Devi menarik salah satu kursi yang di sediakan oleh pedangan kaki lima–yang menjual bubur–lalu duduk, sedangkan Daffa mengikuti gadis itu dengan setengah hati, dan duduk di sebelah Devi. Pedangan bubur ini tepat berada di seberang jalan di depan sekolah mereka.
“Mas, buburnya dua ya.” Devi menoleh kerarah sang pedangan. “Iya, neng.” Setelah menadapat sahutan, gadis ini melipat kedua tangan di atas meja lalu memerhatikan sekitar mereka. Pagi menjelang siang yang cerah seperti ini, tidak terlalu banyak orang-orang yang sarapan .
“Kak.”
Daffa menoleh seadanya setelah itu kembali fokus pada ponsel.
“Kak Daffa.”
Daffa membalas dengan dehaman singkat. “Noleh dong bentar, saya mau ngomongin sesuatu.”
“Apa?” tanya Daffa, sambil mematikan ponselnya dan meletakan enda canggih tersebut di atas meja.
“Waktu pertama kakak sama yang lain bikin band itu gimana, sih?” ucap Devi.
“Kenapa lo jadi kepo?”
Wajah gadis itu langsung berubah menjadi cemberut ketika mendengar jawaban Daffa, dan langsung mengalihkan pandangan dari Daffa. Kemudian dua mangkuk bubur sudah tersedia depan mereka lalu disusul dengan dua gelas minuman di gelas plastik.
Daffa menarik mangkuk miliknya mendekat, meraih sendok yang sudah ada di dalam mangkuk dan mulai mengaduk-aduk isi dari bubur, sebelum akhirnya memasukan sesendok ke dalam mulutnya.
“Gue sama Bang Brian yang awalnya pengen bikin band pas gue, udah keterima masuk SMA,” ungkap Daffa secara tiba-tiba, namun setelah itu ia memasukan sesendok lagi ke dalam mulutnya. “Terus, gak lama dari itu sama nyari anggota baru,”–lalu ia mengubah nada bicaranya–“band dengan dua orang itu agak terlalu sepi menurut Bang Brian.”
Devi mendengarkan dengan baik, sambil terus menyuapkan bubur untuk dirinya sendiri.
“Terus gue ngajak Audre. Dia langsung ngisi posisi bassist,” ucap Daffa, “tapi bassist tanpa drummer itu aneh, waktu itu kita bener-bener gak nemu ketukannya.”
“Jadi gue ngajak Raka masuk, terus entah kenapa si Shawn bisa jadi anggota HIfive waktu itu.”
Cerita berakhir, karena Daffa malah melanjutkan makannya daripada cerita bagaimana terbentuknya HIfive. “Terus sekarang gimana?” tanya Devi, seakan gadis ini tak tahu apa yang terjadi. “Kenapa kita gak bikin band baru aja kak?”
Keninga Daffa berkerut dengan tatapan yang berubah sedikit menajam. “Maksud lo apa?”
“Kak Shawn mau bikin band baru, dan saya disini mau ngebujuk kakak.” Devi terdiam sejenak, “jadi gimana?”
“Oh ya, nama bandnya juga belum ada,” tambah Devi, dan dengan menutupnya ia menengak inum untuk mengakhiri sarapan hari ini. “Waktu itu, Kak Shawn mau bilang tapi kakak udah main marah aja.”
***
Audre baru saja mendapatkan kabar jika pengisi PENSI–Pentas Seni–akan segera dilakukan, ia ingin melakukannya tapi tidak mau sendiri. Ia ingin bersama teman-temannya dan juga kekasihnya. Itu pasti akan terasa menyenangkan. Dan godaan membuat band baru yang lebih baik terdengar mengiurkan.
Tapi sayangnya ia ingin melakukannya jika bersama-sama dengan mereka–ia malas menyebutkan satu persatu nama empat orang tersebut.
Lalu sekarang ia ingin mengatakan beberapa hal jujur.
Sebenarnya ada banyak hal-hal yang tak disukai oleh Audre, kemudian sekarang bertabah satu. Rasanya pemuda ini ingin sekali menarik ponsel milik Devi kemudian menghapus sebuah permainan–yang sekarang di mainkan Devi–dan membuat gadis tersebut melupakan keberadaannya. Tapi sebuah ide memasuki benak Audre.
Ia mengambil onsel yang ada di dalam kantong miliknya, mengunakan salah satu pengirim singkat, Audre mencari nama Devi, kemudian menekan ikon telfon berwarna hijau.
“Kakak!” jerit Devi ketika layar ponsel milik gadis itu berubah jadi panggilan dari Audre.
“Kamu main hp terus, entar minus lagi.”
Ih, gak sadar diri. Batin Devi kemudian memilik ikon berwarna merah lalu mengeluarkan aplikasi game yang ia mainkan tadi setelahnya ia meletakan benda persegi panjang itu di atas meja.
“Kenapa?”
Audre mengeleng kecil, lalu ikut meletakan ponsel milik pemuda itu di atas meja. Jika sudah seperti ini, mereka siap untuk saling mendengarkan atau saling memandang–Oh tidak, Audre sudah melakukannya lebih dulu. Pemuda tersebut menyanggah kepala dengan tangan kanan, dan menatap Devi dengan intens. Dalam hati Audre tidak berhenti-henti memuji wajah cantik kekasihnya, Devi.
Itu kejujuran yang tidak akan–sama sekali–ia ungkapkan, untuk yang satu ini ia lebih suka untuk di jadikan rahasia bagi dirinya sendiri.
“Thanks, lo berdua udah nyariin tempat.”
