-benar bisa mengasuh gadis 21 tahun ini. Setelahnya ... rumah megah ini sunyi selama seminggu. Begitu setiap bulannya.
"Non, makan malam dulu," Bik Imas mengetuk pintu dan langsung berucap, membuat konsentrasi komunikasi dengan mas Sandy buyar.
"Iya, Bik."
Kuletakkan benda pipih itu di atas nakas dan turun dari ranjang, tapi bunyi pesan masuk membuat pergerakanku berhenti. Kembali kuambil ponsel dan membacanya.
"Mas Sandy ini," gumamku sembari kembali berbaring mencari posisi enak dan mengurungkan niat untuk makan malam. Yang tercinta minta waktu sedikit lagi untuk menyalurkan rindu, katanya.
....
Aku kembali terbangun dengan terkaget, buliran keringat telah membasahi tubuh. Mimpi itu lagi. Kenapa setiap ngga ada mas Sandy di rumah, aku selalu bermimpi buruk. Mimpi yang mampu menguras otakku untuk memikirkannya. Mimpi yang entah apa artinya.
"Non,"
"Iya, bik." Aku segera beranjak untuk membuka pintu. Setelah membuka, aku meringis dan Bik Imas hanya tersenyum manis. "Makasih, Bik." Bik Imas mengangguk dan pergi.
Kembali masuk ke kamar terus membersihkan diri. Rencananya hari ini, aku mau berkunjung ke rumah ibu mertua, makanya menyuruh bik Imas membangunkanku pagi-pagi, biar ngga macet. Walaupun keluarga mas Sandy kebanyakan membenciku karna berbagai faktor, itu ngga bisa menjadikan patokan untuk membenci mereka.
"Cukup." Merasa sudah sedap dipandang, aku berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan keluar melalui pintu utama. Pak Soberi, sopirku sudah siap dengan mobil sedan putih yang mengkilat.
"Brangkat," ucapnya ala-ala dan sukses membuatku tersenyum.
Perjalanan cukup lancar. Walaupun kadang ada macet ringan, aku ngga merasa jenuh, chat romantis dari suami tersayang membuat kebahagiaan selalu.
Kadang ada pemikiran, mas Sandy 'kan katanya kerja, kok chat'an ngga putus gini. Hanya pemikiran, ngga akan aku kembangkan untuk mencari kebenaran, cukup merasa jadi wanita yang paling disayangi saja.
[Sayang, lagi ngapain?]
[Masih baring-baring di kamar.] Bohongku. Mengaku akan ke rumah mertua, laranganlah yang akan aku dapatkan. Tapi entah, benar-benar ingin sekali main ke rumah mertua.
[Kangen aku, ngga?]
[Ngga.] Aku tersenyum.
[Aku kangen kamu.]
[Itu derita kamu.]
"Buk, sudah sampai."
Aku mengangguk. Ngga ada niat membalas pesan mas Surya. Ponselnya kugenggam dan segera turun dari mobil.
Pintu rumah megah itu terbuka dan saat aku mengucap salam, ngga ada satupun yang menjawab. Akhirnya, aku berinisiatif untuk masuk tanpa disuruh.
"Assalamualaikum," kuedarkan tatapan kesegala arah dan mendapati kekosongan mahluk hidup. "Kemana semuanya?"
"Benarkah?"
Suara teriakan kaget itu membuatku yang dalam kesunyian tersentak kaget. Mengelus dada dan mencoba mencari arah suara itu.
Dapat.
Kamar ibu mertua. Akupun berjalan perlahan. Terlihat, pintunya terbuka sedikit. Dengan lancang aku mengintip, ada mama mertua, Rina, adik mas Sandy, Rika, kakak pertama yang sedang hamil besar, dan Salwa, istri kakak kedua, menantu di keluarga ini sama sepertiku, bedanya dia hamil dan aku ngga dianggap ada.
