24 Somehow

5 0 0
                                    

Mereka disini, sejak matahari di atas kepala, hingga mulai meninggalkan tempatnya. Langit yang awalnya berwarna biru cerah sekarang hanya tersisa warna jingga di sana. Awan-awan putih terkena warna keemasan dari matahari terbenam hari ini, orang-orang mulai terlihat ramai untuk memadapati lapangan. Acara puncak untuk Pentas Seni tahun ini, dan menjadi tahun ke tiga dan tahun pertama bagi Devi.
Masih ada tiga penampilan lagi sebelum mereka menguasai panggung selama enam menit, dan sekarang ia bisa merasakan jika kedua lututnya terasa seperti jelly. Jika di bandingkan yang lainnya, hanya Devi yang mengalami demam panggung yang cukup parah. Terlihat dari bagaimana gadis it uterus berdiri tanpa lelah di belakang panggung, hanya untuk melihat setiap orang yang telah menyelesaikan aksi mereka.
Sebuah tepukan di pundak, membuat Devi menoleh. Ada Audre yang sekarang merangkul gadis itu. Seakan memberi tahu jika gadis tersebut miliknya.
“Udah gak usah tegang.”
“Saya enggak tegang.”
“Kalau gitu, gak usah gugup. Mereka gak gigit kamu kok.”
“Saya gak gugup kok, kak.” Devi menoleh ke arah Audre dan menatap pemuda itu dengan intens
“Terus kenapa tangan kamu dingin, huh?” tangan Audre di turunkan dan langsung mengegam tangan Devi yang sudah basa karena keringat dingin.
“Orang saya ke panasan di sini, tahu gak? Kena lampunya terus.”
Audre menahan tawa sebelum akhirnya menarik Devi menuju teman-temannya yang sedang mempersiapkan diri. Seperti Raka dan Daffa yang sedang merengangkan setiap sendi-sendi pergelangan di tangan mereka. Lalu Shawn yang sibuk mengatur bass yang sudah dingendong.
“Di banding gugup-gugup sendiri, mending bareng-bareng.” Audre kemudian ia duduk di sebuah kotak besar berwarna hitam, ia juga menarik Devi agar duduk di sebelahnya.
Devi dapat melihat Revina–MC pada acara ini–sudah naik ke atas panggung, dan mereka berlima sudah siap untuk tampil, atau mungkin mereka berempat, karena tiba-tiba Devi terserang sakit perut. Gadis itu bahkan sudah siap untuk lari menuju kamar mandi untuk bersembunyi, tapi untungnya Audre masih terus mengenggam tangan Devi.
“Ayo, giliran kita.”
Devi sebenarnya belum menyetujui apa-apa tapi ia sudah berada di depan standing mic dan di depan matanya pula ia melihat penonton yang cukup banyak, sangat banyal–jika boleh di ralat.
“Selamat sore semua kami dari R card!”
Devi menoleh pada suara yang ia sangat kenali, itu Raka yang berdiri di belakang drum-nya. Seperti mendapat kode dari Raka, Devi mengangguk mengerti sebelum akhirnya menoleh ke depan dan berbicara di belakang mic.
“Sore ini kita akan bersenang-senang, hallo saya Devi. Satu-satunya cewek di sini, saya vokalis.”
Terdengar seruan yang cukup keras, dan kebanyakan dari yang Devi lihat adalah rata-rata laki-laki yang berteriak.
“Gue Audre, gitaris sekaligus pacar dari vokalis band ini.”
Devi menoleh dan menemukan tiga seniornya seperti memprotes akan sesuatu di sini dengan cara mereka masing-masing. Daffa yang menemakn tuts keyboardnya asal, Raka yang memukul cybal-nya dengan keras, lalu Shawn membuat suara bassnya terdengar fals.
“Gue Raka, drummer.”
“Daffa, keyboardist and Synthesizer”
“Gue Shawn, posisi Bassist.”
***
Mereka berlima berdiri sejajar, saling merangkul kemudian membungkukkan badan mereka sebagai penghormatan kepada penonton atas antusian yang luar biasa. Mereka berlima menyukai euporia seperti ini.
Raka, Daffa, dan Shawn turun bersama dari panggung lebih dahulu dan disusul oleh Audre dengan Devi di belakang mereka. Mereka berdua menggegam tangan masing-masing, dan saat mereka benar-benar turun dari sana. Bibir Audre langsung menyentuh pelipis Devi.
“You doing great.”
Beberapa hari sebelum PENSI.
Sore ini adalah latihan terakhir mereka sebelum tampil pada pensi ketiga mereka–pertama untuk Devi–mereka berlima berlatih dari siang sepulang sekolah hingga matahari siap meninggalkan tempatnya. Lalu sekarang, mereka sedang asik duduk santai untuk beritirahat.
