BAB 12
●●●
Dengan langkah tertatih, Sandy sangat bersemangat mengandeng tangan Anggi menuju poli kehamilan untuk USG. Dia benar-benar ngga sabar ingin melihat penghuni rahim istri tercintanya, buah cinta mereka yang menjadi kado terindah dalam hidupnya.
"Makasih, Sayang." Tiap sepuluh langkah, Sandy selalu mengucapkan kalimat itu, membuat pipi Anggi terus merona. Merasa wanita yang paling bahagia karna disanjung terus menerus.
"Iya, Mas. Ini buah kesabaran kita." Anggi semakin mempererat pelukannya pada lengan kanan Sandy. Dia juga bahagia, sangat.
"Maaf, Mas terlalu brengsek." Sandy menoleh, beradu tatap dengan Anggi.
"Anggi terlalu lemah."
"Ngga! Kamu berhak menghukum, Mas. Mas yang salah."
Anggi mengeleng. Mereka berbicara sambil terus berjalan. Mengabaikan banyak mata yang menatap mereka saat berpapasan di lorong rumah sakit.
"Anggi labil. Harusnya sedikit bersabar. Anggi cari penyakit sendiri.""Kita buka lembaran baru, lupakan semua. Kamu mau?" Sandy menghentikan langkah. Bergerak untuk berhadapan dengan Anggi yang tersenyum kemudian mengangguk. "Anggi ngga boleh tinggalin Sandy!" Anggi setuju dan mengangguk lagi. Sandy mengambil kedua tangan istrinya. Mengecup punggung tangan itu, setelahnya mengecup hangat kening wanita yang sangat dicintainya. Lagi-lagi, mereka mengabaikan mata orang yang lalu lalang. Menganggap dunia ini hanya milik berdua.
Pipi Anggi bersemu. Rasanya malu tapi suka. Dia tersenyum. Mata mereka kembali beradu. Kini giliran Anggi yang sedikit berjinjit untuk menyentuhkan bibirnya pada hidung mancung suaminya. "Anggi ngga bakalan tinggalin Sandy." Ucapnya setelah mengecup hidung suaminya.
...
"Mas, janin kita," Anggi tersenyum melihat monitor USG yang menampakkan janinnya yang masih berbentuk gumpalan."
Mata Sandy terus menatap monitor, tangannya menggenggam tangan Anggi, mencium tangan itu dengan air mata berlinang. Dalam hatinya, terus mengucap syukur atas rezeki yang di berikan Allah SWT pada mereka. "Terima kasih, ya Allah!" Lirih, tapi penuh penekanan.
"Jangan terlalu capek apalagi banyak pikiran ya, Bu. Janin usia begini masih sangat rentan." Anggi mengangguk antusias. Dia pasti akan menjaga titipan ini dengan sangat baik.
"Buat calon ayah, mohon lebih bersabar menghadapi bumil. Kadang, moodnya naik turun." Sandy mengangguk mantap. Tangannya terus bertaut dengan tangan Anggi.
Setelahnya, mereka memutuskan pulang tanpa pamit keluarga Sandy ataupun Dokter. Sandy memaksa ingin pulang.
"Jangan seperti ayah ya, Nak. Bandel!" Sindiran Anggi malah membuat Sandy tersenyum. Semakin menciumi perut rata Anggi. Ya, setelah sampai di rumah diantar taksi, Sandy langsung menarik Istrinya menuju kamar. Mendudukkannya di tengah ranjang, sedangkan dia berbaring miring, berbantal pangkuan istrinya dengan wajah yang berhadapan dengan perut. Mengusap, mencium bahkan berbisik entah apa.
"Hanya ingin lebih leluasa seperti ini." Sandy melingkarkan tangannya di pinggang Anggi. "Elus rambut Mas. Mas kangen belaianmu." Anggi tersenyum, tangannya langsung melakukan tugasnya.
"Kalau Mama dan yang lainnya nyariin?"
"Biarin aja. Mas ngga peduli. Mereka selalu mengusik rumah tangga kita. Untuk selanjutnya, jangan hanya diam kalau dibully, Mas ngga rela." Sandy menoleh menatap Anggi yang mengangguk mantap.
Anggi tersenyum, dukungan Suaminya sangat berarti dalam misinya. "Mas, Anggi boleh nanyak?"
"Apa?" Sandy kembali mengecup-ngecup perut Anggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]
RomantizmKetika mempertahankan keluarga dari seorang pendendam yang tidak tahu malu.