Nyeri hati kalau mengingat kembali pengorbanan yang aku dan suami lakukan. Aku yang hanya seorang yatim piatu dan miskin harus dicintai oleh orang atas seperti mas Sandy. Penolakan terjadi dan membuatku akhirnya menyerah, tapi tidak buat priaku. Entah apa yang dia lakukan, kami menikah dengan restu dan setelahnya tetap menantu hanyalah sebuah pajangan buatku.
Aku ikhlas, aku sangat mencintai mas Sandy dan bersyukur mendapatkannya.Aku berdiri tegak, mengambil ancang-ancang untuk mengucap salam hingga bisa berbaur dengan mereka. Tapi ....
"Kenapa kaget gitu, sih?" tanya Salwa yang tiduran berbantal paha mama mertua yang tangannya membelai rambut lurus itu.
"Rina bakalan jadi tante dari tiga keponakan yang pastinya lucu dong, ya?" Mata Rina berbinar. Nampaknya dia sedang bahagia.
Apa tadi Rina bilang? Tiga keponakan? Kan yang hamil hanya dua. Aku mengernyit. Menunda memberi salam demi menguping.
"Yap. Entah anak siapa dulu yang lahir. Aku atau Salwa, atau Dea." Rika berucap sembari mengutak-atik ponselnya.
Dea? Dea siapa? Apa suami mbak Rika poligami?
"Pasti muka anak kak Dea mirip kayak kak Sandy, ya kan Mam?" Pertanyaan Rina dianggukan mama mertuaku dan apa tadi aku ngga salah dengar.
"Mirip mas Sandy?" Otakku masih mencerna.
"Ngga sia-siakan si Sandy nikah sama adik teman aku, akhirnya dia ngasih cucu juga buat mama. Mengharap si gadis mandul itu mah, ngga bakalan buang-buang waktu."
Mataku membulat, kaget, shock berat. Mas Sandy menikah lagi? Sejak kapan? Memikirkan itu membuat tubuhku seketika lemas, hampir saja aku terjatuh, untung masih sempat berpegangan dinding. Nafasku sesak, dada ini terasa sangat nyeri, jantung berdetak lambat. Tak lama air mata mengalir.
Kugigit bibir bawahku, meredam tangisan. Aku akan sangat ditertawakan jika mereka melihatku yang telah tahu semuanya. Kondisi ini akan membuat mereka sangat bahagia.
Tarik napas, hembuskan.
Aku menguatkan diri untuk bersandar, masih sangat harus mendengarkan info yang sebenarnya sudah sangat menghancurkan hatiku.
"Iya. Kasian juga dia. Merasa di anak emaskan, padahal ... dasar gadis bodoh."
Air mata ini semakin deras. Mbak Salwa membodohkanku yang memang benar-benar bodoh. Rahasia sebesar ini disembunyikan sangat amat rapat oleh mas Sandy. Aku bodoh!
"Harusnya, kita kasih tahu dia, biar patah hati, bunuh diri dan mati." Saran Rika membuat tubuhku semakin melemah. Ngga kuat berdiri, tubuh ini merosot dan terduduk. Kupeluk lutut dan membenamkan wajah. Rasanya memang ingin mati saja.
"Sandy melarang. Terlalu cinta, dianya." Suara ibu mertua membuatku semakin terpuruk. Dia pasti akan semakin melupakanku. Siapalah aku, hanya sampah yang tadinya dipungut kemudian kembali dibuang. "Biar Sandy yang bilang sendiri. Lagian ... melihat Sandy bisa membagi waktu, mama senang." Sambungnya.
Membagi waktu? Apa pekerjaan di luar kota hanya alasan? Kedok? Tipu muslihat? Jadi seperti itu. Kurasakan ponsel dalam saku celana bergetar. Kuambil dan liat. Yah ... aku semakin terpuruk. Berdiri, berjalan pelan untuk keluar dari rumah beraura panas ini.
"Non," tegur Pak Soberi yang melihatku masuk ke dalam mobil. "Kok nangis?"
"Ngga papa, Pak. Kita pulang, ya."
Pak Soberi mengangguk dan kami pun pulang dalam kebisuan.
...tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]
RomantizmKetika mempertahankan keluarga dari seorang pendendam yang tidak tahu malu.