Raka dan Daffa pergi keluar untuk membeli beberapa cemilan, sedangkan Audre sibuk dengan gitar yang ada di pangkuannya, lalu Shawn sibuk dengan membalas setiap pesan yang ada di ponsel, dan Devi duduk tegak sambil terus bermain game–yang akhir-akhir ini berhasil mengalahkan atensi Audre.
Ketika permainan berakhir, layarnya menunjukan sebuah bungkus yang berisi kartu. Yang Devi jamin tidak jauh dari kartu C dan B. Gadis itu mengetuk ponselnya sekali, lalu keajaiban terjadi. Layar ponsel tersebut menujukan sebuah kartu R dengan warna pelangi yang cantik dan jangan lupakan jika foto dari salah satu karakter terdapat di sana.
“Yuuhu… R Card pertama!”
Audre yang duduk tepat di sebelah Devi mengitip apa ang ada di layar ponsel kekasihnya, lalu ia memutarkan matanya kesal. Audre kembali menemukan Devi sibuk bermain game yang sama lagi. Namun sesuatu dari ucapan Devi terngiyang di dalam pikirannya.
R Card. Itu juga bisa di artikan sebagai kartu yang sangat berguna jika memainkan game–fangirl–ataupun monopoli dari salah satu aplikasi pesan dari Korea. Lalu kata R Card terasa sangat istimewah di lidah Audre. “Rul!”
Shawn menoleh, sebagai tanggapan dan itu juga membuat atensi Devi sepenuhnya untuk Audre. “R Card gimana?” tanya Audre.
“Buat apa?”–Shawn–“lo masih main tuh monopoli?”
Saat seperti ini rasanya Audre ingin melemparkan semangka ke kepala Shawn. “Kakak lagi gak nyaranin buat nama band kita jadi R Card kan?” cicit Devi yang mencoba menebak isi pikiran dari Audre. Sayangnya tebakan Devi benar. Audre memberikan jentikan jari yang berubah menjadi berbentuk pistol pada akhir.
“R card itu istimewah,” ujar Audre pertamanya, “kartu terkuat di bandingkan dengan S card.”
“Lo ngomongi game apaan coba?” sahut Shawn karena tidak mengerti apayang sedang di bicarakan Audre.
Audre mengambil ahli ponsel Devi, lalu mencari contoh salah satu kartu R yang juga bergambar dari salah satu idol Korea yang berjumlah tujuh orang. “Kalau kita make kartu ini, poin bakalan nambah banyak.”
“Gue ngerti, jadi intinya apa?”
“Kita semua awalnya cuma kartu sampah, yang di pake buat nge-upgreat. Tapi setelah kita di upgreat kita akan berubah menjadi kartu S,”–Audre–“dan jika kartu S sama-sama di kombinasikan, bakalan jadi kartu R.” Audre mengucapkan hal itu sambil teruss melihat game yang ada di ponsel Devi, namun tiba-tiba layarnya berubah menjadi panggilan.
Itu dari calon mertua–maksud Audre, ibunya Devi. Ia memutarponsel Devi, lalu menyodorkannya kepada gadis itu. “Mama nelpon.”
Kemudian tanpa menjawab Devi meraih benda ajaib tersebut, dan menjawab telpon sambil berjalan keluar dari kamar Audre. lalu Shawn memandang dua orang itu dengan minat, sebelum akhirnya Devi keluar dari rungan ini. “Sedeket apa lo sama bonyoknya Devi?”
“Bukan urusan lo.”
Shawn berdecak mendengar jawaban dari Audre, namun ia kembali memfokuskan dirinya pada ponsel hingga Daffa dan Raka kembali dengan satu kantong plastik besar berwana putih, tak lama Devi juga menyusul mereka dari belakang.
“Lo berdua udah ada ide buat nama band kita?” celetuk Audre sambil menatap Daffa dan Raka secara bergantian.
Raka mengeleng. “Gue ada sih…” ujar Daffa sedikit ragu, namun begitu berhasil menarik perhatian mereka semua.
“Apaan?”
“Day Seven?” Daffa, “ditulis dengan angka bukan dieja.” Pemuda itu memandang tema-temannya satu persatu untuk melihat reaksi mereka. “Gue terinpirasi sama band rock kesukaan kakak sepupu gue, sih. Lo gimana, dre?”
“Dia pengen namain kita R Card.” Jawab Shawn tepat saat Audre mau membuka mulut untuk berbicara.
“Kenapa gitu?”
“Gue mikirnya agak kejuhan sih sebenernya,” ujar Audre sebagai awalan, “Agap kita semua ini kartu A, terus ketemu bareng, kita jadi kartu S, terus kalau kita punya fans–misalnya–kita bisa namain S Card, karena S Card plus S Card to be R Card.”
“Gue suka. R Card,” kata Raka. “Boleh juga.”
“Lo gimana, dev?” tanya Daffa. “Bagus kok, saya suka.” Lalu gadis itu menoleh pada Audre, memberikan senyuman singkat seakan gadis itu bangga dengan kekasihnya sendiri.

BANDMATE✅ [ Day6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang