05 Man in a Movie

27 17 9
                                    

Matahari masih menyinari dengan terang dan juga panas, belum ada tanda-tanda jika akan meninggalkan tempatnya lalu digantikan oleh sang rembulan. Belum, belum saatnya. Sore cerah tanpa ada perigatan atau pengumuman yang berarti, berhasil membuat Devi kaget, kebingungan, dan ingin menangis. Gadis itu tengah duduk di salah satu bangku taman kota pada saat sore hari yang cerah ini. Dan bisa merasakan jika seluruh syarafnya dalam keadaan tegang. Atau hanya suasana mereka yang terasa tegang.

Dengan pakaian sekolah yang masih sangat lengkap, bahkan berserta buku-buku pelajaran hari ini yang masih ada di dalam tas pemuda itu. Dan bukannya langsung pulang ketika bel sekolah berakhir, Audre malah membawa dirinya ke taman kota bersama Devi. Mereka terjebak dalam keheningan diantara mereka. Jika dilihat dari sudut pandang orang asing, orang-orang akan menyangka Devi dan Audre dalam keadaan dua sejolin yang sedang bermasalah.

Devi menghembuskan nafasnya dengan sedikit terputus-putus–efek canggung, lalu mengerakan kakinya hingga ujung sepatu yang di gunakan gadis tersebut menyentuh tanah kemudian menepuk-nepuk permukaan tanah dengan sol sepatunya. Jujur gadis ini dalam kondisi agak takut bercampur sedikit frustasi. Takut karena ia ingat jika Devi belum izin pada orang tuannya jika hari ini akan pulang telat, dan untuk bagian frustasi karena ia mulai kesal hingga rasanya ia bisa mencak-mencak karena marah dengan diamannya Audre yang masih berlanjut. Tapi ia juga tidak berani untuk bertanya, Audre kembali memasang wajah garang dengan tambahan kesan dingin.

Devi mengepalkan kedua tangan, menggigit bibir bawahnya, kemudian menghela nafas lagi. Mengumpulkan serpihan-seperhian keberaniannya–yang sedang berpencar–untuk berbicara ada Audre. Monolog yang sedikit berlebihan.

"Kak, sebenernya ada apa kakak–"

"Gue mau ngomong sesuatu," ucap Audre yang memutus kalimat Devi, dan juga membuat Devi lega karena Audre akhirnya berbicara.

"Apa?" Gadis ini sudah mencemaskan masalah di cafe kemarin. Audre pasti akan membahas masalah itu, apalagi setelah Devi mengisi acara tersebut dengan beberapa lagu ia langsung kabur.

Gue suka sama lo. "Lo manggung di sana ngapain make lagu gue?" Audre dalam hati menyumpahi dirinya sendiri. Ke mana semua keberanianya?! Kenapa kalimat yang ia rapalkan sejak sampai di sini malah tidak bisa keluar.

Sedangkan Devi sedang mencoba mencari alasan, jadi kepalanya menunduk dan menatap kedua sepatunya mencoba mengetuk kursi taman lalu berharap aliran darahnya mengalir dengan baik hingga ia bisa berfikir, tapi tidak ada alasan logis yang ia dapatkan. Yang ia miliki hanya sebuah jawaban jujur yang terasa sangat polos.

"So-so-soalnya–jujur, ya kak. Sa-saya suka sama lagunya."

Audre mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Karena, rasanya kedua pipinya menghangat karena aliran darah yang ada pipi dan juga perasaannya terasa seperti di ruangan sauna, terasa hangat. Pemuda itu berdeham beberapa kali kemudian berdiri.

"Ayo pulang," ajak Audre lalu berjalan menjauh.

Devi hanya bisa tercegang mendengar apa kata senior. Jangan bilang kalau Audre hanya mengajaknya–sejauh ini–hanya untuk menanyakan itu. Jangan pernah bilang, karena jika 'iya'. Gadis ini akan menjerit lalu merobek baju seragamnya kemudian berubah menjadi Hulk. Mahkluk hijau besar yang ada di salah satu film Marvel favoritnya.

Beruntung Audre pernah beberapa kali mengantar pulang Devi, jadi ia tidak perlu bertanya lagi. Karena mungkin gadis tersebut tidak akan menjawabnya dengan ketus. Wajah Devi terlihat masam, setelah pemuda ini perhatikan melalui spion motornya selama perjalanan. Entah kenapa ia ingin menggaruk kepalanya yang tidak gatal ini. Audre menurunkan kecepatan motornya lalu menarik rem hingga motor tersebut berhenti tepat di depan rumah Devi. Tidak ada yang berubah, itu asumsi Audre tentang rumah Devi.

BANDMATE✅ [ Day6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang