BAB 4
....
"Setelah ini mau ke mana, Sayang?"
"Ke pantai yuk, Mas." Ajakku yang membuat alis matanya bertaut. "Pengen aja." Klarifikasi sebelum dia menanyakan lebih banyak.
"Ngga mau ke Mall, beli ponsel?"
"Ngga." Jawabku cepat. Setelah membayar, mas Sandy menganggam lagi tanganku menuju mobil.
"Sesuai kemauan tuan putri." Godanya yang mampu mambuatku tersenyum tipis. Pangeran tampan ini begitu bisa mengoda, mengembalikan mood buruk menjadi baik. Bukan, ini karna aku terlalu mencintainya. Melihatnya sedih apalagi kecewa, adalah cambukan buatku.
Perjalanan terasa tenang dengan tangan yang terus berpegangan. Sesekali aku mencuri pandang ke arah mas Sandy dan pikiranku memikirkan kalau bolehkah kenyataan ini hanyalah mimpi buruk? Aku benar-benar ngga menyangka mas Sandy melakukan hal konyol seperti ini. Apakah aku harus bertanya? Atau menunggu dia mengutarakannya sendiri sebagai tanda penghormatan terhadap imam keluarga? Tapi kapan akan diungkap? Apa aku akan sanggup menunggu sampai waktunya tiba? Ini hati, bukan lukisan yang hanya untuk pajangan. Ini hati, untuk dikasihi bukan dihancurkan. Cintaku, menghancurkanku.
"Kenapa, hmm?" Aku mengeleng dan tersenyum tipis saat terciduk menatapnya. "Apa Mas semakin tampan?"
Aku terkekeh pelan. Narsisnya saat bersama membuatku benar-benar engan melepas dia. Tapi, seorang menantu yang ngga bisa memberikan keturunan dan ada menantu lain yang bisa memberikannya, menantu buruk itu pasti akan tersingkir apapun caranya.
"Mas selalu ganteng."
"Dan hanya kamu yang boleh miliki Mas."
Aku mengangguk antara setuju dan tidak. Setuju, aku mau itu, tapi kenyataan yang miliki kamu itu ada keluarga besarmu dan keluarga barumu. Mimpi pun akan sangat sulit untuk mengapaimu lagi. Terlalu hidup di zona nyaman ternyata membuatku benar-benar polos.
"Emang mau sampe kapan betah dimiliki cewek mandul kayak aku?"
"Stop, Sayang. Please, jangan sebut dirimu kayak gitu. Mas ngga suka." Dia menghentikan mobil di pinggir jalan dan menoleh menatapku dengan mata tajamnya. Yap! Dia paling ngga suka kalau aku merendahkan diri. Bahkan, dia akan marah pada keluarga besarnya kalau menyindirku, tapi kenapa dia tega menduakanku?
Aku tersenyum kecut. "Baiklah." Aku menatap keluar jendela, ternyata kita sudah sampai. Keluar mobil, berjalan tanpa alas menginjak pasir pantai yang kasar.
"Dingin," ucapku sembari memeluk diri. Mataku menelesuri tiap tempat, gelap tapi nyaman.
"Dingin?" Kurasakan tangan kekar itu memeluk pinganggku. Aku hanya tersenyum pahit. Pelukannya begitu nyaman, apa rasa nyaman ini juga diberikan pada perempuan itu? Rasanya ngga ikhlas.
"Aku sayang kamu, Anggi."
Aku mengangguk. Memang rasa itu begitu nampak dia tunjukan.
"Jangan pernah tinggalin aku, ya?" Kurasa benda kenyal dingin itu mengecup pipiku. Hatiku kembali teriris. Mencintaiku, kenapa harus mendua.
"Emang, ada alasan apa aku untuk ninggalin kamu?" Berharap dia mau mengaku malam ini. Mungkin kalau dia yang memulai pembahasan, aku tidak akan emosi berlebihan.
"Pokoknya, jangan tinggalin aku apapun yang terjadi."
"Aku ngga boleh tinggalin kamu, tapi kamu boleh ninggalin aku, gitu?" Aku menoleh untuk bertatap muka dengan Mas Sandy yang memelukku semakin erat.
Dia mengeleng. "Aku ngga akan tinggalin kamu. Aku sangat mencintaimu."
Aku menghela napas berat. Dia masih saja menyimpan rapat bangkainya. "Oya, Mas bilang, ada hal penting yang mau diomongin. Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEHADIRAN ORANG KEDUA [TAMAT]
Roman d'amourKetika mempertahankan keluarga dari seorang pendendam yang tidak tahu malu.