Bayangan

6.1K 713 85
                                    

Jam pulang sekolah tiba, Jevan sedang memperhatikan anak-anak OSIS yang sedang mendekor panggung dan segala tetek bengek kebutuhan pensi esok hari. Jevan melihat Rose yang sedang kesusahan membawa sekardus ornamen panggung. Ada Eza di belakang gadis itu yang sepertinya sudah berancang-ancang ingin membantu.

Jevan berinisiatip membantu membawakan kardus tersebut lebih dulu, ia mengambil alih kardus tersebut dari tangan Rose.

“Jevan,” Rose tersenyum pada Jevan seraya berjalan ke arah panggung.

“Ini harus ditaruh di mana?” Tanya Jevan.

“Ah iya, di sini.” Rose memberitahu Jevan untuk meletakkan kardus tersebut di atas panggung yang kemudian akan diambil oleh anak OSIS lainnya.

Setelah selesai, Jevan menuntun Rose ke pinggir lapangan dan mendudukkan gadis itu pada bangku panjang di dekat koridor. Sebenarnya suasana di sana sedang ramai oleh anak-anak OSIS dan beberapa murid yang belum pulang. Jadi kegiatan mereka berdua tak luput dari perhatian orang-orang di sana.

“Sudah gue bilang jangan dekat-dekat Eza.” Jevan kembali memperingati seraya mengarahkan pandangannya pada Eza yang tengah membuang muka.

“Ya ampun, lo masih aja bahas soal Eza. Kalau cemburu tinggal bilang aja, Jev.” Goda Rose.

Jevan tak menjawab, ia mengulurkan tangannya ke depan wajah Rose.

“Mana ponsel lo?” Tanya Jevan.

“Buat apa?”

“Sudah, siniin aja.” Mau tak mau Rose menyerahkan ponselnya pada Jevan.

Jevan nampak mengutak-atik ponselnya selama beberapa saat kemudian setelahnya dikembalikan pada Rose.

“Gue sudah hapus nomor Eza, gak perlu nyimpan nomor dia. Dan cukup berhubungan di chatroom OSIS aja, kalau dia personal chat, gak usah dibalas.”

Rose tertawa kencang hingga membuat Jevan kebingungan, padahal tak ada hal lucu yang sedang terjadi disini. “Tahu gak, Jev? Lo itu persis kayak pacar possessive. Duh gue jadi merasa sangat diperhatikan sama lo.”

Wajah Jevan memerah dan panas, apakah ia memang terlihat demikian?

“Kayaknya lo harus balik ke sana, lo harus bantu mereka yang sudah mulai sibuk banget.” Kembali, Jevan mengalihkan topik pembicaraan.

Rose mengangguk, ia kemudian pamit pada Jevan dan berjalan ke arah kumpulan teman-temannya. Namun belum sampai di tempat. Jevan sudah memanggil namanya.

“ROSE.” Panggil Jevan.

Rose membalikkan tubuhnya dan menatap Jevan seraya bertanya ‘kenapa?’

“Rose, tolong ya ... Kondisikan bayangan lo supaya gak terus bolak-balik di pikiran gue.” Setelah berbicara demikian Jevan langsung melarikan diri.

Membuat Rose yang masih berada di tempat terdiam membeku dengan hati yang mulai dipenuhi taman bunga.

Tepukan pada bahunya menyadarkan Rose. “Rose, sudah sadar belum?” Tanya salah satu teman OSIS.

Rose menggelengkan kepalanya. “Yang tadi itu, nyata gak ya? Atau ini cuma mimpi?” Tanyanya.

“Itu bukan mimpi, tapi nyata.”

Rose tersenyum lebar seraya melompat-lompat kegirangan, orang yang berada di sana hanya dapat memperhatikan. “Yeay!” Sudah tak heran dengan salting Rose jika berurusan dengan Jevan. Beberapa saat setelahnya, Rose menghentikan aksinya dan merapihkan sedikit rambutnya. Lalu kembali bersikap cool seolah tak habis terjadi apa-apa.


KUTUB (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang