Hari minggu yang terasa seperti hari terberat untuk Devi, terutama untuk menghafalkan lagu baru dengan nada yang sama seperti lagu yang sebelumnya. Tapi entah kenapa sekarang terasa sangatlah berat. Mungkin karena perbeda lirik yang sangat spensik dan juga instrument yang terdengar lebih ramai.
Sehingga ia kehilangan ketukan–atau tempo–miliknya.
“Pelan-pelan aja, dev,” ujar Shawn ketika melihat betapa frutasinya Devi salah di bagian yang sama, “kita masih punya seluruh waktu yang ada di dunia loh, padahal.”lanjut Shawn.
Devi menghela nafas panjang, mengiyakan apa yang di katakan oleh Shawn lalu meraih botol minum yang terlihat tetesan embun air di luar botolnya, kemudian gadis itu menengaknya beberapa kali. “Kamu gak usah tegang, ini belum beneran manggung kok.”
“Yaudah kita udahin aja, udah jam satu,” ujar Daffa, “Gue pengen makan siang dulu”
“Kalau gitu, minggu depan lanjut aja,” ucap Raka di sahuti dengan anggukan kepala dari ketiga temannya.
Mereka berempat setuju, dan mulai membereskan barang masing-masing. Orang yang pertama keluar dari ruangan studio musik yang mereka sewa adalah Devi, hal itu juga tidak luput dari pandangan Audre, Raka, Shawn, dan juga Daffa. Tiga orang itu memberi kode pada Audre agar segera menyusul Devi.
Audre keluar dari studio musik tersebut dan menuju parkiran bersama-sama, sedangkan Devi sedang menunggu Audre sambil menudukkan kepala. Sampai pada akhirnya satu persatu dari mereka bertiga pergi meninggalakan Audre dan Devi berdua di tempat itu. Mungkin karena kesan langkah Audre yang sengaja di buat sedikit melambat.
Saat mereka berdiri di tempat yang sama, tanpa banyak bicara Audre mengambil helmnya dan milik Devi–kemudian menyerahkan pelindung kepala itu pada gadis tersebut. Mereka berdua sama-sama mengenakan benda itu di kepala mereka. Tidak ada percakapan yang terjadi, tidak sampai Audre menghentikan motor tepat sepuluh rumah dari Devi. Audre melirik Devi dari spion kanan, namun tiba-tiba gadis ini menunduk dan menyembuyikan wajah dari Audre.
Pemuda itu menarik tangan Devi yang ada di punggungnya, kemudian membuatnya melinkar memeluk Audre dari belakang.
“Udah gak papa, kita udah lama gak latihan wajar aja. Kalau kamu lupa atau kaku.” Audre sambil menepul-nepuk punggung tangan Devi. “It’s fine.”
Audre bisa merasakan jika Devi mengeleng dari balik punggungnya, lalu tangan kanan Devi di tarik untuk menghapus jejak air mata yang mulai meluncur dari mata, dan menuruni pipi. “Kalau gitu, minggu depan kita latihan intensif berdua mau?”
Devi tidak menjawab karena masih berusaha mengontrol air mata yang masih berproduksi dengan baik. Ketika ia mulai merasa tidak ada lagi air mata yang akan jatuh, Devi langsung mengangkat wajahnya dan mengangguk pada Audre. “Udah gak usah nangis lagi.”
Ucapan itu berhasil membuat Devi mendorong tubuh Audre, kemudian menghapus jejak air mata yang masih tersisah di pipi gadis itu. “ Saya gak nangis kok!”
“Belajar ngomong gak pake ‘saya’, bisa gak sih?”
“Kebiasaan masalahnya, kak.”
***
Selama beberapa hari belakangan ini, insensitas kedatangan Audre ke rumah bukan hanya sekedar datang untuk mengatar pulang Devi, semakin sering. Walaupun terkadang, gadis itu lebih sering pulang terlambat. Audre sering datang ke rumah Devi hanya untuk dua hal, pertama karena ia merindukan kekasih–setiap saat. Kedua karena membantu membiasakan dengan lagu mereka, yang baru.
Tapi semua itu tidak pernah berjalan sesuai keinginan Audre, sebab masih ada Sang Mama yang akan senantiasa menganggu mereka berdua. Mulai dari mengintrupsi Devi dan Audre, hingga membuat Audre mengatar kemanapun calon mertuanya–boleh Audre menucapkan hal itu?
Untuk sekarang Devi bisa bernafa lega, karena Sang Mama sedang pergi menghadari acara arisan dengan ibu-ibu sekitar rumahnya dan ia sekarang berdua dengan Audre di kamarnya. Devi mengetuk beberapa kali sendok di atas bibir gelas, sebelum menyucinya sekilas dengan air mengalir dan meletakannya di tempat yang penuh dengan sendok dan garpu.
Devi menarik nampan yang sudah berisi dua gelas air sirup rasa jeruk dan juga beberapa potong donat–yang sengaja di buat oleh Mama Devi–lalu membawanya ke dalam kamar. Saat Devi memasuki kamar, ia menemukan Audre yang sedang berbaring di atas tempat tidur dan kedatangan gadis itu membuat Audre langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
“Aku kira mama kamu,” ujar Audre.
“Kan saya udah bilang kalau mama, kalau udah ikut arisan pasti lupa sama anaknya sendiri.” Devi bulai bersimpuh di lantai sebelum akhirnya meletakan nampan yang berisi cemilan dan minum untuk mereka berdua.
Secara perlahan Audre turun dari tempat tidur dan meraih tas gitar yang berada tak jauh darinya. Membuka tas yang berisi gitar, lalu memeluk alat musik petik tersebut. Ia mulai memetik senar gitar secara perlahan. “Kita kayaknya udah lama gak jalan-jalan berdua ya?”
“Heum?” gumam Devi, walaupun sejujurnya ia mendengar apa yang dikatakan oleh Audre, terbukti dari wajah gadis ini yang mulai memerah.
***
Mereka baru saja membubarkan diri setelah melakukan latihan mingguan seperti biasa, namun kali ini di studio musik langganan mereka. Raka, Daffa, dan Shawn berdiri sejajar sambil membicarakan hal seru tentang pertandingan antara Indonesia dan Thailand yang terjadi tadi malam. Sedangkan Audre dengan Devi berada di belakang tiga orang itu, saling mengenggam erat tangan. Kemudian setelah mereka saling berpamitan, Audre pergi bersama kekasihnya. Mereka berdua akan berkencan setelah acara Car Free Day yang di rencanakan Audre gagal. Gagal karena, tiga orang yang tadi sibuk membahas pertandingan bola.
Audre menghentikan motornya saat ia hendka memakirkannya di pakiran tempat mereka bolos bersama waktu itu. Setelah menggantung helm mereka masing-masing di spion motor, Audre menarik tangan Devi agar mereka berdua bisa berjalan beriringan. Lalu mereka mereka memasuki kawasan arcade, sambil terus berpengangan mereka mulai memilih permainan apa yang akan mereka mainkan.
Devi yang selalu cangung, sopan dan hormat kepada setiap orang yang gadis ini agap senior terus tersenyum, tertawa sepanjang hari itu. Audre yang biasanya hanya berreaksi pada sesuatu yang penting, tapi kali ini pemuda itu terus mengengam tangan Devi jikapun tidak tangannya pasti berada di pinggang kekasihnya.
Mereka puas, apalagi kupon tiket yang mereka dapatkan cukup banyak. Devi merapikan benda-benda tersebut lalu memasukan kedalam tas, diam-diam ia sesekali ke arah kotak dimana bisa di masuki oleh beberapa orang, lalu menghasilkan sebuah foto yang bisa jadi kenangan. Jujur Devi ingin melakukan foto bersama dengan Audre dalam sana.
“Makan siang yuk.”
Devi menoleh pada Audre, lalu mengangguk sekali sebagai jawaban. Saat Audre menarik Devi menuju restoran fast food yang terdekat, gadis itu sempat sekali menoleh pada photobox yang ada disana setelah menoleh ia langsung mengikuti langkah kaki Audre.
“Eum, kak.”
Audre menoleh sebentar pada gadisnya lalu mengembalikan perhatiannya pada langkahnya. “Kenapa?”
“Boleh gak, kalau kita foto bentar… aja.” Devi menghentikan langkah kakinya, dan tangan kananya seperti mencubit sesuatu di dekat mata.
“Foto dimana?” tanya Audre, sambil menarik Devi menepi sebab seorang anak kecil leat dengan mobil-mobilannya.
“Disitu,”–Devi menujuk ke arah kawasan arcade–“di photobox-nya, sebentar aja.” Mata Audre menyipit untuk melihat di mana lokasi kotak foto yang di sebut oleh Devi, “tapi kalau gak mau, juga gak papa.” Devi menjelaskan ucapan terakhir dengan sedikit senang, namun terdengar terpaksa.
“Kenapa gak bilang tadi?”
Mata Devi mengerjap. “Boleh?” Audre mengangguk.
“Ayo.”
Kemudia saat didalam sana, suasana berubah jadi canggung. Apa ini karena efek ruangan sempit atau yang lain? Mereka berdua berdiri tegak, sambil melirik masing-masing dari mereka. Namun tiba-tiba sebuah cahaya datang seperti petir dalam sekali, lalu itu terjadi beberapa kali hingga ada enam foto yang telah keluar dari sana.
Devi adalah orang pertama yang keluar dari tempat terkutuk, dan ia langung berlari kecil ke kamar mandi. Saat Audre keluar dari sana, ia mengusap matanya karena agak sedikit tekejut melihat cahaya tiba-tiba muncul seperti itu. Namun ketika ia mencari keberdaan Devi, ia dapat melihat dari jauh jika gadis tersebut berlari kecil menjauh darinya. Dahi Audre mengkerut, tapi tak lama ia berbalik untuk mengambil hasil foto. Rasanya ia ingin mengecatak ulang semua foto yang ada di lembaran kecil itu agar lebih besar.
Foto pertama dan kedua hampir terlihat sama, jika tidak memerhatikan gerak mata mereka. Foto ketiga terlihat jika Audre menarik Devi kedalam pelukkannya. Pada foto keempat, terlihat jelas jika Audre mencium kening–yang terhalang poni tipis–milik Devi. Lalu foto kelima jika mereka saling memadang dengan jarak yang dekat. Yang terakhir–entah setan apa yang masuk dalam tubuh Audre–ia nekat menyetuh bibir Devi dengan bibirnya sendiri.
Jadi wajar jika Devi bereaksi seperti itu. Untuk foto terakhir akan ia potong dan Audre simpan untuk dirinya sendiri.
Lain dengan Devi yang sudah berada di salah satu bilik toilet perempuan, ia duduk di kolset sambil terus menuduk dan menutup wajahnya hingga membuatnya agak sulit bernafas. Saat ia menarik jauh tangan dari wajahnya, Devi benar-benar menjadi kepiting rebus yang baru saja di angkat oleh seseorang. Wajah gadis itu benar-benar terasa panas, dan memerah bahkan menjalar pada telingga dan leher Devi. Walaupun ia terus mencoba untuk mendinginkannya, dengan cara mengipas-ngipaskan dengan tangan–walaupun itu tidak bisa menurunkan rasa hangat yang ada di wajah gadis tersebut.
Karena ia merasa terlalu lama di dalam, Devi keluar dan menemukan beberapa wanita sedang mencuci tangan di watafel, dan juga sibuk berkaca. Devi bergabung bersama mereka, menghidupkan keran air, dan membasuh kedua tangan–Devi ingin sekali mengusap wajahnya dengan air yang terasa dingin sekarang.
Devi meraih tisu dari dalam kotak yang menempel pada dinding utnuk mengeringkan tangan, setelah merasa tangan gadis itu kering ia langsung membuang bekas tisu miliknya ke dalam tempat sampah. Hal selanjutnya, Devi melihat Audre yang sudah ada di depan toilet wanita sambil memainkan ponsel.
Pemuda itu terlihat menarik senyum, dan Devi terserang salah tingkah sendiri.
Dari yang Audre bisa lihat dan pelajari. Devi seperti menghindari kontak mata dengan dirinya, gadis itu tetapp memakan makan siangnya namun sama sekali tidak mau mencoba menatap Audre. setelah kejadian di dalam photobox tadi.
Audre meminum lemon tea yang tadi ia pesan agar semua makanna yang masih berjalan pelan di tengorokannya agar lebih cepat turun di banding sebelumnya. Setelah itu ia menatap Devi.
“Dev.”
Gadis itu masih mau menoleh dan menatap Audre, tapi kemudian seperti tersadar akan sesuatu. Ia langsung mengahlikan perhatiannya.
“Devi,” ucap Audre sekali lagi, tapi untuk yang kali ini Devi tidak menoleh, hanya sekedar memberikan gumam untuk pertanda jika gadis itu mendengarkan. “Aku gak suka kalau ngomong gak ngelihat muka lawan bicara.”
“Orang kalau ngederi orang ngomong itu kan pake telinga, kalau telfonan aja cuma dengerin suara bukan tatap muka,” jawab Devi lalu memasukan sesuap makanna dalam mulutnya.
“Tapi gak ada ceritanya kalau ngomong sama orang lain, sok nyuekin, padahal berada di satu tempat.”
“Kita lagi makan, entar keselek loh.” Devi masih menjawab walaupun juga tidak melihat Audre.
Audre menghela nafas, lalu menarik paksa sendok yang ada di tangan Devi. “Dev, jangan bilang yang tadi yang pertama.” Itu bukan pertanyaan tapi sebuah pernyataan.
“Kak, bisa gak bahas masalah yang tadi gak?” semula yang memandang ke arah lain, sekarang pandangan Devi menunduk. Gadis itu benar benar tidak nyaman dengan kondisi ataupun suasana yang seperti ini.
“Maaf.” Gadis tersebut terlihat mengeleng pelan seperti mengatakan jika tidak masalah, lalu mencari objek lain untuk di panjang selain Audre. Lain dengan Audre yang menarik piring yang berisi makanan yang di pesan Devi untuk gadis itu sendiri. “Dev, kamu tahu gak kalau saat orang lain menatap lawan bicara itu bisa membuat si pembicara senang. Karena ia merasa di hargai.”
Devi menoleh, lalu gadis tersebut dapat melihat Audre mengambil nasi dan potongan sayuran yang ada di piring Devi, kemudian menyodorkan pada dirinya. “Ayo, aa..”
KAMU SEDANG MEMBACA
BANDMATE✅ [ Day6]
Teen Fiction-selesai- Hifive hampir secara resmi dibubarkan. Masalah mereka bukan hanya latihan yang tidak pernah terjadi, tapi juga hubungan antar vokalis, gitaris, dan drummer mereka. Akan berakhir bagaimana mereka? Day6