Audre menahan geramannya, istirahat berdua dengan Devi tidak akan pernah terasa tenang jika teman-temannya sering menganggu mereka berdua, Audre mengambil ponsel miliknya sendiri dan menyembunyikan benda tersesbut di dalam kantong celana. Sedangkan Raka mengambil tempat di sebelah kiri Audre. Lalu di susul dengan kedatangan Shawn, yang datang dengan semangkuk bakso lalu duduk di sebelah kiri Audre. Dua orang itu menjepit Audre.
“Dewa nawarin kita ngisi PENSI,” ucap Audre seakan tanpa beban.
Lain dengan reaksi Raka dan Shawn yang terkesan berlebihan. Raka tersedak akibat air yang ia minum, sedangkan Shawn tersedak karena bakso tiba-tiba menyangkut di tengorokkannya–bantuknya cukup parah.
“Anjir, ayok gas!” ucap Raka ketika sudah menguasai dirinya sendiri, “gue ready kapan aja.”
Shawn tidak menjawab karena sibuk menurunkan makanan yang ada di tengorokan, tapi ia memberi isyrat dengan menujuk dirinya lalu Raka, kemudian memberikan jempolnya. “Gue sama, ready kapan aja.” Shawn setelah selesai berurusan dengan bakso dan air.
Devi tak bisa menyembunyikan wajah senang, gadis tersebut bahkan mengucapkan selamat sambil bertepuk tangan–seperti anjing laut. Namun seperti teringat sesuatu, ia berhenti bertepuk tangan lalu meraih ponsel yang ada di atas meja dan mulai sibuk dengan benda tersebut.
“Yaudah kalau gitu kapan latihan?”
Atensi Audre berpindah pada Devi, lalu menghela nafas. “Kita masih butuh Daffa, inget?”
Devi tersenyum lebar. “Itu mah gampang, pulang sekolah gimana?”
Sebelum menjawab meereka saling memandang, saling meminta pendapat. “Yaudah pulang sekolah, kita pemanasan dulu,” putus Raka. Kemudian senyuman Devi tiba-tiba melebar, “yaudah saya mau ke kelas duluan.” Setelah pamit gadis itu menjauh dari mereka bertiga sambil memainkan ponsel yang ada di tangan Devi, sedangkan Audre terus mengawasi Devi hingga hilang dari pandangannya.
“Daffa gimana di kelas, dre?” tanya Shawn
“Masih belum mau nyapa gue,” jawab Audre lalu di sertai dengan anggukan dari dua temannya. Tapi kemudian pemuda ini berdiri, lalu menepuk Shawn sebelum pergi dan memberi beberapa wewejangan untuk dua orang ini. “Lo berdua yang ngurus lagunya, gue balik ke kelas duluan.”
***
Audre tidak pernah berfikir jika akan di ikuti oleh seseorang–tidak benar-benar di ikuti, sebenarnya–ia keluar kelas kemudian melewati ruang musik–di sini ia berhenti di ikuti–lalu ketika ia kembali dari kantor Tata Usaha untuk mengambil kunci ruangan itu. Pemuda ini menemukan Daffa sedang berdiri di pintu ruang musik sambil memainkan ponsel.
Lalu ketika ia hanya tinggal beberapa langkah, Daffa memberikan akses Audre untuk membuka ruangan tersebut. Pintu terbuka lalu Audre memasuki ruangan itu, dan Daffa ikut lalu duduk di belakang keyboard setelah meletakan tas di bawah alat musik tekan.
Daffa memutar kursinya, memeriksa kabel dari alat musik ini sudah terpasang dengan stok-contac–dan ternyata sudah. Setelahnya ia menghidupkan benda–yang sudah seperti kekasihnya–Daffa menekan salah satu tuts yang terdengar sangatlah nyaring.
“Gue minta maaf karena udah jadi orang jahat di sini,”–jeda Daffa–“gue salah, gue minta maaf.”
Audre terlalu terkejut, ia mengerjapkan mata kemudian seakan tersadar ia mengangguk dan mengambil gitar yang di gantung pada dinding. “Gak masalah, lo tahu ada latihan dari Devi kan?”
Daffa mengangguk, lalu menekan berapa tuts dengan sedikit asal, hanya mengikuti apa yang ada di pikiran dan hatinya. Audre mengendong gitar, menyetel alat musik petik tersebut. Hingga Raka dan Shawn datang dengan sedikit ribut, dua orang itu sedang berdebat tentang lagu yang akan mereka pakai. Lalu Devi berada di belakang mereka untuk menutup pintu, gadis ini tidak ada niat untuk memisahkan dua orang tersebut.
“Eh, lo berdua.”
Merasa di panggil Raka dan Shawn sama-sama menoleh ke arah Audre, lalu pemuda ini menujuk seseorang yang sudah duduk tenang di belakang Keyboard dan Synthesiz dengan dagunya. Dua orang itu sama-sama mengikuti arah yang di tunjukan oleh Audre.
“Kak Daffa!” itu jeritan Devi, sebelum akhirnya dua orang itu memeluk Daffa dengan sangat erat.
Audre mengacuhkan pemandangan tersebut, dan Devi agak meringis ketika melihat Daffa seperti terjepit sesuatu hingga ia tak mampu meraup oksigen dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANDMATE✅ [ Day6]
Teen Fiction-selesai- Hifive hampir secara resmi dibubarkan. Masalah mereka bukan hanya latihan yang tidak pernah terjadi, tapi juga hubungan antar vokalis, gitaris, dan drummer mereka. Akan berakhir bagaimana mereka? Day6