Bumi Gonjang Ganjing

6.9K 718 90
                                    

“Find your soul, find your love, find your dream.”

Tulisan pada sepapan kayu yang tergantung di pintu kaca tersebut menarik perhatian Rose. “I'll find my dream, Jevan.” Monolognya ketika memasuki café dan melihat sudah ada Jevan di meja pojok belakang dekat jendela. Sedang memandangi hiruk pikuk jalanan kota Jakarta yang sibuk.

Pagi tadi Jevan menghubunginya, mengingatkan Rose jika ada tutor. Laki-laki itu bahkan yang menentukan jam dan lokasi pertemuan. Rose tampak lebih bersemangat kali ini, ia melangkahkan kakinya mendekat pada Jevan. Tak lupa dengan senyum manis yang tak pernah lupa ia tunjukan. Rose duduk di depan Jevan tanpa aba-aba.

“Hai, Jev. Sudah lama nunggu?” Tanya Rose.

Jevan mengangguk enteng seraya menjawab. “Lumayan, 5 menit.”

Gadis itu tertawa pelan mendengar jawaban Jevan. “5 menit itu sebentar, 5 jam baru lama.” Jawab Rose.

Rose maupun Jevan mulai mengeluarkan buku-buku dari dalam tas mereka. “Sekarang materi kita tentang trigonometri.”

Tutor dimulai, kali ini Jevan menjadi sedikit lebih serius dari biasanya. Ia dapat mendengarkan Rose dengan seksama, memahami materi yang Rose beri, dan mencoba mengerjakan contoh soal dari Rose dengan sungguh-sungguh. Di tengah-tengah mengerjakan soal tak jarang Jevan bertanya. Seperti: “kalau yang ini caranya gini bukan, Rose?”

Rasanya sangat senang saat Jevan mulai serius seperti ini. Saat Jevan mulai merubah sikapnya pada Rose, saat dinding es di hati manusia Kutub itu mulai mencair padanya. Dari dulu hingga sekarang tekad Rose selalu bulat, membuat hati Jevan hangat karena cintanya. Meruntuhkan dinding pertahanan laki-laki itu dengan sekuat tenaga. Sampai akhirnya Jevan bisa menerimanya setulus hati suatu saat nanti.

Rose bertopang dagu seraya memperhatikan Jevan. Entah apa yang membuat Jevan terlihat membenci perempuan? Atau bukannya Jevan yang membenci perempuan, tapi hanya ia lah perempuan yang dibenci Jevan? Apapun itu, kendati merasa sedih. Sekarang Rose menjadi lebih memahami Jevan, memahami perasaan Jevan. Bukannya Jevan membencinya, Jevan hanya malas padanya. Akan tetapi, seperti kata Rose tadi. Ia bertekad membuat Jevan menerimanya setulus hati. Tak sadar bahwa telah lama berkutat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Rose tersadar dengan Jevan yang ternyata juga sedang memperhatikannya seraya bertopang dagu.

Seperti biasanya, laki-laki dengan wajah dingin itu memberikan tatapan tajam dengan ekspresi datarnya. Kemudian bertanya. “Sudah selesai melamunnya?”

Rose tertawa, merasa tak enak karena asik dengan dunianya sendiri dan mengabaikan Jevan. “Sudah selesai isi soalnya?” Tanyanya.

Tanpa babibu Jevan menyerahkan lembar jawaban tersebut pada Rose. “Jangan lupa di cek.”

“Iya, tenang aja. Nanti di rumah langsung gue koreksi.” Jawab Rose sambil memasukkan lembar jawaban Jevan ke dalam tasnya.

Sekitar dua jam berada di café, tiga puluh menit mereka habiskan untuk beristirahat barang sebentar. Menikmati makanan dan minuman yang menganggur sejak awal karena tak disentuh sang penikmat. Rose makan dengan lahap, di sekolah ia tak sempat makan saat istirahat karena sibuk mondar-mandir mengurus pendaftaran peserta pensi dan mengurus perizinan dari kesiswaan. Saat pulang sekolah pun Rose langsung tancap gas mengajar Jevan tutor, jadi semenjak pagi hanya ini lah makanan yang dimakannya.

KUTUB (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang